Chereads / Big Man : The Greatest Mr. Tonny Ayres / Chapter 41 - 41. Petter : Dia orang baik? (1)

Chapter 41 - 41. Petter : Dia orang baik? (1)

Di tempat ini keadaan membawa Rumi untuk singgah sebelum senja datang. Dia menemui seorang pria yang menjadi pemilik utama rumah mewah di sisi kota. Sedikit jauh, Rumi harus naik bus sampai tiga kali. Turun dari satu bus, ke bus lainnya. Jika dihitung waktu yang sudah dipakai hanya untuk datang kemari, mungkin satu putaran penuh di jam tangan murahan yang melingkar di pergelangan tangannya.

Namun, semuanya terbayar dengan lunas! Dia disambut dengan pemandangan yang luar biasa. Halaman yang tak terlalu luas, tetapi begitu hijau dan rapi. Kolam ikan kecil menghias di sudut sana. Seakan menjadi tempat penyembuhan luka yang paling baik. Pria yang mengundangnya kemari, benar-benar punya selera desian yang bagus.

"Kamu hanya akan minum air putih?" Dia datang pada akhirnya, selepas menghilang selama beberapa menit. Tak pernah Rumi sangka, pria ini adalah lajang tua yang mapan.

Rumi mengangguk dengan ringan. Selepas dipersilakan duduk dan memilih tempat, saking luasnya rumah ini, Rumi memilih duduk di kursi halaman depan. Berpayungkan langit biru yang sedikit mendung.

"Padahal aku berharap kamu datang jauh lebih cepat dari dugaan. Kamu terlalu lambat dalam memutuskan, Nak." Dia tertawa. Bahasanya begitu formal. Suaranya berat dan dalam. Penuh kewibawaan. Pengacara selalu saja begitu, terlihat mewah dan berpangkat.

"Aku harus fokus dengan ujianku dulu. Mr. Tonny meminta begitu," ujarnya memberi jawaban. Karena Mr. Tonny? Omong kosong! Siapa peduli dengan perintahnya yang semena-mena?

Pitter mengangguk. Melirik dokumen yang ada di tengah meja. Rumi membawanya kembali ke sini.

"Kamu sudah membacanya?" tanya Pitter. Menariknya. Mengambil itu dan mengecek isinya. Barang kali ada yang diambil dan tak lengkap. "Bagaimana menurutmu?"

Rumi diam sejenak. Menundukkan pandangan matanya. Tak mau memberi jawaban secara gamblang dan cepat. Baginya, tindakan yang terburu-buru hanya akan menyusahkan dirinya saja.

"Mau atau tidak, kau harus pergi ke Las Vegas. Tempatmu di sana. Bukan di sini. Kau tidak punya siapapun, Rumi. Bibimu? Dia tidak bisa diandalkan." Pria itu mengambil sesuatu dari map plastik yang dibawanya keluar bersama segelas air putih untuk Rumi. "Untuk berjaga-jaga barang kali kau tidak percaya padaku, aku membawa semua yang aku dapatkan tentang bibimu. Nona Nana." Ia menyodorkan beberapa kertas yang dikaitkan menjadi satu. Memberikan itu pada Rumi.

Dengan ragu, Rumi menerimanya. "Aku bahkan belum membaca semua dokumen pemindahan identitas yang Anda berikan. Kenapa memberikan yang baru?" tanya gadis itu, menatap dengan sayu. "Aku bukan seperti kalian yang bisa menerima semuanya dengan mudah. Pemikiran ku tidak jauh sampai di sana."

Pitter mengangguk lagi. Dia paham benar. Rumi terlalu muda untuk diajak berpikir demikian. Untuk itu, dia akan menjelaskannya satu persatu. "Mari telaah satu persatu, Nak. Mulai dari alasan mengapa kamu harus ikut ke Las Vegas dan memenuhi semua perjanjian yang disahkan 20 tahun lalu."

Rumi melepaskan genggaman tangannya dari dokumen itu kala Pitter mengambilnya lagi. Dia membuka halaman pertama. "Akan merinci dari hal yang paling dasar, agar kau tak bingung nantinya."

Pitter menunjuk satu foto. Wajah bibinya ada di sana. "Hanya orang ini yang bisa kamu andalkan jika kami semua pergi dari Jakarta. Black Wolf dan segala jajaran milik Mr. Tonny Ayres sebab tugas kita sudah selesai. Jakarta bukan tempat untuk mafia dan penjahat kelas kakap. Las Vegas adalah rumah kita." Pitter memulai. Menurunkan jarinya. Seakan sedang menuntun mata Rumi untuk membaca setiap deret kalimat yang ada di sana.

"Bibimu punya hutang, dia pernah terlibat dalam kasus bandar narkoba, seks ilegal, dan obat-obatan terlarang. Dia juga seorang PSK simpanan pejabat tinggi, pengusaha kaya, dan semacamnya. Ini hanya beberapa kejahatan ringan yang dia lakukan hanya demi satu lembar uang ratusan ribu. Dia terlalu terobsesi dengan semua ini." Pitter memulai. Rumi mendengarkan dengan begitu saksama. Tak ingin terlewatkan satu hal pun.

"Jika semuanya terungkap dan polisi menemukan semua jejak kejahatan bibimu, kau pikir apa yang akan terjadi, Nak? Aku yakin kau paham benar dengan itu. Itu alur pemikiran yang sangat sederhana."

"Dia akan dijatuhi hukum dan denda yang banyak, lalu dipenjara selama puluhan tahu." Rumi melirih, seakan pasrah.

"Bingo! Hanya dia yang kamu punya. Namun, jika dipenjara kamu siapa lagi si Jakarta?"

"Ada temanku yang ...."

"Mereka punya kehidupan sendiri dan punya keluarga sendiri. Mereka punya mimpi sendiri dan harapan yang mereka bangun. Kamu pikir teman-temanmu akan selalu ada?" Pitter kembali menyahut. "Berbicara bukan hanya pasal hati dan perasaan saja, Rumi. Namun, logika harus berjalan dengan baik. Itu harus seimbang Rumi."

"Bibiku tidak akan tertangkap. Semuanya baik-baik saja sekarang."

Pitter tertawa. "Aku sudah menebak kamu akan berkata demikian. Namun, aku juga sudah mengantisipasi itu." Pitter memberikan kertas yang baru. "Seseorang melaporkan bibimu."

Rumi mengerutkan keningnya. "Siapa? Mr. Tonny?"

Pitter terkekeh. "Dia tidak sejahat itu."

... Bersambung ....