Pertemuan, dokumen, semua sudah diselesaikan dengan cepat oleh Rayhan. Dan kini waktunya dia beristirahat sembari menunggu jam makan siang tiba. Masih ada waktu sekitar lima belas menit, dan tiba-tiba dia merasa kembali mengantuk. Padahal, tadi sudah minum beberapa kali minuman untuk menghilangkan rasa kantuknya. Sepertinya, dia akan mencari makanan yang yang bisa mengembalikan energinya dan menghilangkan kantung nya juga. Entahlah, Rayhan sendiri juga belum tahu ingin membeli makanan apa.
Saat ini, cara mendadak pintu ruangannya terbuka tanpa adanya ketukan. Tidak, Rayhan sama sekali tidak terkejut dengan presensi yang baru saja memasuki ruangan yang ini. Ya, itu adalah sahabatnya yang tadi pagi sedang mencurahkan isi hatinya di dalam lift. Mungkin, keadaannya siang ini sudah jauh lebih membaik daripada tadi pagi.
Farrel duduk di atas sofa yang berada di dalam ruangan Rayhan, beberapa kali mengatur nafasnya dengan kedua mata yang terpejam. Tak ada satupun kalimat yang keluar dari mulut laki-laki itu begitu memasuki ruangan ini. Rayhan sampai memutar kedua bola matanya jengah, lantaran melihat tingkah sahabatnya. Setiap laki-laki itu memasuki ruangannya, arti sedang ada masalah bersama dengan istrinya.
"Kau tidak makan siang?" tanya Rayhan.
"Mana mungkin istriku akan membawakan aku makanan, disaat dia sedang kesal denganku," jawab Farrel.
Rayhan melihat ke arah pintu ruangannya yang tidak tertutup rapat—akibat perbuatan Farrel. Di sana ada seorang wanita berambut pendek yang membawa tas kecil berwarna merah. Rayhan sangat yakin jika tas itu adalah makan siang untuk sahabatnya ini. Namun, dirinya memilih untuk diam dan membiarkan istri dari sahabatnya itu memasuki ruangannya. Sebenarnya, Rayhan tidak menyukai jika ruangannya menjadi sangat berisik ataupun kotor, tapi karena dirinya merasa tidak enak terhadap istri Farrel, mungkin untuk hari ini saja akan dia biarkan.
Wanita itu berada di belakang yang tubuh suaminya yang masih terlihat seperti seseorang yang tidak waras. Wajahnya seperti seseorang yang sedang menyesal karena perbuatannya, dan dia memegang pundak sang suami. Farrel yang merasakan adanya sesuatu di pundaknya, menoleh ke belakang tubuhnya. Kedua alisnya terangkat secara bersama, lantaran terkejut saat melihat sang istri berada di sini.
"Sayang,"
Mendengar istri Farrel memanggil suaminya dengan sebutan itu, membuat Rayhan memejamkan kedua mata. Mereka berdua terlihat seperti anak SMA yang terjadi kesalahpahaman diantara keduanya. Untuk mengalihkan pandangannya dari mereka berdua, maka Rayhan lebih memilih untuk bermain dengan ponselnya. Tidak, dirinya sama sekali tidak merasakan iri terhadap pasangannya itu. Yang ada, Rayhan rasa kenyang ketika disuguhkan adegan seperti ini setiap sahabatnya itu memiliki masalah dengan sang istri.
Setelah keduanya berbincang sebentar, akhirnya Farel makan siang di ruangan Rayhan. Memang sih, jabatan keduanya saja jika dibandingkan tetap tinggi jabatan Rayhan, tapi dengan alasan tadi, jadi Rayhan membiarkannya. Lebih baik, Rayhan memesan makanan saja. Namun, istri Farrel itu melemparkan pertanyaan yang membuat Rayhan terdiam beberapa saat.
"Kenapa kau tidak makan siang? Apa istrimu tidak membawakannya?" tanya Anna—istri Farrel.
Ah iya, Rayhan lupa jika dia sudah menikah. "Aku yang memintanya untuk tidak membawakan bekal," alibinya. Namun, tak lama setelahnya, sekretarisnya datang membawakan kantung plastik yang berisikan makanan dari salah satu restoran terdekat. Pasang mata Farrel dan Anna seketika terarah pada Rayhan. "Karena aku ingin makan makanan restoran dekat kantor," alibinya lagi.
Kunyahan Farrel yang sempat terhenti, langsung dilanjutkan kembali. Dia menyiapkan satu suapan yang akan dia masukkan ke mulut nantinya. Sedangkan Anna, wanita itu lebih memilih diam, ketimbang dirinya salah berbicara.
"Kau ini sudah menikah, seharusnya minta istrimu untuk membawakan bekal, agar kau tidak jajan seperti ini," tutur Farrel.
Malas sekali mendengar penuturan Farrel, seharusnya jam siang ini bisa dia gunakan untuk beristirahat dan menikmati makan siangnya. Dan pada akhirnya sebuah ide terlintas begitu saja di kepalanya. Rayhan tahu bagaimana caranya membuat Farrel dan Anna keluar dari ruangannya. Dia menutup kembali makanan yang dibeli, memangku dagu dengan kedua tangannya.
"Na," panggil Rayhan, membuat sang pemilik nama menoleh. "Tadi sebelum kau datang ke sini, Farrel sempat mengeluh karena tidak kau bawakan makan siang. Dan dia mengajakku untuk membeli makan siang di luar kantor. Itulah kenapa dia datang ke ruanganku," ucapnya.
Dengan kedua pipi yang penuh akan makanan, Farrel menoleh ke arah Rayhan dengan kedua bola mata yang membesar. Anna sendiri melihat pada raut wajah sang suami, memang sangat mencurigakan baginya. Seketika kedua alis Anna langsung berkerut dan menatap tajam ke arah Farrel.
"Bukankah sudah aku bilang, walaupun kita sedang bertengkar aku tetap akan mengantarkan makan siang untukmu. Kau tidak perlu jajan," celoteh Anna.
Wanita itu berdiri dan menarik Farrel untuk keluar dari ruangan Rayhan. Betapa leganya Rayhan saat ruangan ini kembali tenang dan tidak tercium aroma makanan yang mengudara. Berharap tidak ada kotoran makanan yang berceceran disofanya. Lantas Rayhan kembali melihat makanan yang tadi ia pesan. Entah kenapa setelah mendengar kalimat Farrel, ada rasa yang mengganjal dalam diri Rayhan. Dia menjauhkan makan siang itu dan memilih untuk memejamkan kedua matanya sejenak.
Ponsel Rayhan berdering, laki-laki itu sedikit terkejut, lantaran hampir saja dia tertidur. Berkat adanya panggilan diponselnya, rasa kantuknya mendadak menghilang. Pun setelah melihat siapa yang menghubungi, Rayhan langsung menjawab panggilan itu.
"Kenapa?"
Rayhan menunggu istrinya yang sedang berbicara tujuan ia menghubunginya.
"Letakkan saja dimeja kerjaku. Beberapa waktu lalu sekretarisku yang memberikan itu padaku," katanya lagi setelah Nara mengatakan jika ia menemukan sebuah kartu nama pada salah satu saku celananya.
Memang kartu itu sepertinya tidak Rayhan butuhkan, pasalnya juga ia tidak mengenal siapa nama yang tertera di sana. Tapi biarlah, mungkin pulang kerja nanti akan dia cari tahu tentang nama yang tertera pada kartu nama itu. Siapa tahu memang Rayhan mengenalinya.
Selesai Nara menjelaskan tujuan yang menghubungi Rayhan, dia ingin segera menutupnya, namun sang suami menahan untuk tidak terburu menutup panggilan ini. Jika dilihat dari raut wajah Rayhan, seperti ada sesuatu yang ingin dia sampaikan pada sang istri, namun semua itu tertahan di tenggorokannya. Sampai pada akhirnya, jawaban ini adalah jawaban terakhir yang ia punya.
"Saat pulang nanti, ada yang ingin aku bicarakan padamu," kata Rayhan. Tangan kanannya tengah meremat kantung plastik yang berisikan makan siangnya. Rematan itu akhirnya terlepas saat panggilan keduanya berakhir. Jantung Rayhan berasa lega sendiri saat selesai berbicara dengan Nara. Dia melihat ponselnya sekilas, mendadak nafsu makannya kembali, lantas dia menarik makan siangnya dan menghabiskannya. Tiap gigitan dari burger yang dimakan, Rayhan selalu melamun, namun disertai dengan senyuman tipis yang hanya dia yang mengetahui maksudnya.