Pekerjaan hari ini tidak terlalu banyak, waktu yang kosong ini pun digunakan Rayhan untuk melamun. Tidak, dia sama sekali tidak melakukannya dengan sengaja. Setelah menutup semua pekerjaannya, Rayhan menyandarkan tubuh dan langsung terdiam, tubuhnya pun juga tidak bergerak sama sekali. Pandangannya juga hanya tertuju pada meja kerjanya. Tangan kanannya ia gunakan untuk menyangga kepalanya. Deru nafasnya pun juga teratur, dia lebih terlihat kelewat tenang. Namun, entah apa yang sedang ia lamunkan saat ini.
Melihat telepon kantor, Rayhan langsung menghubungi sekretarisnya untuk memasuki ruangannya. Dan saat ini, Rayhan kembali terlamun sembari menunggu sekretarisnya memasuki ruangan ini. Di dekat laptopnya, ponsel hitam sedang terdiam nyaman. Tangan berurat milik laki-laki itu bergerak guna mengambil ponsel. Niatannya ingin menghubungi seseorang, namun terbatalkan saat seorang wanita memasuki ruangannya.
"Ambil semua dokumen ini. Periksa kembali," ucapnya dengan nada bicara santai.
"Baik, pak," balas sekretaris itu.
Wanita dengan blouse putih dipadu dengan rok sebatas lutut berwarna biru muda memutar tubuhnya untuk keluar dari ruangan. Hanya saja, hal itu sempat terhenti saat Rayhan menahannya.
"Windy, tolong—" ucapannya terpotong begitu saja saat presensi seseorang datang dan berdiri disebelah meja kerjanya. "Tidak jadi," lanjutnya pada sekretaris.
Tepat setelah pintu tertutup rapat, Rayhan melirik presensi itu melalui ekor matanya. Dia menaikkan kedua alisnya singkat dan mengabaikan orang itu. Namun, jika Rayhan pikir kembali, orang ini lebih mengerti daripada dirinya sendiri. Kakinya tergerak guna memutar kursi menghadap pada sosok yang sejak tadi berdiri disebelah meja kerjanya tanpa berkata sedikitpun.
Begitu kedua pasang bola mata mereka saling bertemu pandang, Rayhan langsung mengerutkan kedua alisnya, lantaran melihat Farrel yang menunjukkan senyuman lebar dengan kedua alis yang terangkat bersama. Temannya yang satu ini memang sedikit idiot jika Rayhan perhatikan lama-lama.
"Aku bosan," ucap Farrel.
Kebetulan sekali jika Farrel sedang bosan dan dateng ke ruangannya ini. Jadi, Rayhan juga tidak mengganggu waktu kerja laki-laki itu. Farrel terlihat duduk di sofa dengan memangku kakinya serta kedua tangan yang dilipat didepan dada. Dia menarik nafas panjang, layaknya seorang tahanan yang baru saja keluar dari tahanan dan bisa merasakan udara kebebasan.
"Kau sungguh tidak ada pekerjaan selain datang ke ruanganku?"
"Jangan mengusirku dengan ancaman menurunkan jabatanku," balasnya dengan kedua manik yang membesar. "Dari usia, aku lebih tua darimu," lanjutnya sembari mengigit ibu jari kanannya.
Dengan perlahan, Rayhan bangkit dari kursi kerjanya dan menghampiri temannya itu menuju sofa. Dia duduk tepat dihadapan Farrel, kakinya pun juga ia tumpu—persis seperti Farrel.
"Tidak. Justru aku senang kau datang," kata Rayhan.
"Kau merindukanku?"
Nampak wajah Farrel yang waspada terhadap gerak-gerik Rayhan. Dirinya merasa aneh dengan sikap temannya, yang terlihat seperti menunggu kedatangannya ini. Namun, dari wajah Rayhan, tak ada raut wajah bahagia atau senang atas kedatangannya. Farrel menghembuskan nafas sembari memainkan lidah didalam mulutnya.
Laki-laki yang memiliki jabatan lebih tinggi di sana itu menggeleng dengan kedua mata yang terpejam. Dia menatap temannya untuk beberapa detik, sebelum melontarkan kalimatnya.
"Tidak. Aku hanya senang kau datang,"
Farrel memperhatikan dan menelaah ekspresi dan ucapan teman sekaligus atasannya itu. Bohong jika Rayhan berkata begitu, manusia batu yang satu ini hampir tidak pernah berkata dirinya bahagia. Semua perasaan selalu dipendamnya seorang diri. Saking dalamnya melihat Rayhan, Farrel berdecih tidak percaya dengan apa yang dikatakan atasannya itu. Dia memutar kedua bola matanya jengah.
Melihat temannya yang seperti itu, semakin lama malah membuat Rayhan dongkol. Padahal Rayhan ini hanya ingin bertanya sesuatu pada Farrel, namun raut wajah temannya itu malah membuatnya enggan bercerita.
"Baiklah, akan aku dengarkan," celetuk Farrel secara tiba-tiba.
"Apa?"
"Curahan hatimu,"
Rayhan menaikkan kedua alisnya singkat, merasa jika Farrel itu tahu apa yang ada di kepalanya. Secepatnya dia abaikan dan mulai berbicara padanya.
"Saat awal pernikahanmu, apa yang kau lakukan pada istrimu?" tanya Rayhan.
Hal seperti ini sangat pantas jika ditanyakan pada Farrel yang sudah menjadi ahlinya. Bahkan, tanpa perlu berpikir panjang, Farrel sudah memiliki jawabannya. Bukan perkara sulit baginya, jika perlu Rayhan harus sering berkonsultasi dengannya mengenai hal seperti ini. Kali ini, dia senang ada yang dibanggakan dalam dirinya.
"Tentu saja aku menidurinya,"
Terdengar suara decakan dari Rayhan. Rasanya dia seperti kurang setuju dengan jawaban yang seperti itu. Dirinya dan Nara itu belum bisa dibilang dekat, bahkan Rayhan sendiri juga tidak tahu, apakah Nara menikah dengannya ini karena terpaksa menerima perjodohan atau tidak. Apa ada dasar cinta dalam pernikahan mereka? Atau hanya hitam di atas buku nikah saja? Singkatnya, mereka berdua ini masih abu-abu.
"Hey, aku tahu apa yang kau pikirkan. Tapi, setidaknya melakukan satu kali itu bisa membuat kalian menjadi lebih dekat. Jika kau pintar melakukannya, maka istrimu juga pasti akan menginginkanmu lagi," ucap Farrel lagi.
Sontak lirikan Rayhan berubah menjadi lirikan mematikan. Isi kepala temannya itu hanya tentang hubungan seksual. Tak heran, jika saat pertama kali Rayhan mengenal Farrel, banyak yang mengatakan jika laki-laki itu adalah seseorang yang cabul.
"Apa kau sudah pernah melihat bagaimana cara memenggal kepala?"
-
-
-
Memasuki kantor suaminya untuk pertama kalinya sudah pasti bukan sesuatu yang bisa membuat Nara tenang. Sejak di taksi tadi, tangannya sudah mulai dingin—lebih dingin dari pendingin didalam taksi itu. Dan berdiri didepan meja lobi juga membuat dirinya gugup. Nara menemui seorang perempuan cantik di sana, menyapanya dengan sopan.
"Selamat siang," sapa Nara lebih dulu.
"Selamat siang," perempuan itu sempat terlonjak saat melihat kedatangan Nara. "Oh, Bu Rayhan," katanya lagi, seolah memang perempuan itu mengenali Nara, hanya saja menggunakan nama suaminya.
"Kenal saya?" heran Nara.
Perempuan yang menggunakan kemeja berwarna merah mudah itu tersenyum lembut. "Tentu saja, ibu ini 'kan istri dari Pak Rayhan. Saat pernikahan kalian, semua karyawan hadir. Ibu tampak cantik menggunakan gaun merah itu," pujinya dengan senyuman dan acungan ibu jari.
Nara nampak tertawa kecil, ternyata pegawai suaminya ini juga bisa membuatnya merasa nyaman. Tahu tujuan kedatangannya, perempuan itu langsung bersedia mengantarkan istri dari atasannya ini menuju ruangan sang atasan. Namun, belum sempat berjalan menuju lift, suara wanita lain terdengar memanggil nama Nara. Dua wanita yang hampir menuju lift itu langsung terhenti dan membalikkan tubuh mereka. Ada istri Farrel yang sepertinya juga membawakan bekal makan siang untuk sang suami.
Wanita dengan sheath dress berwarna putih dan tas selempang yang berwarna sepadan dengan pakaiannya menghampiri Nara. Istri dari teman suaminya ini sangat mudah bergaul. Untuk kedua kalinya mereka bertemu, sudah terasa seperti bertemu berkali-kali.
"Biar aku saja yang mengantarnya," ucap Anna.
Perempuan yang bersama Nara itupun langsung pergi dari tempat. Dirinya tahu, jika wanita yang baru datang ini adalah istri dari atasannya juga. Karena itu, dia membiarkan Nara dan Anna untuk pergi berdua.
Dua orang istri itu berada didalam lift. Mereka saling terdiam, lantaran belum menemukan topik untuk membuka obrolan mereka. Saat lift sudah melewati lantai dua, barulah Anna membuka obrolan dengan Nara. Pertanyaan yang ia lontarkan saat pertama kali melihat tas bekal yang dibawa Nara.
"Ini kali pertama aku melihatnya dibawakan bekal," kata Anna.
Nara tersenyum malu sembari menyingkirkan poni yang menghalangi mata kanannya. Dia tertunduk melihat bekal untuk sang suami.
"Semalam dia memintanya," balas Nara.
"Sebenarnya tidak usah diceritakan pun aku juga sudah membayangkan bagaimana besar gengsinya untuk meminta sesuatu,"
Anna memang wanita dewasa, dari sikap maupun usia. Perbedaan usianya dengan Farrel dan Rayhan adalah tiga tahun. Hanya saja, dia lebih suka dipanggil dengan nama oleh dua laki-laki itu. Anna tak ingin terlihat lebih tua. Dan tentu saja, dia adalah satu-satunya wanita yang mengerti bagaimana sifat dan tingkah dua laki-laki itu ketika berada di kantor ini.
Dari samping, Anna memperhatikan bagaimana Anna yang bercerita tentang Farrel dan Rayhan. Itu hanya cerita tentang kebodohan yang dilakukan Farrel maupun Rayhan semasa kuliah. Sedikit demi sedikit, Nara juga tahu bagaimana sikap Rayhan saat bersama dengan teman terdekatnya.
Sesampainya pada lantai teratas, Nara terheran saat Anna ikut bersamanya. Wanita itu berkata, jika dia akan mengantarkan Nara sampai ke ruangan Rayhan, karena bisa saja Nara tidak mengetahui letak ruangannya. Apalagi saat ini jam makan siang, sudah pasti semua karyawan akan pergi mengisi perut, dan akan meninggalkan pekerjaan mereka. Nara sendiri juga menurut apa yang dikatakan oleh Anna.
Dan benar saja, di lantai ini sangat sedikit karyawan yang berada di tempatnya. Mereka yang masih disini, pasti sedang mengerjakan sesuatu yang tidak bisa ditinggalkan—sekalipun untuk mengisi tenaga mereka. Karena itu, para karyawan masih berkutat dengan komputer. Tidak enak juga jika mengganggu pekerjaan mereka hanya untuk bertanya tentang ruangan. Beruntung Nara ditemani oleh Anna.
"Mbak, terimakasih karena sudah mau mengantarkan ku. Tapi, seharusnya Mbak Anna tidak perlu repot seperti ini," kata Nara yang merasa sedikit tidak enak.
"Tidak apa-apa. Aku juga akan menyapa suamimu sebentar,"
Tepat setelah Anna selesai dengan ucapannya, wanita itu membuka pintu ruangan Rayhan. Betapa terkejutnya melihat pemandangan yang tak aneh, namun juga tak biasa dilakukan oleh Rayhan dan Farrel. Nara yang melihat air muka Anna, seketika tertarik untuk melihat ke dalam ruangan sang suami. Kini air muka Nara sama persisnya dengan Anna.
Dua laki-laki dewasa yang sedang bergulat di atas lantai layaknya anak kecil. Baik Rayhan maupun Farrel tidak terlihat seperti dua orang yang memiliki jabatan penting di kantor ini. Karena melihat pemandangan ini, Anna sampai menghela nafasnya kelewat panjang. Salah satu sudut bibirnya tertarik ke atas. Wanita itu lebih dulu masuk ke dalam ruangan Rayhan dan disusul oleh Nara.
Anna meletakkan kedua tangannya di pinggang, salah satu alisnya terangkat dan menatap dua laki-laki itu secara bergantian. "Istri kalian datang," seru Anna dengan suara rendah.