Suasana indah nan sejuk diiringi suara angin yang bersiul menggerakkan dedaun kelapa yang disambut suara ombak yang berisik menelisik di daun telinga. Siapa saja yang melihat dan merasakannya pasti akan senang dan nyaman dan bisa jadi mereka tidak mau pulang ke rumah asalnya.
Di dalam keindahan alam tersebut Elora berjalan dalam cipratan air laut yang menggelikan. Samar-samar ia melihat dua sosok yang telah melahirkan dan membesarkan dirinya di dunia ini. Ia mencoba mengejar sosok itu. dan berteriak agar mereka mengetahui keberadaanya.
"Ayah... Bunda…!"
Elora memanggil dengan sekuat tenaga, seperti ada yang sesak di dadanya namun ia menghiraukan rasa itu.
"Ayah… Bunda… Elora di sini!" teriaknya lagi. Namun ayah dan ibunya sama sekali tidak menoeh kebelakang.
Elora pun mencoba mendekatinya namun langkahnya seperti berat, langkahnya sangat lamban. Beberapa saat kemudian ia berhasil menuju ayah dan bundanya. Ia hendak menyentuh pundak ayah dan bundanya namun mereka tiba-tiba membalikkan badan dengan tersenyum sedih.
"Ah akhirnya bunda dan ayah melihat kebelakang," ujar Elora dengan ngos-ngosan.
"Elora," panggil Kinaya.
"Iya bunda?"
"Maafin ayah dan bunda ya..."
Elora tidak mengerti apa maksud ayah dan bundanya.
"Maksud bunda apa? Ayo kita kembali, udaranya sangat dingin bunda."
Elora ingin mengajak mereka berdua pulang sebab angina semakin berhembus kencang. Awan pun mulai gelap, pohon kelapa yang tadi hanya bergoyang sedikit kini nampak berguncang dengan hebat.
"Ayah dan bunda akan tetap disini. Elora pulanglah," ucap Vandigo.
Elora semakin tak mengerti ucapan dari ayah dan ibunya. Sedetik kemudian ia memandang separuh tubuh mereka yang tenggelam dalam air laut.
"Bunda sama ayah tidak kedinginan?"
Kinaya dan Vandigo menggeleng dan tersenyum sedih. Kinaya mencoba memegang tangan Elora.
"Dingin" ucap batin Elora.
"Ayah dan bunda kedinginan… ayo kita kembali," ucapnya dengan sedikit merengek.
"Tidak Elora. Bunda dan ayah tidak bisa pulang. Sekarang tempat ini adalah tempat tinggal ayah dan bunda."
"Lantas Elora bagaimana?"
"Elora pulanglah," ucap Kinaya dengan penuh air mata.
Elora menangis sejadi-jadinya sebab mendengar ucapan ayah dan ibunya. Dalam pikirannya sudah kacau. Apa dia diusir oleh bunda dan ayahnya? Apa dia tidak bisa bertemu ayah dan bundanya lagi? Pertanyaan seperti itu mengisi pikiranya.
"Elora jangan menangis nak, maafin kita kalau belum bisa jadi orang tua yang baik bagi Elora…," ucap Vandigo sambil mengelus kepala Elora.
"Maafin bunda juga yang sudah egois, lebih memilih cinta lama bunda disbanding keluarga kita sendiri. Maafin bunda sayang."
Kinaya memeluk putrinya yang terasa hangat, sedangkan tubuhnya semakin dingin.
"Elora harus tetap hidup dengan bahagia ya."
"Tidak bunda… tidak ayah…! Elora tidak mau jika tanpa bunda dan ayah. meskipun Elora selama ini seperti benci pada ayah dan bunda. Tapi di sini-" Elora menunjuk dadanya. "-ada rasa sayang dan rindu yang menggebu bunda… ayah…," isak Elora.
Vandigo dan Kinaya kembali memeluk Elora dengan erat.
"Kami tau itu, kami juga salah selama ini, kami gagal menjadi orang tua yang baik," ucap Kinaya dengan sedih.
"Sekarang. Elora pulang ya… jangan salahkan dirimu sendiri saat sudah tau kebenaranya. Semuanya bukan salahmu atau salah kita semua. Ini sudah takdir. Ayah dan bunda sayang Elora."
Kinaya dan Vandigo melepas pelukan dan berjalan menjauh meninggalkan Elora yang menangis. Ingin sekali Elora mengejar mereka, namun kakinya tidak bisa digerakkan. Ia hanya bisa menangis sejadi-jadinya. Hembusan angin, suara ombak semakin terdengar dengan rusuh.
"Tidak! ayah…bunda…!"
"AYAH! BUNDA…!"
Elora terus memanggil mereka namun mereka terus berjalan ke tengah laut. Tiba-tiba dari arah depan Elora muncul cahaya putih dan sedetik kemudia ia memasuki cahaya putih tersebut.
***
"AYAH! BUNDA…!"
"Hah..hah..hah"
Dengan nafas yang ngos-ngosan Elora terbangun dari pingsanya. Ia hanya melihat atap gazebo dan disambpingnya terdapat Kenza.
"Kenza! Apa yang terjadi? Mana ayah dan bunda!" tanyaynya dengan panik.
"maaf Elora, ayah dan ibumu tidak terselamatkan, dan kamu pingsan karena melihat ibumu yang tertimpa lampu besar dirumahmu" ucapnya dengan sedih, lalu ia memeluk Elora.
"menangislah jika kamu mau" ujarnya kemudian.
Mendengar itu, Elora menangis dengan pilu. Ini semua seperti mimpi bagi Elora. Ia sangat menyesal kemarin menolak saat diajak Kinaya untuk makan dan pergi bersama.
"Hwaaa…. Kenza ini salahku!" ucap Elora di sela-sela tangisanya.
"Tidak Elora, ini semua bukan salahmu."
Elora kembali mengingat ucapan ibu dan ayahnya di mimpinya tadi bahwa ini semua bukan salahnya. Mengingat itu ia semakin menangis dan akhirnya pingsan kembali.
Kenza yang melihat keadaan Elora yang hancur ikut meneteskan air mata.
"Sebenarnya ini bukan salahmu Elora. Tapi jiwamu," gumamnya.
***
Di ruang kerja yang minim pencahayaan, disitulah terdapat seorang pria yang sedang menerima telepon.
"Halo" ujarnya, menyapa seseorang di sebrang sana.
Ia mendengarkan ucapan seseorang yang ada di telponya dengan seksama.
"Apa? Mereka sudah tewas dua-duanya?"
Arga-sosok yang menerima telpon tersebut sangat terkejut, misi yang ditolak anaknya kemarin sekarang telah berhasil tanpa mengotori tanganya sendiri.
"Baguslah kalau begitu, tanpa mengotori tanganku, mereka sudah tewas dengan sendirinya hahahah."
Arga sangat puas dengan apa yang di dengarnya. Sebenarnya misi yang ia berikan ke Brian adalah membunuh Kinaya dan Vandigo.
***
Sedangkan di sisi lain, Brian sedang menuju ke perusahan rekan bisnisnya karena mengadakan meeting, ia melihat kebulan asap yang sangat hebat. Dengan penasaran ia menuju lokasi asap tersebut. Di dalam hati kecilnya ia penasaran rumah siapa yang terbakar.
"Itu asapnya seperti di sekitar perumahan milik Elora"
Brian menancap gas mobilnya menuju lokasi asap dan benar dugaanya, asap tersebut berasal dari rumah Elora. Ia segera memasukan mobil ke halaman rumah yang hangus dan roboh itu.
Dengan panik ia melangkahkan kaki mendekat ke rumah yang sudah gosong tersebut,
"Elora!" panggilnya.
"…" Tidak ada sahutan dari pemilik nama tersebut.
***
Kenza kebingungan karena Elora yang belum sadar juga, sekarang sudah malam, jam menunjukkan pukul 18.00 namun Elora belum sadar, padahal sudah diberi bau-bauan yang bisa membuat siuman.
Tidak ada cara lain selain membopongnya.
"Elora!"
Samar-samar ia mendengar suara yang mirip dengan dosen di kampus kemarin. Ia langsung turun dari gazebo dan menghampiri sumber suara tersebut.
"Pak di sini!" ucapnya ketika melihat Brian celingak-celinguk mencari Elora.
"Loh Kenza. Dimana Elora."
"Dia pingsan dari siang pak, sekarang dia di gazebo."
Brian dan Kenza segera berlari menuju gazebo , ia melihat wajah sedih Elora yang pingsan, terdapat bekas air mata yang sudah mongering di wajahnya.
"Kalau bapak tidak keberatan, bisakah antar ke kos saya?" tanya Kenza dengan sopan.
"Iya. Ayo."
Brian mulai menggendong Elora menuju ke dalam mobil dan mereka bertiga menuju kos Kenza.
Brian melihat jam tangan yang menunjukkan pukul 18.30. kurang 30 menit lagi dirinya ada rapat penting, namun ia tidak bisa meninggalkan Elora sendirian. Ia dipenuhi oleh kebimbangan. Namun akhirnya ia tetap mengutamakan Elora.