Suara sirine yang terus berlalu lalang melewati mobil yang dikendarai Brian. Banyak polisi yang menyelidiki kebakaran di rumah sang konglomerat itu. sementara sang anak konglomerat tersebut sekrang masih tidur dalam gelisahnya di dalam mobil dengan kepala yang dipangku seoang gadis bernama Kenza.
Brian menatap Elora dari kaca kecil di depanya. Terlihat matanya sembab dan wajahnya sangat lelah. Kemudia ia beralih ke arah Kenza.
"bagaimana kronologinya"
"Aku juga tidak tau, tapi sepertinya Elora lupa mematikan kompor saat ia membuat sarapan."
"Astaga," ucap Brian sambil memijit pelipisnya.
"Ini belok mana Kenza?" Tanyanya ketika sampai di pertigaan.
"Belok kanan, melewati tiga rumah lalu sampai. Itu kosanku"
Brian menancap gasnya kembali. Beberapa detik kemudian ia sudah sampai di depan rumah yang bertuliskan 'The Kost Female'
"Pak, biar saya saja yang menuntunya ke atas. Tidak baik jika bapak terlihat oleh penghuni kos lainya," ucap Kenza dengan sangat hati-hati karena takut melukai perasaan Brian.
"Baiklah, hati-hati ya," ujar Brian.
"Baik, bapak juga hati-hati. Terimkasih banyak."
Setelah mengucapkan terimakasih, Kenza mulai menuntun Elora ke dalam kosannya. Ia juga dibantu beberapa teman kos yang masih belum tidur. Brian mengawasi mereka sampai mereka sudah menghilang dibalik tembok.
"Elora… semoga dirimu tabah," gumamnya kemudian berputar balik untuk menemui pertemuanya dengan rekan bisnisnya yang sempat tertunda tadi.
***
"APA!" ucap seseorang yang berumur kurang lebih 60 tahun yang sekarang sedang menerima telpon dari pihak kepolisian. Ia adalah ayah dari Kinaya. Remon Wongsono. Marga Wongsono ialah marga konglomerat. namun kenapa Kinaya memakai marga Shaneur? Karena ia mengikuti marga suaminya.
"Maaf bapak. Keduanya ditemukan tewas di tempat," ucap seorang polisi di sebrang sana.
"Lalu anak mereka dimana?" Remon bertanya dengan nada khawatir.
"Kami belum bisa menemukanya."
"Apakah sudah ditemukan penyebab dari kebakaran itu?!"
"Sesuai selidikan dari tim kami, kebakaran tersebut dikarenakan kelalaian di dapur. Kompor belum dimatikan pak, karena tadi masih ada mie instan yang gosong di atas kompor yang meledak. Sepertinya cucu anda yang memasak mie instan namun lupa tidak mematikan kompor pak"
"APA!"
Ramon tak kuasa menahan amarahnya, bagaimana bisa cucunya seceroboh itu, akibatnya orang tua sekaligus anaknya sendiri tewas di tempat.
TUT TUT TUT
Telpon diakhiri secara sepihak karena Ramon sudah tidak sanggup mendengarkan semuanya. Kinaya anak satu-satunya yang ia besarkan, yang ia didik agar menjadi pebisnis yang sukses sekarang sudah tiada.
Ramon menyalahkan semua ini pada Elora, cucunya yang ia sangat sayangi sekrang menjadi titik utama kebencianya.
Ramon tidak tau harus bagaimana. Dari keluarga Shaneur sudah tidak ada keturunan selain Elora sendiri. Kedia orang tuan Vandigo sudah meninggal saat vandigo remaja, maka dari itu ia yang merawat vandigo dan menikahkanya pada kinaya, anak semata wayangnya.
Dada Ramon sangat sakit karena menerima berita yang menyayat hatinya. Namun ia dengan bergegas mengambil obat yang ada di lemari.
"Awas kau Elora!" teriaknya.
***
Sementara itu di kosan Kenza. Ia mencoba berbagai cara agar Elora cepat sadar, mulai dari minyak kayu putih, balsam dan juga bau kaos kaki yang belum dicuci selama tiga bulan tetap tidak membuat pemilik rambut hitam legam panjang menggerakkan bulu matanya yang lentik. Kenza sudah hampir putus asa.
"Kenapa susah sekali tuan putri bangunya?" gumamnya.
Kenza memandang sekeliling kamar kosnya dan ia baru sadar. "Tidak ada makanan," ucapnya ketika menyadari tidak ada stok cemilan maupun makanan untuk mereka berdua.
Kemudin Kenza beranjak dari posisi duduknya dan keluar mencari makanan di toko kolontong terdekat. Ia meninggalkan Elora yang belum sadar.
Setelah sampai toko kelontong ia melihat-lihat apa yang bisa ia makan bersama Elora.
"Ibu beli jajan nabati besar satu, lalu macaron satu, teh dua, lalu kuaci dua bungkus yang besar. " ucapnya kepada ibu penjual.
"Ada tamu nih non?"
"Iya bu, teman kuliahku main ke kos."
"Oh… totalnya jadi 30 ribu non."
Kenza meraga sakunya, kemudia ia menyerahkan uang ke ibu penjual itu. "Makasih bu."
Ibu itu menganggukaan kepala sebagai balasa ucapan terimakasih dari Kenza.
Gadis berkacamata tersebut kemudian menuju warung makan untuk membeli nasi dan lauk.
"Mas, beli nasi penyet ikan ayam dua bungkus."
sambil menunggu pesananya jadi, Kenza bersenandung kecil agar dirinya tidak merasa bosan. Sebenarnya ia jarang sekali bergaul dengan orang apalagi membawa teman ke dalam kosan nya. Tapi sejak bertemu dengan Elora, ia seperti hidup kembali dan juga senang sekali berada di sampingnya.
"Ini, harganya 25 ribu."
"Makasih," ucapnya sambil memberikan uang kepada penjual makanan."
Ia kemudian kembali ke kosannya. Dilihatnya Elora yang masih tertidur dengan jeli. "Cantik sekali tuan putri," ucapnya.
Tiba-tiba hidung Elora bergerak dan sepertinya mendengus-dengus bau sesuatu. Kenza yang awalnya melihat dengan dekat wajah Elora sekrang dirinya menjauh.
Hidung Elora masih mengendus-endus bau padahal matanya masih tertutup rapat. Kemudia bibirnya bergerak seperti mengatakan sesuatu.
"Bau makanan hum…" ucapnya sambil mata yang masih terpejam.
Kenza celingak celinguk dan ikut mengendus apa yang sedang diendus Elora. Dan benar saja, ia mengendus penyetan ayam yang sedang ia bawa.
"Elora… bangunlah, aku ada makanan banyak nih," ucapnya dengan terkekeh.
Dengan perlahan Elora membuka matanya. Kesan pertama yang ia dapat iaah bingung. Ia bingung kenapa ada di ruangan kecil bersama dengan Kenza.
"Kenza kenapa aku disini?" ucapnya dengan lemas.
"Kamu tidak ingat?"
Elora mencoba berpikir sesuatu yang sudah terjadi sebelum dirinya berasa di ruangan ini bersama Kenza.
"Tidak! AYAH..BUNDA..!" racau Elora ketika mengingat apa yang sudah terjadi.
"Hiks.. Kenza ayah dan bunda tewas," isak Elora.
Dirinya benar-benar kacau atas musibah yang telah terjadi. Sedangkan Kenza bingung harus berbuat apa kepada eora. Dirinya hanya bisa menenangkan Elora dengan sebuah pelukan.
"Sabar Elora… tenanglah"
"Tapi aku harus kesana Kenza! Aku ingin meihat ayah dan ibu untuk terakhir kali."
"Semuanya sudah diurus oleh kepolisian Elora, besok kita akan kesana. Sekarang ayo kita makan dahulu. Energimu akan habis," ujar Kenza dengan nada yang sangat khawatir.
Elora memandang Kenza sejenak, kemudian ia mengangguk dan mereka mulai membuka bungkusan nasi yang sudah dibelinya.
"Kenza…" panggil Elora.
"Hum?"
"Apa ini kesalahanku? Gara-gara aku lupa mematikan kompor semuanya jadi begini"
"Tidak Elora, semua ini sudah takdir. Lebih tepatnya takdir dari jiwa yang penuh dendam di dalam tubumu."
Elora sempat terkejut Kenza berkata seperti itu, kemudian ia teringat akan ucapan ayah dan bundanya dimimpinya. Ia tidak boleh menyalahkan dirinya sendiri. Namun, tentang jiwa yang penuh benci di dalam tubuh Elora ini yang membuatnya sangat kesal.
"Aku tadi sempat bertemu Alessa, dia berkata bahwa aku harus membunuh seorang yang ia suruh. Karena sejatinya aku hidup hanya untuk balas dendam"
"Aku paham Elora," ucap Kenza di sela-sela kunyahanya. "Maka dari itu, secepatnya kamu harus menuju ke Hutan pinggri kota, agar bertemu dengan nenek"
Elora terdiam sejenak.
"Baik kalau begitu, gara-gara dia tubuhku jadi lemah, gara-gara dia kedua orang tuaku tewas!" ucapnya dengan geram.
Elora dan Kenza kembali menyantap makananya dengan terdiam. Elora tidak menyadari bahwa Hp yang ada di dalam tasnya selalu bergetar karena seseorang menelponnya. Namun karena mode getar, ia tidak menyadarinya.