Keadaan mulai terkendali, para tamu pun sudah pulang ke wilayah masing-masing. Malam di Alban terasa cukup dingin, tapi mereka yang tinggal di sana tampaknya sudah terbiasa.
Langit di atas sana juga memiliki bintang, seperti halnya dunia asal Park Sun-Hyung. Bahkan bulan sabit pun mulai tampak, benar-benar dunia yang sangat mirip. Hal itu perlahan membuat Park Sun-Hyung rindu akan kehidupannya sebelum masuk ke dunia ini. Rumah, keluarganya, sungguh dia ingin cepat-cepat kembali.
Sekali lagi Park Sun-Hyung menghela nafas berat. Tangannya yang terlipat di atas bingkai jendela dia gunakan sebagai sandaran dagu. Termenung menatap langit malam seperti ini sudah menjadi kebiasaannya sejak kecil. Dalam dirinya tak ada yang istimewa. Sebelum masuk ke dunia ini, dia hanyalah seorang pelajar yang sering mendapatkan perlakuan buruk dari teman-teman di kelasnya.
Park Sun-Hyung selalu sendiri. Tak ada yang berani mencoba membantunya kala itu. Setiap hari dia lewati dengan berat dan lari adalah yang bisa dia lakukan. Dimanapun dia bertemu berandalan yang menyiksanya, dia akan lari. Bahkan ketika Park Sun-Hyung melihat mereka melakukan hal tak sopan pada seorang gadis, dia tetap lari. Sungguh sangat lemah.
Baru dua hari dia di dunia ini, tapi dirinya sudah mulai berubah. Meregang nyawa seperti hal yang biasa. Terlebih lagi dia telah mengalami kematian satu kali. Memang cukup menyakitkan ketika mengingat tangan Victor yang menembus dadanya, mematahkan tulang rusuk dan menusuk jantungnya tanpa ragu.
Tubuh Park Sun-Hyung merinding mengingat hal itu. Dia sendiri tak tahu apalagi yang akan terjadi esok hari. Tapi satu hal yang pasti, dia harus segera menyelesaikan takdirnya di dunia ini.
Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk.
"Masuk," ucap Park Sun-Hyung tanpa mengubah posisinya.
Terdengar engsel pintu berderit, lalu suara langkah kaki yang samar.
"Apakah Tuan Park membutuhkan sesuatu?" suara seorang elf wanita membuat Park Sun-Hyung terkejut. Dia menoleh dengan cepat dan mendapati seorang elf wanita berpakaian pelayan tengah berdiri menunggu jawaban darinya.
"Kenapa kau kesini?"
Pelayan itu tersentak, walau nada bicara Park Sun-Hyung masih dalam kata wajar.
Tadi setelah makan malam, Reigan menawarkan sebuah rumah dengan fasilitas lengkap dan beberapa pelayan untuk Park Sun-Hyung. Sayangnya dia menolak para pelayan itu. Park Sun-Hyung berkata pada Reigan, bahwa saat ini dia ingin suasana tenang dan ruang untuk dirinya sendiri. Tapi kenapa sekarang tiba-tiba seorang pelayan datang? Ini sungguh menyebalkan.
"Sa-saya hanya mengikuti perintah Tuan Reigan. Maafkan saya, Tuan Park."
Park Sun-Hyung menghela nafas berat.
"Saya juga diminta menemani anda tidur jika anda menginginkannya."
"Hah?!" Mata Park Sun-Hyung terbelalak. Sungguh ini sudah keterlaluan. Sebenarnya apa yang ada di kepala Reigan itu, bahkan usia Park Sun-Hyung baru genap delapan belas tahun.
Sesaat Park Sun-Hyung berpikir sambil melihat penampilan pelayan itu, lalu mengangguk paham.
"Kemarilah."
Cahaya redup dari benda mirip lilin di atas meja menerpa tubuh pelayan itu dari arah samping. Semakin memperjelas pandangan Park Sun-Hyung. Jika diperhatikan, pelayan itu memang memiliki penampilan yang cukup memikat. Dia cantik dan terlihat seumuran dengan Park Sun-Hyung, tapi wajahnya yang memerah terlihat begitu jelas.
Wajah polos yang menahan rasa takut dan malu. Park Sun-Hyung teringat pada sosok gadis yang mendapat perlakuan tak sopan dari para berandalan di sekolahnya.
"Siapa namamu?"
"Sa-saya, Nara, Tuan."
Park Sun-Hyung mengangguk pelan, lalu tersenyum. Pelayan itu tersipu, perasaannya tak menentu. Bagi Nerra ini adalah tugas yang sangat terhormat, tapi dirinya juga tak mampu menahan rasa takut. Dari sekian pelayan yang masih gadis, Reigan memilih Nara untuk menemani malam Park Sun-Hyung.
"Salam kenal ya, aku Park Sun-Hyung. Jangan berpikir yang tidak-tidak, aku hanya ingin punya teman di sini."
"Ta-tapi, Tuan Reigan meminta saya tidur bersama anda. Sa-saya ini masih gadis, Tuan Park."
Park Sun-Hyung tertegun, matanya menatap nanar ke wajah Nara. Tak sepantasnya dia mendapat tugas seperti ini. Nara hanya seorang gadis polos seusianya, dia memiliki hak untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Kenapa dia harus menjadi pelayan seperti ini? Pemikiran itu membuat Park Sun-Hyung sedikit kesal pada Reigan.
"Sudah ya, Nara. Aku tak ingin melakukan hal semacam itu."
"Ta-tapi, Tuan–"
"Aku paham. Reigan ingin kamu melayaniku, kan?"
Nara mengangguk cepat.
"Lalu kamu sendiri bagaimana?"
"Sa-saya hanya menjalankan tugas dari, Tuan Reigan."
Jawaban Nara terlalu mudah untuk ditebak. Park Sun-Hyung menghela nafas berat. Dia sudah terbiasa dengan kehidupan yang suram. Memikirkan perasaannya pada seorang gadis pun dia tak pernah. Dirinya yang selalu sendiri tak pernah memiliki tempat. Semua teman sekelasnya menjauh, rasa takut adalah hal yang membuat mereka enggan mendekat. Saat Park Sun-Hyung mendekat pun mereka pasti juga akan menjauh.
"Kamu punya teman, Nara?"
"Sa-saya, punya, Tuan. Kami para keluarga bawah selalu ditakdirkan menjadi pelayan untuk mereka yang lebih kuat. Banyak gadis yang seperti saya dan mereka adalah teman saya."
Park Sun-Hyung bangkit berdiri, menatap lekat-lekat wajah Nara.
"Kau beruntung memiliki mereka. Saat berada di duniaku, tak ada satupun yang mau berteman denganku." Park Sun-Hyung terlihat sedih. Matanya redup dengan wajah dipalingkan, seakan menghidari tatapan gadis di depannya. Nara tertegun, dadanya terasa sesak. Sosok manusia yang sangat dihargai oleh Reigan dan seluruh penduduk Alban ternyata memiliki kesedihan sedalam itu.
Air mata Nara menetes, jatuh ke lantai begitu saja. Hening sesaat. Park Sun-Hyung masih cukup kalut dengan perasaannya sendiri. Dia tak sadar jika gadis elf di depannya tengah meneteskan air mata untuk dirinya.
"Tu-tuan Park …."
Nara melangkah maju, meraih wajah Park Sun-Hyung dengan jemari yang sedikit kasar akibat pekerjaannya sebagai pelayan. Wajah mereka bertemu, saling mengamati satu sama lain. Telinga Nara yang sedikit panjang dan lancip tak membuat Park Sun-Hyung risih. Wajah gadis elf itu benar-benar cantik dengan sepasang mata bermanik biru laut.
Nara menutup matanya perlahan. Dia sudah siap jika Park Sun-Hyung melakukan sesuatu pada dirinya. Tapi yang dirasakan oleh Nara hanya sebuah sentuhan di pundaknya yang terasa hangat.
Park Sun-Hyung menyandarkan wajahnya di pundak Nara. Hatinya tersiksa oleh kenangan-kenangan buruk, bercampur dengan rasa rindu pada keluarganya. Entah kapan dia bisa kembali ke rumahnya lagi. Mendapat omelan dari ibu. Bermain basket bersama sang ayah dan berbuat usil pada kakaknya. Sungguh dia sangat merindukan hal-hal kecil itu.
Perlahan Nara menggerakan tangannya, menyentuh punggung Park Sun-Hyung. Ternyata tak seperti yang dia lihat seharian ini. Nara sadar bahwa laki-laki yang kini dia peluk lebih menderita dari pada dirinya sebagai pelayan.
Menyakitkan. Mereka tenggelam dalam perasaan masing-masing, hingga akhirnya Park Sun-Hyung mengangkat wajahnya. Dia masih cukup tegar untuk melewati ini semua. Apapun takdir yang tengah menunggunya, pasti akan dia lewati. Untuk itu dia harus bertambah kuat.
"Nara, kamu bisa membuatkanku segelas teh?"
"Eh." Nara tertegun. Dia buru-buru mengusap air mata di wajahnya yang merona.
"Ma-maafkan saya, Tuan. Saya sudah tidak sopan."
Park Sun-Hyung tertawa kecil, lalu menatap Nara dengan penuh keyakinan.
"Kau ini terlalu polos. Harusnya aku yang meminta maaf, di duniaku, seorang wanita itu sangat dihargai. Kami para laki-laki akan mendapat hukuman jika berbuat semaunya. Jadi apa kamu mau menghukumku, Nona Nara?"
"Eh!" Wajah Nara memanas, dia hampir melompat karena terlalu malu. Apalagi saat melihat senyum Park Sun-Hyung. Sekujur tubuh Nara seakan terasa lemas, laki-laki di depannya sungguh membuat dirinya berantakan.
***