Di atas meja ruang tamu sudah tersaji tiga gelas tembikar berisi teh hangat yang mengepulkan uap samar. Nara tersenyum pada Reigan, Gael dan Nevar. Mereka bertiga terlihat lesu karena tak bisa tidur semalaman. Setelah kedatangan Park Sun-Hyung, banyak kejadian yang terus saja membuat Reigan dan yang lain berusaha keras untuk menyelesaikannya. Hal tersebut masih mengganggu pikiran Reigan sampai saat ini. Sosok Park Sun-Hyung yang mendapat kehidupan kedua bukanlah hal yang bisa diabaikan. Apalagi jika mengingat cahaya energi dahsyat dari langit yang terserap ke tubuh bocah rakus itu.
Berbeda dengan Reigan. Gael dan Nevar tak bisa tidur karena semalaman mereka berdua terus berjaga di rumah yang dihuni Park Sun-Hyung. Para tamu memang sudah pergi dari Alban, tapi tak ada alasan bagi mereka untuk melakukan serangan secara mendadak. Gael juga masih ingat sosok elf yang dia kejar pagi kemarin. Dia khawatir jika hal tersebut terulang lagi. Hal yang sangat disayangkan adalah elf misterius itu bisa lolos dari Gael.
Kini mereka bertiga tengah larut dalam pikirannya masing-masing. Tubuh lelah mereka terabaikan. Seperti halnya seorang Nevar yang sampai saat ini masih merasakan nyeri di sekujur tubuhnya.
"Silahkan diminum tehnya selagi hangat. Tuan Park masih tidur di kamarnya." Nara mencoba tersenyum untuk menghibur mereka. Terlihat Reigan memalingkan wajahnya.
"Maaf ya, Nara. Kami datang terlalu pagi tampak nya." Benar sekali. Mereka bertiga mengetuk pintu rumah itu terlalu pagi, bahkan langit pun masih gelap.
"Saya justru merasa terhormat bisa melayani anda bertiga sepagi ini."
"Bagaimana malam kalian?"
Ditanya seperti itu oleh Reigan, sontak wajah Nara langsung merona. Dia sangat malu, karena semalam memang banyak hal yang terjadi.
"Hahaha … tak usah diceritakan. Melihat wajahmu saja aku paham."
Nara tertegun. "Eh–em … ti-tidak seperti yang anda pikirkan. Tuan Park terlalu baik, dia hanya minta untuk dibuatkan teh semalam."
Gael dan Nevar yang sedang meminum teh hampir saja tersedak karena ucapan Nara barusan. Mereka berdua menatap pelayan itu dengan wajah tak percaya. Bagi mereka, Nara adalah gadis yang sempurna. Tapi kenapa Park Sun-Hyung tak melakukan sesuatu pada Nara?
"Tuan Park juga sempat bercerita tentang kehidupannya."
Reigan tersenyum mendengar itu. Wajah yang terlihat lelah itu kembali bersemangat.
"Bisakah kau cerita pada kami, Nara?"
"Ma-maaf, Tuan Reigan." Nara langsung membungkuk. "Tuan Park meminta saya untuk merahasiakannya."
Seperti kecewa. Reigan menghela nafas berat dan mengangguk pelan. Dia sempat meminum tehnya sebelum berkata lagi.
"Aku paham. Sekarang, dirimu adalah milik Tuan Park. Kau tak berkewajiban melakukan hal yang kuminta, tapi apapun yang dibutuhkan oleh Tuan Park harus kau penuhi."
"Terima kasih atas pengertian anda, Tuan Reigan. Saya merasa sangat terhormat bisa melayani Tuan Park. Selama saya masih hidup, saya akan selalu melayani Tuan Park."
"Bagus, aku senang kau paham akan hal ini. Tapi aku sendiri tak bisa menjamin apa yang akan terjadi selanjutnya."
Nara tersenyum. Matanya yang bermanik biru memancarkan sebuah keyakinan. Reigan bisa merasakan, gadis itu telah memantapkan hatinya. Gael dan Nevar pun dibuat terkesima dengan wajah Nara yang tersenyum begitu tulus. Mereka berdua merasa iri. Park Sun-Hyung sangat beruntung mendapatkan perhatian dari Nara yang sangat cantik dan sopan.
"Hem!" Reigan menyadarkan Gael dan Nevar yang menatap Nara tanpa berkedip sedetikpun. Lalu keduanya tampak salah tingkah sendiri dan meminta maaf.
"Tolong bangunkan, Tuan Park. Aku ingin membawanya ke suatu tempat."
Perintah dari Reigan langsung mendapat respon cepat. Nara mengangguk paham lalu bergegas menuju kamar Park Sun-Hyung.
Saat membuka pintu kamar, Nara tertegun di ambang pintu. Dia melihat wajah Park Sun-Hyung yang tengah tertidur pulas. Begitu polos dan terkesan sangat tenang. Setiap hembusan nafas yang teratur itu, membuat jantung Nara semakin berdetak kencang. Rasanya ingin sekali berada di dekat sosok yang tampak damai itu, tapi dirinya terlalu gugup untuk sekedar melangkah maju.
Nara menepuk pipinya, seperti sedang menyadarkan dirinya sendiri. Lalu berjalan mendekat, duduk di tepi ranjang sambil mengamati wajah Park Sun-Hyung. Sungguh tak ada hal yang lebih menenangkan dari ini. Nara sangat nyaman berada di dekat bocah rakus itu.
"Tuan Park …." gumam Nara pelan sambil menggerakkan tangannya meraih wajah Park Sun-Hyung.
Jemari Nara belum sempat menyentuhnya, tapi Park Sun-Hyung sudah terbangun. Dia membuka matanya perlahan, terkantuk-kantuk menatap wajah Nara yang tersenyum. Satu detik, dua detik dan akhirnya Park Sun-Hyung membuka matanya lebar-lebar. Dia terkejut dengan sosok Nara yang ada di dekatnya.
Park Sun-Hyung mengerjapkan matanya beberapa kali. Dia masih tak percaya jika sosok di hadapannya adalah Nara yang semalam datang sebagai pelayan.
"Ka-kamu … Nara yang semalam?"
"Iya, Tuan. Saya Nara, pelayan pribadimu."
"Hah?!" Bola mata Park Sun-Hyung bergerak kesana kemari, dia mencoba berpikir dan mengingat kejadian semalam.
"Apa ada yang salah, Tuan?"
"Eh–iya. Semalam aku … ti–dak berbuat aneh, kan?"
Nara tertegun, lalu memalingkan wajahnya yang memerah. Sontak Park Sun-Hyung terbelalak dengan pikiran yang mulai kacau. Wajah Nara yang malu itu membuat dirinya berasumsi tentang hal di luar kendalinya.
"Tuan Park tertidur saat saya mulai bercerita."
Park Sun-Hyung terkejut, lalu mengingat kejadian semalam. Setelah Nara membuatkan teh untuknya, Park Sun-Hyung yang masih terbawa suasana sedih mulai bercerita panjang lebar. Sesekali Nara bertanya dan Park Sun-Hyung akan menjawabnya dengan antusias. Lalu ketika Nara bercerita, Park Sun-Hyung justru tertidur.
"A-aku ingat!" seru Park Sun-Hyung antusias. Tapi wajahnya langsung cemberut ketika dia sadar dengan hal yang dia lakukan pada Nara itu tak sopan. Nara saja mau mendengarkan ceritanya, tapi begitu giliran Nara yang bercerita tiba-tiba saja dia tertidur.
"Maaf, semalam aku lelah sekali, Nara. Tapi aku janji bakal dengerin cerita kamu nanti atau kamu mau cerita sekarang? Ayo tak usah malu, aku akan dengerin semua cerita kamu."
Nara tersenyum, lalu menggeleng pelan.
"Mungkin lain kali saja, Tuan. Saat ini, Tuan Reigan sedang menunggu anda di ruang tamu. Aku kemari untuk membangunkanmu."
"Yah … sayang sekali, lagi pula kenapa Paman Reigan pagi-pagi mencariku? Dia bilang sesuatu?"
"Tuan Reigan ingin mengajak Tuan ke suatu tempat."
"Hah?!" Park Sun-Hyung sedikit kesal. "Paman itu tak punya kegiatan atau terlalu semangat."
Tiba-tiba perut Park Sun-Hyung berbunyi. Nara terkejut, lalu tertawa kecil. Park Sun-Hyung merasa malu, dia menggaruk kepalanya yang tak gatal, tapi pada akhirnya dia juga tersenyum. Wajah Nara benar-benar cantik, apalagi saat dia tertawa. Seakan mata Park Sun-Hyung tak bisa beralih dari wajah gadis itu. Mungkin kah dia tengah terpesona?
Park Sun-Hyung bergegas. Dia merenggangkan tubuhnya ketika bangkit berdiri. Rasa kantuk masih terasa, membuatnya sesekali menguap. Tapi dia tak boleh membuang waktu. Jika Reigan ingin membawanya ke suatu tempat, pasti bukanlah hal sepele dan mungkin berhubungan dengan takdirnya di dunia ini. Maka dengan semangat Park Sun-Hyung berjalan menuju ruang tamu.
"Eh …!" Park Sun-Hyung terkejut melihat Gael dan Nevar yang tertidur di kursi yang mereka duduki.
Mendengar suara Park Sun-Hyung yang cukup keras, Gael dan Nevar langsung bangun dan berdiri dengan sikap siap bertempur.
"Di-di mana musuh kita?"
"Kita lengah, Tuan Gael."
Mereka berdua tampak konyol ketika tiba-tiba panik tak jelas. Park Sun-Hyung menahan tawanya sambil melirik ke arah Reigan yang terlihat mengantuk.
'Mereka terlihat sangat kelelahan, apa ini karena aku?' batin Park Sun-Hyung. Dia mengangguk pelan, lalu menghela nafas.
"Kalian belum tidur ya?"
"Hah?!" Gael dan Nevar tampak kompak sekali. Sedangkan Reigan hanya tersenyum lesu.
"Maaf, Paman Reigan. Aku tak bisa ikut denganmu atau mematuhi perintahmu jika kalian masih memaksakan diri seperti ini."
"Aku terlalu khawatir denganmu, Tuan Park. Lalu mereka berdua semalam juga berjaga di area rumah ini."
"Khawatirkan diri kalian juga. Kalau kalian tumbang hanya karena tidak bisa tidur, lalu nanti siapa yang akan melindungiku. Kita semua punya batasan masing-masing, jangan memaksakan diri seperti ini."
Wajah Park Sun-Hyung terlihat sangat serius sekarang. Dia benar-benar tak habis pikir pada mereka yang rela seperti ini hanya demi dirinya.
"Pulanglah, Paman. Gael dan Tuan Nevar juga. Kalian boleh datang lagi jika sudah tidur."
Reigan, Gael dan Nevar terdiam. Mereka berpikir sesaat. Ucapan Park Sun-Hyung memang ada benarnya. Mereka bertiga terlalu memaksakan diri.
Nara tersenyum. Gadis di samping Park Sun-Hyung itu sedang menatap sosok manusia yang membuat jantungnya berdebar. Dia melihat sosok lain dari Park Sun-Hyung dan itu membuat hatinya semakin terasa aneh.
Akhirnya Reigan paham. Dia mengajak Gael dan Nevar untuk pulang dan beristirahat.
"Jangan ke mana-mana sebelum kami datang lagi. Tim pengintai akan berjaga di sekitar rumah ini," kata Reigan sebelum beranjak pergi.
***