Sejak saat itu, aku merasa lenteraku padam, aku menjalani hari-hariku dengan senyuman, namun bukan lagi senyuman atas nasihat-nasihatnya, melainkan senyuman yang sengaja kuukir di bibir merah mudaku ini untuk menunjukkan sikap bahwa aku ikut bahagia dengan hubungan mereka. Dan sejak saat itu pula dia jarang menghubungiku. Komunikasi terakhirku dengannya berakhir tepat sehari sebelum aku mengetahui ia menjalin hubungan dengan gadis lain. Dia mengatakan bahwa hubunganku dengannya lebih baik sebagai adik perempuan terhadap kakak laki-lakinya juga kakak laki-laki terhadap adik perempuannya. Jujur saat itu aku sangat terpukul dengan keputusannya dan tetap kucoba menerima karena kufikir dia terlebih dahulu ingin fokus kepada studinya terutama ujian nasional yang semester depan harus ia taklukkan. Hingga akhirnya aku mengetahui alasan dibalik semuanya yang tentu saja membuatku semakin sering memuntahkan air berlian dari mata indahku. Yang kulakukan hanya menangis, menangis, dan menangis. Betapa tidak? Hatiku kehilangan tambatannya begitu saja. Aku masih terluka bahkan hingga aku menyelesaikan semester ketigaku di sekolah biru ini. Walaupun di samping itu Tuhan masih mempercayaiku untuk mempertahankan gelar sebagai pemilik dari ranking teratas dari dua kelas di tingkat yang sama dari setiap semester yang kujalani. Aku terluka, sangat amat terluka. Waktu istirahatku hanya kuhabiskan di pojok kelas dengan air mata yang seakan tak pernah habis untuk menangisinya. Teman-temanku pun tidak lagi mengerutkan dahinya jika melihatku seperti itu, karena mereka tahu semua penyebabnya meskipun aku sendiri tidak pernah dengan sengaja memberitahu mereka alasannya.
Semuanya terus berlanjut hingga Tuhan mengirimkan malaikat lain kepadaku, malaikat yang membuatku sadar bahwa berlianku terlalu mahal jika harus kumuntahkan untuk menangisi seorang pria yang tidak pantas untuk cintaku. Yaa dialah yang membawa kembali pelangiku dan menyelesaikan tenun yang dengan keras kubuat. Bukan sebagai seorang yang datang seperti Kak Rio, dia datang sebagai seorang teman yang selalu siap menjadi sandaranku ketika aku harus jatuh karena keadaan. Senyum kembali menghiasi wajah putih langsatku, mata coklatku pun mulai berhenti membuat linangan kacanya. Dialah Roby, Robyku, orang yang akan menarik hidungku ketika aku murung dengan tangannya yang selalu siap untuk mengacak-acak rambutku ketika berlianku ini akan tumpah dari mataku.
Yaa, dimulai dari sana, dimulai dari kedatangannya di hari-hariku, hingga aku memutuskan untuk mulai berhenti memikirkan Kak Rio. Aku kembali menjalani hidupku yang tentu bersama dukungan dari Roby, sejak kedatangannya aku lebih memilih memfokuskan diriku untuk pendidikanku daripada menghabiskan waktuku untuk menangisi malaikat manisku itu, meski jujur, terkadang aku masih sering melakukannya.