Chapter 8 - JALAN

Aku masih tidak mau berbicara kepada Roby padahal kejadian itu telah terjadi 4 hari lamanya. Aku masih kesal dengan dia yang memilih membela Nia di hadapanku yang tentu saja membuatnya semakin terlihat berkuasa atas apapun. Karena sikapku itu, Roby bahkan rela menemuiku ke rumah untuk meminta maaf selama 4 hari berturut-turut. Jangankan kumaafkan, pintu rumahku saja kukunci rapat untuknya.

Masih dengan suasana yang sama seperti hari sekolah biasanya. Hanya saja hari ini mungkin mendapatkan kasih sayang lebih dari Tuhan karena menurunkan hujannya. Di bawah gerimis aku mengayuhkan sepedaku. Aku hanya mengenakan jaket rajutan hitamku dan menolak memakai payung juga mantel hujan. Sesampainya di sekolah aku langsung memarkirkan sepedaku sambil mengelap kecil lengan jaketku yang terlihat kuyup karena hujan.

"Makanya pake mantel, udah tau hujan nekat cuma pakai jaket.." ucap seseorang yang berada di belakangku dan aku mengenali suara itu, Roby.

"Ribet deh, yang kehujanan juga aku, sewot banget sih!" Sahutku kesal.

"Maaf ya.." bujuknya dengan wajah yang sengaja terlihat dimanis-maniskan itu. "yang masalah aku nyuruh kamu minta maaf ke Nia."

"Udah dimaafin."

"Gitu dong, coba dari kemaren, kan aku jadi bisa tidur cepet. Huaaaahh.." ia menguap dengan gaya mata sipit seperti mata orang yang tidak cukup tidur.

"Udah selesai kan?" Sahutku judes.

"Jutek amat." sindirnya.

Aku tidak mempedulikannya dan langsung menuju kelasku.

Hari itu cepat berlalu, jam dinding kelas memperlihatkan angka 1 dan 2 berturut-turut yang ditunjuk oleh jarum pendek dan panjangnya. Bel segera dibunyikan dan siswa berhamburan keluar kelas menuju sepeda masing-masing.

"Aku duluan Yana.." pamitku dengan semua teman sekelasku.

"Iyaaa.." sahut mereka hampir serempak.

Tiba-tiba ada seseorang yang mensejajarkan langkahnya hingga benar-benar berada di samping kanan tubuhku.

"Jalan yuk.." yaa dia, pemilik suara bass itu.

"Kapan? Kemana?"

"Hari ini. Taman? Mau?"

"Jemput pukul 4." sahutku. Yaa karena aku sudah memaafkannnya.

"Oke princess.." jawab Roby bersemangat.

Roby menjemputku bahkan setengah jam sebelum waktu yang kuminta. Karena katanya dia sengaja supaya ada waktu untuk mengganggu ayah dan ibuku. Syukurlah sore itu ibu dan ayahku pergi jalan-jalan keluar dan yang ada hanya aku dan adikku. Dia tetap tidak mengubah niatnya hanya saja objek yang diganggunyalah yang berubah, yaa dia mengganggu adikku.

Aku segera bersiap-siap. Cukup dengan menggunakan celana jeans dan kaos hitam, aku menyatakan aku sudah selesai dan aku siap untuk pergi. Polesan bedakpun tidak kupakai, sebagai gantinya aku hanya menuliskan sedikit celak pada kelopak mata bawah untuk membantu menyamarkan mata pandaku.

Roby menyalakan motor hijaunya dan menungguku di sisi jalan, sambil menjepit rambut panjangku, aku langsung menuju sudut halaman dimana Roby menungguku dengan topi yang sengaja ia putar ke belakang.

"Cuss, pergi."

"Tujuan taman siap berangkat tuan putri." sahutnya. Aku hanya sedikit tersenyum dan memutarkan arah topinya ke depan.

"Jelek tau!" Kritikku.

"Sengaja biar nambahin perhatian, hehee.."

Roby mengendarai motornya dengan kecepatan yang menurutku ingin segera membuat kami berdua mati muda. Dengan kecepatan seperti itu tentu saja membuatku melingkarkan tanganku di pinggangnya karena ketakutan. Dalam kepalaku berbesit curiga dia sengaja melakukannya tapi terlalu kalah dengan rasa takutku.

"Roby, pelan-pelan bisa kan? Kamu ga ngeri ngeliat itu daunnya pohon ikutan terbang gara-gara kamu?"

"Biarin, kan emang hak mereka mau ikut terbang apa enggan." sahut Roby dengan nada santai. Dia tidak mempedulikan wajahku yang mulai pucat karena laju motornya itu.

Dalam waktu kurang dari 30 menit, aku dan Roby tiba di tempat yang kami tuju, maksudku taman. Merasa motor yang kunaiki berhenti aku langsung membuka mataku dan memukul punggung Roby secara bertubi-tubi.

"Mau mati muda bawa motor sekenceng itu?!" Bentakku.

"Hehee.. biar cepet sampai." dan kembali lagi dia menunjukkan sikap santainya itu. Tidak peduli dengan keadaan wajahku yang hampir menyerupai krim putih karena pucatnya.

Yang kami lakukan, maksudku aku dan Roby, di taman itu hanyalah berkeliling-keliling sedikit dan kemudian duduk di sebuah kursi yang dirasa cocok karena cukup sejuk. Dan yang kami lakukan setelah duduk? Kami hanya sibuk dengan ponsel masing-masing. Aku sibuk dengan novel online ku, tapi entah apa yang Roby sibukkan dengan ponselnya. Mungkin hanya berpura-pura sibuk karena tidak memiliki ide topik untuk dibicarakan denganku.

"Hai dek"

DEG.

"Em, oh, Hai juga, kak." sahutku dengan sangat gugup ketika menyadari orang yang baru saja menyapaku adalah Malaikat manisku, Rio.

"Sama pacarnya ya?" Tanyanya karena melihat Roby yang duduk di sampingku.

"Emm. B, bu, bukan, dia temen deket aku." jawabku tergagap. Kulihat Roby sedikit terganggu dan memasang wajah angkuhnya karena kehadiran Rio disana.

"Oooh...."

"Hei sayang?" Panggil seorang gadis di seberang sana yang langsung menuju ke arah dimana aku, Roby, dan Kak Rio berada. "dicariin ternyata disini. Hmmm, siapa?" Tanyanya sambil melirik ke arahku.

"Oh ini, kenalin, Arini, adekku yang dulu pernah kuceritain ke kamu." jawab Rio.

"Ooh, ini orangnya, kenalin, nama kakak Desi, pacarnya Rio." sambil menyodorkan tangannya sebagai tanda pengenalan. "Cantik ya.." dan itu pernyataan.

"Hehe, makasih. Kakak lebih, em salam kenal ya kak." sahutku dan meraih jabatan tangannya. "Eeee, kak aku duluan ya, mau pulang dulu takut dimarahin ayah kalo kesorean baliknya. Ayo, By.." pamitku dan menarik tangan Roby untuk segera mengantarkanku pulang. Sebenarnya itu hanya alasanku agar secepat mungkin bisa pergi dari hadapan Rio. Karena kalaupun aku harus pulang malam, ayah ibuku tidak akan merasa keberatan selama aku masih bersama Roby. Kalian tentu tahu jawabannya. Yaa aku tidak tahan jika harus bertemu malaikat manisku itu, terlebih saat ia bersama dengan gadis lain.

"Oh iya, hati-hati dek.." sahut Rio, aku hanya mengangguk dan menyunggingkan sedikit sudut bibirku untuk menanggapinya. Roby masih diam seribu bahasa. Mungkin karena dia kesal dengan kehadiran Rio atau mungkin karena sikapku yang tiba-tiba mengajaknya pulang. Entahlah, sikap Roby saat itu sulit untukku tebak. Terlebih dengan suasana hati yang sedang kacau hingga otakku tidak bisa diajak berfikir dengan jelas.

Sepanjang perjalanan pulang aku kembali melingkarkan tanganku ke pinggang Roby, kini bukan karena laju motornya, tapi karena saat itu aku tidak memiliki sandaran lain selain dirinya. Aku meletakkan bagian kanan wajahku ke punggung roby, menangis sejadi-jadinya. Untuk kesekian kalinya, aku sakit, cemburu, dan lagi. Aku tidak peduli dengan mata orang-orang yang melihatku. Aku tidak peduli dengan apapun, tidak peduli dengan siapapun, aku juga tidak peduli jika punggung baju Roby harus terbasahi karena air mataku. Roby tidak menegurku, ia membiarkanku menangis, mengeluarkan semuanya hingga hanya tertinggal isakan. Roby menepikan motornya dan berhenti disana, menyuruhku turun dan aku menurutinya. Dia merengkuhku dalam pelukan. Aku tidak melawan apa yang dia lakukan karena aku sangat memerlukan pelukan itu saat itu. Aku terlalu rapuh karena cintaku, jatuh lagi karena cemburu.

"Udah, berenti nangisnya, jelek tau!" Ia melepaskan pelukannya dan mengusap air mataku untuk menyuruhnya pergi dari wajahku.

"Aku ga kuat By, aku cemburuu...."

"Udah, cukup. Kemaren kamu udah mau janji sama aku buat lupain Rio kan? Sekarang buktiin kamu bisa lupain dia. Bikin hati kamu sadar Rio itu ga pantes buat kamu. Kamu liat sendiri kan dia sama cewe baru lagi? Padahal beberapa bulan lalu dia baru aja deketin Nia." Roby segera membungkam mulutnya setelah menyadari isi kalimat terakhir dari ucapannya.

"Nia? Kamu kenapa ga bilang ke aku Rio pernah deketin Nia?"

"Maaf. aku cuma ga mau kamu tau, aku ga mau kamu sakit lagi. Udah cukup deh kamu nangisin dia. Dia aja mainin cewek di luar sana, berarti dia juga cuman mainin perasaan kamu, Ar.."

Aku tidak menyahut, biasanya aku akan langsung marah jika Roby mengatakan hal-hal yang buruk tentang Rio, tapi kali itu aku tidak menanggapinya. Aku sedikit lebih bisa mencerna pembicaraan Roby dan mulai memasukkannya ke dalam hatiku, dan otakku juga ikut membenarkannya.

"Dia aja mainin cewek di luar sana, berarti dia juga cuman mainin perasaan kamu, Ar.." kata-kata itu masih berusaha untuk kucerna lebih dalam. Hingga beberapa jam kemudian hati dan otakku sepakat untuk membenarkan kalimat yang diucapkan oleh Robyku itu. kalau Rio saja dapat dengan mudah memainkan hati banyak gadis di luar sana, apalagi kalau hanya satu hati milikku. Tentu tidak begitu sulit baginya. Dan itu kesimpulanku.

Malam ini, kuputuskan untuk benar-benar menyingkirkannya dari hati dan fikiranku. Sudah cukup air mata yang kubuang untuk menangisinya. Sudah cukup wajah murung yang selalu kutunjukkan pada semua orang. Mungkin ini saatnya bagi mereka melihat Arini yang dulu lagi. Arini yang centil karena kekanakannya, juga sikap humorisnya.

Setelah keputusan itu, hari-hari selanjutnya kujalani dengan penuh warna kebahagiaan. Bersama semua orang yang menyayangiku, juga Roby. Aku terlalu senang dengan hidupku sebelum aku sendiri menyadari aku mulai menyimpan perasaan kepada sahabatku itu, dia Roby. Aku tidak tahu sejak kapan aku mulai menyukainya, mungkin setelah bertemu, berkenalan, atau teman dekat? Entahlah. Aku tidak bisa memastikan hal itu. Dan sekarang aku jatuh cinta lagi, bukan Rio, Tapi kepada Roby, malaikat penyelamatku.