Kulacino telah mengering, ketika wanita yang menjadi mantan istrinya tersebut datang menemui. Rina dan Yudi bertemu di sebuah kafe. Lelaki itu yang memilih tempatnya. Kafe tersebut adalah cabang dari kafe milik Hanan, tetapi keduanya tidak menyadari hal itu. Pesanan pun masih seperti dahulu. Dua gelas air mineral, segelas kopi dan segelas teh manis dingin. Ada beberapa kue kering juga di suguhkan di atas meja.
Mata yang indah dan memancarkan daya tarik milik perempuan yang ada di hadapannya, sangat mirip dengan mata kepunyaan Hana Sitarani, putri mereka. Mata itu pulalah yang dahulu telah berhasil memikat dirinya. Dahulu, alasan Yudi menikahi Rina adalah karena telah berjanji kepada saudaranya untuk menikahi si gadis demi menyelamatkan kehormatan perempuan tersebut. Kala itu, mereka bertemu pun di sebuah kedai kecil. Masih segar diingatan keduanya, saat pertemuan pertama tersebut. Kala itu Yudi mengenalkan namanya dengan nada yang tak acuh.
"Yudi Atmaja. Terserah mau manggil apa aja."
Yudi bisa melihat gadis bermata indah memikat tersebut menjura padanya sebelum menggeser kursi, kemudian menduduki benda berbahan dasar kayu jati tersebut.
"Saya—"
"Saya tahu namamu. Rina Medina, benar?"
Rina menggigit bibir setelah menganggukkan kepala. Tampaknya seperti laki-laki di depannya kurang ramah. Tatapannya dingin, ekspresi wajahnya juga tidak bisa terbaca. Terlihat tenang, tetapi juga berbahaya.
Senyuman kecil agak canggung terpatri pada gadis itu. Setelahnya hening. Gadis tadi tidak berani memandang lawan bicara, sebagai ganti, dia mengalihkannya kepada Kanagara yang di atas meja.
Kali ini pun, setelah hampir tiga puluh tujuh tahun, tampaknya Rina lebih suka memandang bunga matahari yang terpajang di meja daripada menatap wajah Yudi. Dahulu karena takut dan segan, sekarang karena benci.
"Apa kabar, Rin?" tanya Yudi berbasa-basi.
Rina mendongak, menatap tajam Yudi. "Langsung aja, Bang. Enggak perlu basa-basi."
Yudi menyeringai. "Hanan dan Hana mau menikah."
Lengkungan di bibir Rina tampak seperti bulan sabit. Matanya yang tajam tadi, berubah hangat dan berkaca-kaca. Anak-anak yang dahulu pernah berada sembilan bulan dalam kandungannya, kini sudah akan melangsungkan pernikahan.
"Kapan?" bisik Rina, nada suaranya pun melembut, berbeda dengan tadi yang terkesan garang.
"Tergantung." Yudi menghidupkan macis, lantas membakar ujung rokoknya. Dia sama sakali tidak melihat wajah Rina.
"Bicara yang jelas." Rina berkata dingin.
"Kalau orangtua dari Hanan dan Hana tidak ada, bagaimana mereka bisa menikah? Apalagi Hana, aku enggak ada, siapa yang akan menikahkannya?"
"Bisa aja pakai wali hakim!" sergah Rina.
"Aku juga nyaranin begitu. Tapi abangnya enggak terima. Dia mau adiknya punya orangtua lengkap saat pernikahan."
Rina tak sanggup menjawab lagi. Dia terlalu lemah dan tidak berdaya jika sudah seperti ini. Tentu saja dia bisa memahami perasaan Hanan.
"Sudah cukup selama ini mereka menjadi yatim piatu. Setidaknya luangkanlah waktumu untuk mereka ketika hari itu tiba. Akulah yang bajingan, berengsek dan jahat, Rin. Mereka adalah korban. Kau kan seorang ibu. Kau pasti lebih perasa."
Rina menahan diri untuk tidak mengeluarkan air mata. Di dalam dadanya seperti ada genderang perang yang ditabuh, berisik dan terasa menyesakkan.
"Wah! Kayaknya Bapak Hana sudah agak berubah. Lebih pengertian dan perhatian sama anak-anak. Dulu ke mana aja?" sindir istri Andi tersebut.
"Aku dibayar. Jadi, ini enggak gratis. Aku masih berengsek kok." Yudi menjawab enteng.
"Dibayar?" Rina memasang raut penuh tanya.
"Hm." Yudi mengangguk. "Dibayar Hanan. Anak itu akan membayar berapa pun untuk adiknya."
"Kau sakit jiwa!" maki Rina.
"Ya, aku memang sakit jiwa. Tapi kau lebih sakau dari para pecandu narkoba! Kita berdua sama, Rin. Sama-sama tidak punya hati. Sama-sama tega. Kau tidak lebih baik dariku." Yudi membalas sengit.
Mata Rina memerah. Dia tidak mampu dan takkan bisa membalas tudingan ayah Hana, sebab tak ada yang keliru dari kalimat yang diucapkan lelaki itu. Suasana pun menjadi hening dalam beberapa menit.
"Okey, di sini kita mau berantem atau bahas anak-anak?" Rina bersuara.
"Gimana kalau untuk awal, temui dulu anak-anak?" Yudi mengusulkan, lalu ia menyeruput kopi yang hampir mendingin yang ada di hadapannya.
Rina tampak berpikir. Yudi menerka-nerka apa yang ada di dalam kepala anak dari mendiang mertuanya dulu. Lantas, ia mengingat kejadian yang diceritakan oleh keponakannya dulu.
"Ah! Itu juga kalau diizinkan suamimu. Salah-salah, dia bisa melabrak mereka kayak sepuluh tahun lalu."
Mendengar kalimat Yudi, Rina terkejut. "Hah? Apa? Kapan? Kok?"
Kebingungan Rina mengundang tawa kecil dari Yudi. Wanita itu kesal dengan respons yang diberikan oleh lawan bicaranya. Bukannya menjawab, malah tertawa. Terlebih jenis tawa ini adalah tawa mengejek, meremehkan dan terkesan meragukan wanita tersebut adalah seorang ibu.
"Untuk lebih jelasnya, mending minta kasih tau sama Andi aja. Itu pun kalau dia mau ngaku."
Rina menggeleng-geleng. Raut wajahnya menyiratkan ketidakpercayaan.
"Ngakunya cinta Rasulullah, tapi nama beliau pun kalian singkat. S-A-W! Apa itu? Tulis dengan benar! Shallallaahu 'Alaihi Wasallam!"
Delapan belas kata yang terlontar keras dari gadis yang baru keluar dari ruangan kecil sebelah meja kasir mengubah raut wajah Yudi dan Rina. Mereka jelas tahu pemilik suara yang mengalun tersebut.
"Hooo! Nulis nama pacar, bagus kurang bagus. Mesra kurang mesra. Cintaku, Yang Paling Kucinta Di Dunia … entah apa-apa aja! Mana pacaran sebenarnya haram lagi. Haeih! Nulis nama manusia paling agung dunia akhirat kok disingkat! Awas diulang! Bintang karyawan kalian bakal dicopot lima sama Bang Hanan!" Suara tadi mengalun lagi, jelas sarat ancaman.
Setelah itu tampak perempuan bergamis merah muda dan berkhimar senada keluar dari kafe itu dengan tergesa-gesa.
"Jangan-jangan kafe ini pun milik Hanan." Yudi bergumam.
Untuk sesaat, kedua orang tersebut melupakan pembahasan mengenai kedatangan Andi menemui putra dan putri Rina yang bertujuan untuk memarahi. Rina terkesima atas pencapaian Hanan dalam hidup pemuda itu. Hanan, sang putra sulung. Putra yang pernah secara tidak sadar dia hina dan dia buang.
"Whaaah! Hanan benar-benar konglomerat sekarang. Andi bukan apa-apa dibandingkan anakmu itu, Rin!" Yudi berceloteh lagi. Entah apa maksudnya, tetapi Rina tahu kalau Yudi memang sedang menyinggung Andi.
"Bagaimana aku bisa bertemu dengan mereka? Dengan Hana dan Hanan." Rina langsung menanyakan.
"Bukannya tadi kau sudah bertemu si adek? Kenapa malah bertanya lagi? Kau selalu melewatkan kesempatan jika itu menyangkut Hanan dan Hana."
"Diam! Aku lagi enggak mau berdebat."
Yudi kemudian mengeluarkan sebuah kartu nama dari saku kemeja birunya—kemeja pemberian Hanan tahun lalu—dan memberikan benda itu kepada Rina.
"Hanan Arsalansyah dan Hana Sitarani." Rina mengeja nama dua anaknya. Lantas mengeja dalam hati angka-angka yang juga berbaris rapi di bawah masing-masing nama.