Siang ini mereka telah berada di dalam pesawat, kedua manusia itu terlihat menikmati pemandangan di sepanjang perjalanan yang mereka lalui. Langit yang cerah di dominasi warna putihnya awan yang dapat terlihat jelas dari kaca jendela.
Tidak terasa beberapa waktu telah berlalu dan mereka sudah mendarat di bandara yang ada di Kota Surabaya.
Eveline menarik napas panjang, bernapas dengan udara Surabaya yang sudah lama tidak dia hirup.
Saat itu telah 2 tahun berlalu, terakhir kali ia memberanikan diri menginjakkan kaki di kota ini, karena saat dia pergi, dia telah melarikan diri dari kerasnya kehidupan yang terjadi di dalam lingkungan keluarganya.
Hari sudah menjelang sore, dan mereka berdua masih terlihat duduk di dalam taksi, sudah hampir beberapa menit semenjak taksi itu berhenti, namun mereka masih tampak ragu untuk turun dari sana.
Mobil taksi yang mereka gunakan ini terlihat berhenti di sebuah jalanan, tepat di depan sebuah bangunan. Sebuah bangunan rumah yang terlihat tua dengan tampakan luarnya sudah hampir kuno, dengan lingkungannya berada di perkampungan yang sedikit kumuh.
Itu adalah rumah orang tuanya, rumah warisan mendiang kedua orang tua dari pihak ibu Alexa.
Wanita itu berkaca-kaca, ada perasaan ingin menangis ketika harus menginjakkan kakinya kembali ke lingkungan itu.
Dari dalam taxi Eve masih terdiam dan terpaku, seolah masih belum sadar kalau ini benar-benar terjadi, kalau dia benar-benar pulang dan akan menemui keluarganya.
"Xa …." Evano mengangcaukan lamunannya, pria itu juga menyentuh lembut punggung tangannya.
Wanita yang bernama asli Alexa itu hanya menatap lama pada matanya, tanpa mengeluarkan suara sedikit pun.
Sedari tadi Evano terus mencoba mengajaknya untuk turun, tapi ia tetap menggeleng karena merasa tak yakin untuk melanjutkan ini.
Laki-laki ini menyentuh dan membelai lembut pipinya. "Ayo Xa …," ajaknya lagi, tapi wanita ini malah terlihat kembali menggeleng.
"Aku belum siap untuk ini," ucapnya lirih. Alexa malah tampak menangis sesegukan.
"Ya udah … kalo sekiranya kamu belum sanggup untuk pulang, sekarang kita cari hotel untuk sementara kamu nginap, nanti pas kamu udah siap … kita akan ke sini lagi buat nemuin mereka." Sembari matanya memncoba memberikan dorongan semangat agar Eve tak lagi menangis.
Alexa terlihat mengangguk setuju, akhirnya mobil yang mereka tumpangi malah berputar balik dan pergi ke hotel yang cukup lumayan jauh dari sana.
***
Saat ini Evano terlihat tengah berdiri di depan meja resepsionis di sebuah hotel, sedang mengurusi reservasi kamar, sementara Alexa tampak sedang menenangkan diri di kursi tunggu yang juga ada di dalam lobi tersebut.
Setelah selesai pria itu terlihat berjalan ke arahnya dan kembali menyapa wanita yang terus melamun di sela meneteskan air matanya itu.
"Ayo Xa ...." terdengar ajakannya sembari meraih sebelah telapak tangan untuk di gandeng sementara tangan satunya membawa tas Jinjing milik Alexa itu, hingga ke kamar yang tadi telah mereka pesan.
Eve hanya diam dan mengikuti langkah kaki pria yang terus menggandengnya itu.
Tak lama keduanya sudah masuk dan duduk lama di pinggiran ranjang yang ada di kamar hotel mereka. Keduanya terlihat melamun hingga kemudian pria itu kembali menatap pada wanita yang sedari tadi duduk bergeming di dekatnya itu.
Dia tampak mendekati, lalu tangannya beberapa kali terlihat ragu untuk merangkul wanita itu, tapi akhirnya ia memberanikan diri untuk menyentuh bahunya.
Wanita ini tidak menepis sama sekali, ia malah memeluk dan menempelkan kepalanya di dada bidang yang hangat milik laki-laki itu.
"Jadi gimana?" tanya Evano sembari mengelus lembut kepala Alexa.
Wanita itu hanya menggeleng.
"Tapi aku rasa, cepat atau lambat kita harus ketemu sama orang tua kamu, terlebih dengan rencana pernikahan ini."
Wanita itu sembunyi semakin dalam di dadanya. "Aku takut … saat aku pulang, ada ayah di sana. Aku takut Van … aku takut ayah melakukan hal-hal yang bikin aku mengingat trauma aku."
Evano terlihat menghela napas panjang, wajahnya juga mencerminkan sedikit kegalauan. "Aku sekarang juga bingung Xa, rasanya … aku juga nggak tau harus ngasih solusi apa, tapi yang pasti … kita harus menghadapi ini semua, aku rasanya juga nggak akan berani menikahi anak mereka tanpa meminta restu sama sekali, terlebih kamu anak pertama dan perempuan satu-satunya."
Eve mendongak dan menatap wajah kekasihnya itu, jarinya lantas membelai lembut pipi pria itu. "Apa kita besok ke rumah kamu aja dulu, setelah itu kita temuin keluarga aku?"
"Boleh … tapi malem ini gimana? Kamu berani tidur sendiri di sini? Biar aku pulang dulu lalu besok aku jemput kamu lagi? Gimana?" tanyanya membuat wanita itu berpikir sedikit lama.
Namun kemudian, Eveline lantas mengangguk.
Setelah melihat respon Eve, laki-laki itu tampak melonggarkan pelukannya dan terlihat bangkit dari sana.
Eveline mengantarnya hingga ke pintu, tapi saat memegang gagang pintu, pria itu malah kembali terlihat ragu.
Dia mematung cukup lama di depan pintu, seolah berat meninggalkan wanita itu sendiri. tak lama kemudian, tidak di sangka Evano berbalik dan kembali memeluk kekasihnya.
"Rasanya berat ninggalin kamu, apa lagi setelah berpisah yang rasanya lama banget Xa."
Wanita itu kembali lagi menyembunyikan wajahnya di dada pria itu.
"Aku juga rindu," ucapnya terdengar lirih.
Keduanya melepaskan pelukan dan saling menatap satu sama lain cukup lama, tanpa pikir panjang pria itu tampak mencium lembut bibir kekasih yang telah lama di rindukannya itu.
Semua mengalir begitu saja … tak ada penolakan sama sekali, wanita itu malah menerima dan melakukannya dengan senang hati.
Mereka bahkan terlihat terengah-engah dan sudah tak mampu untuk menahan gejolak yang datang begitu kuat hingga ke ubun-ubun mengalahkan logika, terlebih di dalam kamar itu hanya ada mereka berdua saja, tak ada siapa pun yang akan menggangu aktivitas sepasang kekasih mereka.
Tanpa mereka sadari, kedua orang ini sudah polos dan tak ada sehelai benang pun yang melekat di tubuhnya, dan hubungan bercinta layaknya dua orang kekasih yang sedang di rundung berat oleh asmara lantas terjadi di sana.
Keduanya terlihat begitu bahagia, apalagi melakukan hubungan ini di dasari oleh rasa cinta. Mungkin begitu banyak pria yang wanita ini layani tapi rasanya tak akan pernah sama saat Evano yang menjamah surganya.
Mereka yang sudah terbaring itu terus saja menatap satu sama lain, sedari tadi mereka hanya tersenyum ketika mengingat hal-hal yang baru saja mereka berdua lakukan.
Rasanya masih sama, bahkan saat pertama kali sepasang kekasih itu mencoba melakukannya. Dulu mereka pernah melakukan kesalahan itu di masa muda, namun hal itu sekarang mereka anggap bukan lagi sebuah kesalahan namun sebuah pilihan yang mereka inginkan.
Mereka telah berada di usia legal yang sudah bisa membebaskan mereka untuk memilih sendiri jalan hidup yang ingin mereka lalui.
Eve tampak menempelkan wajahnya di dada bidang nan telanjang milik kekasihnya.
"Jangan pulang, aku sekarang merasa sangat takut sendirian." Ia mengusap lembut permukaan kulit yang ada di bahu pria, yang membuatnya terasa begitu nyaman.
"Jujur, aku juga nggak ingin pergi ninggalin kamu sendiri." Tatapnya sayu menatap wajah yang ada di atas dadanya itu.
"Kalo gitu … menginap saja di sini."
Laki-laki itu terlihat mengangguk dan mengelus-elus lengan wanita yang sekarang sudah setengah tertidur di pelukannya itu.
Waktu ternyata sudah pukul 17:00 sore.
Dua orang itu terlihat pulas di bawah selimut dan di atas ranjang yang sama, hingga akhirnya dering telepon Evano membangunkan mereka dari tidurnya.
"Siapa?" tanya Eveline yang terjaga.
Evano terlihat menggeleng sembari tangannya meraba dan meraih handphone yang ada di atas nakas di bawah lampu tidur.
Dengan mata setengah terbuka ia ingin mengangkat teleponnya. Tapi melihat nama yang tertera membuatnya sedikit terkejut dan lantas bangkit.