"Mama," ucapnya lirih namun mampu membuat Eveline ikut terjaga.
Mata Eve ikut terbuka karena ia juga ingin tau apa yang akan ibu dari pria yang di sampingnya itu katakan.
Evano menoleh padanya, lalu jari telunjuk kanan kemudian tertempel di bibir yang terlihat mengerucut, meminta agar Eve hening dan tidak membuat suara yang bisa menimbulkan kecurigaan ibunya.
"Iya, halo Ma," sapanya saat jempol telah mengangkat sambungan telepon dengan handphone telah tertempel di telinga kirinya.
"Katanya kan, kamu pulang hari ini? Kok belum nyampe?" tanya wanita paruh baya yang ada di seberang sana.
"A … itu." Evano menatap Eveline dengan wajah yang gugup.
"Kamu nggak apa-apa toh?"
"Nggak kok Ma." Ia terus bicara pada telepon namun matanya selalu mengarah pada wanita yang ada di sebelahnya.
"Udah di bandara belum? Kalo udah nyampe nanti telepon ya, biar papa anterin mobilnya ke sana."
"Nggak usah Ma, aku bisa pulang sendiri."
"Kalo gitu … Mama tunggu ya, hati-hati."
Eve hanya terdiam menatap penasaran pada raut wajah pria itu. "Jadi gimana?" tanyanya.
Pria itu menghela napas berat. "Kayaknya aku terpaksa pulang deh."
Wajah Eve tampak berubah kecewa.
"Aku janji, nanti setelah ketemu sama Mama, aku bakal hubungin kamu, dan kalo ada celah nanti aku bakal kesini lagi," bujuknya, sembari menggenggam kedua telapak tangan wanita itu.
Perempuan ini mengangguk, walau pun senyuman tidak tergambar sama sekali di sana.
"Jangan cemberut dong, nanti aku hubungin kamu kok."
Eve memeluknya. "Hati-hati ya," ucapnya walau pun merasa sedikit keberatan.
"Iya." Dia mencium bibir wanita itu sekilas, kemudian lekas berpakaian dan pergi dari hotel itu.
***
Evano telah pergi dari sana, sekarang tinggal Eveline sendirian dan merasa sepi. Perasaan sedih juga turut datang menghampiri perasaannya.
Perutnya sudah terdengar meraung karena lapar.
Malam ini, wanita yang saat ini terlihat meringkuk di ranjang dan hanya menggunakan pakaian yang sangat minim itu pun, hanya terlihat sibuk bermain handphone dan memesan makanan secara online.
Sembari menunggu pesanannya tiba, wanita ini terlihat mandi dan membersihkan diri. Saat ia berada di depan cermin dan menatap dalam pada wajahnya, begitu banyak kenangan tiba-tiba hinggap di dalam kepala.
Dia hampir saja kembali menangis, hingga akhirnya ketukan pintu membuatnya menyeka air mata dan urung melampiaskan kesedihannya.
"Sebentar," teriaknya sembari memprediksi bahwa seorang driver makanan sudah mengantarkan pesanan miliknya.
***
Pukul 19.00
Eve yang telah mandi dengan handuk bergulung di kepala, lalu membuka pintu yang sedari tadi terdengar beberapa kali di ketuk.
"Pesananku akhirnya datang," batinnya.
Saat ia membuka pintu wajahnya terlihat terperangah tak percaya, seorang pria yang semalam ditinggalkannya sekarang sedang berdiri di hadapannya.
"Ka … kamu?" ucapnya terbata, sembari menatap dan menunjuk wajah pria yang terlihat kesal padanya itu.
"Kenapa kamu di sini?" lanjut Eve lagi.
"Harusnya aku yang nanya ... kenapa kamu di sini?" telunjuknya menghujam lalu menekan hidung wanita itu.
Eveline hanya menelan ludah, sedikit bersyukur karena Evano telah pulang dan pergi dari sana.
"Sedikit masalah terhindar secara alamiah," pikirnya.
Eveline menilik ke sisi kiri dan kanan koridor, memastikan tak ada orang lain lagi di sekitar mereka.
"Siapa yang kamu cari?" Arthur tampak masuk dan membanting pintu yang sudah ada di belakang punggungnya itu.
"Alvin … aku mencari Alvin. Biasanya dia ikut, sekarang dia kemana?" tanya itu tidak dapat menyakinkan Arthur, yang sedang mencurigai sesuatu.
Pria itu menunduk hingga wajahnya sangat dekat dengan wajah partner bicaranya itu, jarak yang hanya tersisa beberapa senti itu membuat Eve menelan ludah. Laki-laki itu kemudian menarik mundur kepalanya, lalu kemudian matanya terlihat menilik pada seprai yang terlihat sudah rapi.
"Apa ada seseorang lain di sini?" tanya Arthur, sembari menampilkan raut wajah penuh curiga.
Wanita ini hanya menggeleng.
"Apa maksudmu?" Eve berbalik tanya tapi tak ada jawaban yang ia terima, karena pria ini terlihat begitu sibuk berkeliling dan memeriksa setiap sudut ruangan.
"Dimana Alvin?" tanya wanita itu lagi.
"Apa itu penting?" jawab Arthur sembari melempar tubuhnya di atas tempat tidur.
Eve hanya melipat kedua tangan di depan dada sembari menatap pria yang sudah telentang di atas tempat tidurnya. Kemudian melontarkan pertanyaan yang terdengar begitu sinis. "Kenapa kamu di sini?"
Laki-laki ini malah tertawa. "Untuk apa aku di sini? Pertanyaan yang aneh."
"Aku sedang serius, untuk apa kamu di sini?" Eve mulai terlihat kesal.
"Tentu saja untuk bulan madu!" tatapnya genit sembari tersenyum, tatkala berbaring menikmati empuknya tempat tidur.
Kali ini wajah wanita itu terlihat penasaran di campur dengan kesal. "Maksudmu?" tanyanya lagi.
"Bukankah aku sudah membayar sewanya, jadi wajar kalau aku menagih hakku. Sudahlah … tidak usah banyak bertanya. Bukakan sepatu dan setelan ku ini! Aku benar-benar lelah." Ia kembali santai dan memberikan perintah pada Eve yang begitu mudah di pancing emosinya.
"Apa aku terlihat sebagai pelayan?" tanya Eve kesal.
Pria itu lantas bangkit dari berbaringnya dan terduduk. "Tidak … siapa bilang begitu?" matanya fokus menatap wanita itu dari ujung kaki hingga ke ujung kepala.
"Tapi kamu memperlakukan aku seperti seorang pelayan." Eve mencebik.
Pria itu terlihat menghela napas panjang. ia kemudian menepuk-nepuk sisi kosong ranjang yang ada di sampingnya.
"Duduk lah di sini!" perintahnya lembut.
"Untuk apa?" Eve kembali terdengar sinis dan ia masih terlihat melipat kedua tangan di depan dada.
"Aku ingin memelukmu, karena aku merindukanmu. Kamu keterlaluan, kenapa pula meninggalkanku pagi-pagi buta, sedangkan jika kamu mengatakan kamu ingin pergi, aku bisa … meminta orangku untuk mengantarmu." Bicara laki-laki itu tiba-tiba terdengar lembut.
"Kamu kenapa? Apa kamu demam?" Eveline merasa heran karena kata-kata pria yang selalu menjengkelkan ini tiba-tiba bisa begitu lembut.
"Ini lah hal yang membuatku kesal! kamu tidak pernah berbaik sangka padaku."
"Memang iya … aku tidak pernah bisa berpikir positif saat melihat wajah mesummu itu."
Laki-laki itu lantas kembali tertawa.
"Apa kamu ke sini karena kamu sudah mengatakan semuanya pada Siska?" tanya Eve menghentikan tertawanya.
"Apa aku seperti seorang pelayan laki-laki letoy itu, kenapa aku harus memberikan laporan padanya?"
Mata Eveline menyipit padanya. "Itu artinya … dia tidak mengatakan yang sebenarnya pada Siska, dia menepati janjinya?" ia bicara sendiri di dalam hati.
"Jangan cemas, aku sudah mengunci mulutku." Dia tersenyum.
Wanita itu tampak tertunduk dan menghilangkan ego yang sedari tadi meninggi. "Terimakasih," ucapnya lirih.
"Bukan masalah besar." Arthur masih menampilkan senyuman terbaiknya.
"Tapi … malam ini aku ingin mandi, tolong gosokkan punggungku ya!" lanjutnya lagi membuat perempuan ini berdecih.
"Pria ini kembali menyebalkan," ucapnya lirih tapi masih bisa di dengar oleh Arthur.
"Sekarang aku serius! Kemarilah … dan peluk aku! Aku seharian sangat khawatir padamu." Ia membentangkan kedua tangannya, meminta wanita itu menghampiri pelukannya.
Wanita itu kembali mengalahkan egonya dengan berjalan mendekati Arthur dan duduk di sampingnya. Dia lantas memeluk erat pria itu.
"Untunglah, wanita ini tidak melakukan banyak hal buruk yang sudah aku pikirkan seharian," batinnya, sembari tangannya mendekap erat punggung wanita itu.