Evano dan Alexa saat ini sudah berada di mobil, dalam perjalanan menuju ke rumah keluarga besar Kagendra, berharap bisa mendapatkan restu saat mereka mengungkapkan rencana pernikahan yang ingin mereka laksanakan secepatnya itu.
Wanita itu terlihat mengusap dan menggenggam kesepuluh jarinya beberapa kali, menampakkan betapa gugupnya dia.
Pria yang terlihat fokus menyetir itu, lantas menyentuh lengannya dan kemudian turun ke telapak tangan untuk menggenggam tangan yang terasa begitu dingin karena gugup itu.
"Jangan gugup ya," ucapnya lembut menenangkan.
"Tapi …." Wanita ini menatap ke arahnya dengan ragu.
"Nggak apa-apa … berpikir positif aja, yakin aja ya! Mereka pasti setuju kok, secara mereka bakal tahu juga, kalo kita berdua udah kenal cukup lama." Laki-laki ini terus berusaha menghempas keraguan.
Eve sedari tadi hanya tersenyum getir sembari terlihat masih begitu cemas. Sementara pria yang ada di sampingnya itu sesekali menilik dan tersenyum kepadanya selagi tetap fokus berkendara.
Setelah beberapa saat hening, terdengar ucapan Evano yang mencoba mengalihkan perhatiannya. "Gimana kalo sebelum pergi kita mampir makan dulu, aku yakin kamu pasti belum makan kan, soalnya kamu kebiasaan gitu."
Eve hanya mengangguk setuju.
Mereka terlihat berhenti di sebuah restoran dan menyantap makanan mereka, sebelum memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.
***
Kali ini mereka sudah ada di depan gerbang rumah keluarga Kagendra. Eveline yang merasa tidak percaya diri lantas memintanya berhenti mengemudi, sebelum benar-benar yakin untuk masuk ke dalam pekarangan rumah mewah milik keluarga pria ini.
"Kenapa?" tanya Evano yang merasa heran karena Eve memintanya untuk berhenti secara tiba-tiba itu.
"Aku belum siap Van," tuturnya terdengar lirih, sembari matanya terlihat menampilkan banyak ketakutan.
"Jangan gugup, orang tua aku baik kok, aku yakin mereka pasti nerima kamu. Mereka juga hangat orangnya," jelasnya lagi dengan kedua tangan menggenggam erat telapak tangan milik Eveline itu.
"Tapi …." Matanya masih sayu.
"Udah … jangan cemas lagi … kalo keluarga aku nanti gimana-gimana sama kamu, ada aku yang bakal bela kamu. Aku janji sama kamu!"
Wajah wanita ini masih ragu tapi Evano terus saja mencoba membujuknya untuk tidak gugup atau pun cemas.
"Udah … positif aja. Kalo nggak ketemu sekarang, kapan lagi kan," kata Evano mencoba menyakinkan lagi.
Wanita ini menghela napas dalam, sebelum mengangguk untuk memutuskan masuk.
Evano yang merasa cukup percaya diri terlihat mulai mengemudikan kembali mobilnya, memasuki pekarang rumah yang lumayan besar itu.
Keluarga Evano adalah salah satu keluarga pengusaha yang lumayan sukses di Surabaya, jadi kehidupan mereka memang jauh lebih baik dari pada kehidupan Eveline yang sudah lama jatuh miskin.
Mereka terlihat menekan Belnya, sedari tadi tangan keduanya saling bertautan.
Terlihat seorang asisten rumah tangga membuka pintu dan tersenyum pada keduanya. Tak lama setelah mereka berjalan masuk, ibu Evano datang menghampiri mereka yang sudah duduk di sofa ruang tamu.
Evano dan Alexa menyapa wanita paruh baya yang masih terlihat awet muda itu.
"Tante …," sapa Eveline sembari menyalami tangan wanita yang bernama Laily itu.
Awalnya wanita itu tersenyum namun lama-lama wajahnya terlihat sedikit sinis, apalagi ketika melihat Evano menggenggam tangan wanita yang ada di sampingnya.
"Duduk …," tawar Laily singkat.
Suasana terasa canggung. Apalagi tatapan ibu Evano yang terasa sedikit mengintimidasi bagi Eve yang merasa malu, canggung dan gugup dalam satu waktu.
"Ini siapa?" tanya Laily membuat Eve bingung harus memberi jawaban apa.
"Ini Alexa mah, temen Evano dari SMP," jawab Evano menimbulkan banyak pertanyaan dalam hati wanita yang ada di sampingnya itu.
"Oh temen …."
"Bukan temen sih Ma." Evano menilik sekilas pada Eve, lalu melanjutkan ucapan yang sedikit terdengar bergetar.
"Sebenarnya ini pacar Ano …,"Evano terlihat menelan ludah, melihat ekspresi ibunya yang mengerutkan dahi.
"Pacar Ano?" tanyanya dengan menyebut nama kecil anaknya itu.
Evano terlihat mengangguk dan dari wajahnya tampak sedikit lega, karena sudah bisa mengatakan hal yang baginya sangat sulit itu.
"Iya Ma …."
"Sejak kapan? Kok Mama nggak tahu?" Wajah Laily terlihat sedikit penasaran.
"Maafin Ano Ma … sebenernya kami … aku dan Alexa udah pacaran dari awal masuk SMA."
"SMA?" wajah Laily terlihat terperangah tak menyangka.
Evano hanya mengangguk, tersenyum dan tak lagi banyak bicara.
"Siapa tadi namanya?"
"Alexa Tante," jawab Eve lirih.
"Kerja atau kuliah atau punya kesibukan apa?" Rentetan pertanyaan mulai terasa mengintimidasi apa lagi untuk Eve yang sangat-sangat gugup.
"Kerja tan …," jawabnya dengan senyum tipis.
"Kerja di mana?"
"di salah satu perusahaan Tan."
"Perusahaan mana? Siapa tau salah satu relasi papanya Evano, soalnya kan sekarang perusahaan papanya Evan juga berkembang di Jakarta." Senyumnya, menampilkan berjuta makna.
Eve hanya terdiam. Tidak sanggup banyak menjawab apa yang Laily katakan.
"Kemarin kuliah di mana? Jakarta juga?" tanya Laily lagi.
"Nggak lulus Tan …." Senyum getir tergambar di wajah Eveline.
"Oh gitu … kalo dari SMA, di hitung-hitung udah lama juga ya pacaran sama Evano."
Eve tampak mengangguk dengan hanya di hiasi senyuman tipis.
"Terus kalo boleh tahu, orang tuanya kerja apa?"
"Dulu ayah juga punya perusahaan Tan, tapi karena gulung tikar, jadi sekarang nggak kerja lagi." Eve beberapa kali menunduk dan menilik pada wajah Laily yang juga tidak terlihat ramah padanya itu, walau pun wanita paruh baya itu terlihat selalu tersenyum.
"Kalau gitu Tante turut prihatin ya."
Eve hanya mengangguk dan menunduk, rasa gugupnya semakin menjadi-jadi.
"Papa kemana Ma?" tanya Evano memotong kecanggungan.
"Papa udah ke kantor lah … kan sibuk, katanya juga banyak hal yang harus di kerjakan."
Evano dan Alexa saling menatap dan seolah mengumpulkan keberanian untuk memulai pembicaraan.
"Ma …," panggil Evano lagi pada ibunya.
"Kenapa?" Wanita itu menatap anaknya dengan begitu teduh.
"Sebenernya tujuan Ano bawa Alexa ke sini itu …," Evano terlihat menjeda ucapannya, dan mengambil napas sebelum melanjutkan kata. "Restuin Ano nikah sama Alexa Ma," ucapnya terdengar memohon.
"Nikah?" beo Laily pada kata yang membuatnya sedikit Syok. Sementara Evano hanya mengangguk mengiyakan.
Laily sejenak hanya diam, ia menatap Alexa dari ujung kaki hingga ke ujung kepala.
"Ma …," panggil anaknya lagi.
Laily tampak tersenyum, ia menampilkan barisan gigi yang masih terlihat rapi.
"Terserah Ano aja, kalo Ano suka ya … Mama dukung." Mendengar kata-kata itu membuat kedua anak muda yang ada di hadapan Laily tampak tersenyum merekah.
"Tapi …," lanjut wanita paruh baya itu lagi.
Evano terlihat begitu serius memperhatikan ucapan ibunya itu.
"Nanti tanya dan izin sama papa dulu, kalo papa restuin, kita bisa segera atur waktu kalian untuk menikah."
Kedua orang itu tampak begitu bahagia, karena bisa selangkah lebih dekat lagi dengan tujuan mereka.
"Minum dulu …," tawar Laily pada tamunya, atas minuman yang sudah lama ada di meja.
Wanita ini kembali menatap pada Eve dan terlihat ingin menanyakan sesuatu lagi, tapi kali ini Eve terlihat lebih santai menerimanya.
"Tapi … orang tua kamu gimana? Udah tahu?"
Eve terdiam.
"Sebentar lagi kami mau ke rumah orang tuanya Ma, mau minta restu juga sama orang tua Alexa," potong Evano dengan begitu bersemangat.
"Oh gitu." Laily terlihat mengangguk-angguk kecil sembari sebelah bibirnya terlihat sedikit tersungging.
Evano tiba-tiba bangkit, membuat Laily bingung. "Mau kemana?"
"Mau ke rumah Alexa." jawab Evano begitu bersemangat.