Wanita itu mendongak menatapnya. Seolah mengerti apa yang di ucapkan suaminya itu, dia lantas meneteskan air mata.
Ia tampak menelan saliva dan menyeka air matanya. "Sejujurnya aku tidak rela."
"Jika semua yang kulakukan membuatmu terluka, maka menjauh dan meninggakanku adalah hal yang benar."
Vivian menggeleng. "Tidak … tidak akan pernah. Kecuali aku mati."
Wanita itu lantas menangis di pelukan suaminya.
Arthur tampak mengelus punggung wanita itu dengan lembut walau pun dengan wajah yang terlihat datar dan dingin.
"Jangan menangis, semua tidak akan berubah hanya karena air mata." Dia menyentuh kedua pundak istrinya itu, lalu menyentuh pipi dan menyeka air matanya.
"Bekal apa yang kamu bawakan untukku? Ayo kita makan bersama."
Laki-laki itu berusaha mengalihkan fokus sehingga wanita itu bisa kembali mendapatkan senyumannya.
"Aku tadi memasak banyak hal, mulai dari sushi sampai martabak telur."
Arthur meraih kotak bekal sembari sebelah lengannya merangkul tubuh istrinya. Mereka terlihat berjalan menuju sofa dan sebuah meja yang ada di sebelah sisi ruangan.
Wanita itu tampak antusias membuka setiap tingkat kotak bekal itu.
"Kamu memasak terlalu banyak … siapa yang akan membantuku untuk menghabiskan semua ini?"
Vivian menjawabnya hanya dengan senyuman. Sementara Arthur tampak meraih telepon genggam yang ada di sakunya. kemudian terlihat menelepon seseorang.
"Alvin … cepat keruanganku segera." Pria itu menjauhkan gawai itu dari telinganya.
"Kamu menelpon Alvin? Untuk apa?" tanya Vivian setelah melihat Arthur memutuskan sambungan telepon.
"Aku ingin dia membantuku menghabiskan makanan lezat ini, dan aku ingin dia banyak mencicipi masakanmu."
Semua kotak bekal tampak telah di hidangkan di atas meja.
Vivian mengambil sepasang sumpit lalu meraih sepotong sushi yang ada di satu kotak dan menyuapinya pada Arthur. "Aaa, bukalah mulutmu."
Pria itu hanya tersenyum dan meraih sushi dengan membuka mulutnya. Saat dia sibuk mengunyah, seseorang sedang berjalan masuk ke ruangannya.
Alvin telah tiba, pria itu tampak memberikan hormat dan mengisi sisi sofa yang terlihat kosong.
"Dari mana kamu? Kenapa begitu lama?" tanya Arthur dengan wajah pura-pura kesalnya.
"Aku punya hal yang harus aku selesaikan. Ada apa? apa aku telah melewatkan sesuatu? Apa sangat penting?" Alvin menilik pada kotak-kotak yang terhampar di meja.
Arthur menampilkan wajah yang seolah marah. "Iya … kamu lihat semua ini? mereka perlu kamu makan."
"Tapi …." Alvin menatap pada kode kedipan mata yang Arthur berikan.
"Ah ya … aku memang sedang lapar. Aku akan memakan ini." dengan sepasang sumpitnya Alvin meraih sepotong martabak telur.
"Bagaimana?" tanya Vivian yang terlihat gembira namun penasaran dengan pendapat Alvin.
"Enak, ini seperti masakan hotel bintang 5."
Arthur terlihat senang karena Alvin bisa membuat Vivian tersenyum karena tersanjung.
Arthur menatap jam yang melingkar di pergelangan tangan. "Sudah sore, apa kamu tidak ingin pulang, sayang?" tanyanya mengarah pada Vivian.
Wanita itu tampak menggeleng.
"Kenapa?" Pria itu tampak bingung.
"Aku ingin di sini, jika harus pulang, aku ingin pulang bersamamu."
Arthur menggaruk sebelah ujung bibirnya. "Tapi aku rasa … aku akan lembur."
"Aku akan menunggumu di sini."
"Tapi kamu akan bosan jika menunggu di sini."
"Tidak … akan lebih bosan jika aku sendirian di rumah." Mereka berdebat dan melupakan kehadiran seorang pria single di sana.
Alvin tampak menggaruk kening, kemudian bangkit dari kursinya. "Aku rasa aku akan pamit kembali ke ruanganku, jika ada yang penting, kalian bisa memanggilku lagi."
Arthur hanya mengangguk.
Pria itu tampak meninggalkan Vivian dan Arthur di ruangannya.
Arthur hanya menghela napas panjang. "Apa kamu yakin tidak ingin pulang? Jika kamu mau pulang. Aku akan meminta Alvin mengantarmu."
Wanita itu hanya terus menggeleng.
"Baiklah … jika begitu, aku akan melanjutkan kembali pekerjaanku." Arthur tampak bergerak kembali ke mejanya.
***
Sejam lebih telah berlalu, Vivian masih duduk di sofa menatap pada Arthur yang sibuk di depan meja kerja.
Arthur tampak mematikan seluruh benda yang layarnya sedari tadi terus menyala itu.
"Bagaimana kalau kita pergi?" gema Arthur dari mejanya.
"Terserah padamu." Vivian lantas bangkit dari sofa kemudian menghampiri kursi laki-laki itu.
"Baiklah … kalau begitu kita akan pulang saja."
Vivian tampak cemberut dan kehilangan sumringah yang tadi tergambar di wajahnya.
"Kamu kenapa?" tanya pria yang menyadari pada perubahan ekspresi Vivian yang secara tiba-tiba.
"Aku belum ingin pulang," ucap wanita ini terdengar sedikit manja.
"Lalu?"
"Bagaimana kalau kita jalan-jalan ke mall?" Wanita itu mendekat dan memeluk leher pria yang masih duduk di kursi kerjanya itu.
"Mall? Untuk apa? Apa ada yang ingin kamu beli?"
"Entahlah …."
"Lalu kenapa?" tanya lagi.
"Aku hanya ingin berjalan-jalan dan menghabiskan waktu bersamamu."
"Kamu ingin berkencan?" Ada sepercik senyuman yang tergambar di wajah pria ini.
Sementara wajah Vivian terlihat sedikit memerah.
"Baiklah, kalau begitu kita akan pergi." Persetujuan dari Arthur terdengar tiba-tiba.
***
Mereka tampak keluar dari gedung dan sedari tadi Vivian terus saja merangkul pinggang suaminya itu.
"Apa kamu ingin berbelanja?"
"Kita lihat saja, jika ada yang menarik … aku akan meminta suamiku membelikannya untukku."
Arthur hanya mengangguk-angguk "Baiklah," ucapnya sembari membuka pintu mobil untuk wanita yang sedari tadi terus menempel padanya itu.
"Kita harus ke mall mana?"
"Aku ingin ke mall yang tidak jauh dari sini, katanya di sana ada kedai makanan baru yang sangat Favorit."
"Kamu ingin makan lagi?" tanya Arthur sembari menatap orang yang menepel di bahunya itu.
Vivian tesenyum tipis, sepanjang perjalanan ia terus memeluk suaminya. Tapi ia tampak bergeming saat mencium sebuah aroma yang sedikit tertinggal di sekitar sana, tapi Vivian kemudian mengabaikannya. Seperti biasa, ia sudah beberapa kali mencium bau wangi parfum wanita berada di sekitar tubuh atau pun mobil suaminya.
Seolah wanita ini telah menghapus semuanya, menghapus apa pun yang membuat suasana hatinya tidak tenang.
***
Mereka telah keluar dari mobil dan masuk ke pintu utama Mall yang begitu luas itu. Mereka berdua selalu bergandengan sementara Alvin selalu mengekori tidak jauh dan tidak juga terlalu dekat pada mereka.
Terlukis kegembiraan pada wajah Vivian, karena kesibukan suaminya dalam beberapa minggu ini membuatnya tidak punya banyak menghabiskan waktu bersama.
Mereka sudah ada di sebuah toko tas bermerek, Vivian tampak selalu menarik telapak tangan suaminya itu.
"Kamu ingin tas?" tanya pria itu, sembari mengikuti apa pun keinginan yang Vivian inginkan.
"Aku ingin melihat-lihat, katanya ada keluaran terbaru minggu ini."
Arthur hanya mengangguk-angguk sembari menunggu istrinya puas melihat-lihat.
Beberapa saat ia terpaku menatap pada dinding kaca yang berbatasan langsung pada sebuah toko pakaian. Matanya seolah tertarik pada seseorang pengunjung yang sibuk memilah-milah baju.
Dia tampak bergeming dan berpikir, memastikan kalau yang dia lihat adalah orang yang sama dengan orang yang saat ini ia pikirkan.
Arthur meraih Handphone yang ada di saku celananya. Kemudian tampak menelepon seseorang yang sedari tadi mengekorinya tapi sekarang telah menghilang entah kemana.
Panggilan itu di angkat oleh orang yang di tuju hanya dalam beberapa detik.
"Alvin …," panggilnya setengah berbisik, berharap Vivian yang sibuk itu tidak mendengar percakapannya.
"Ada apa?"
"Kenapa kamu tidak mengatakan padaku, kalau dia ada di mall ini juga?" nadanya setengah kesal.
Alvin yang mengerti langsung menjelaskan apa yang terjadi. "Aku sudah mengirimkan pesan singkat padamu. Apa kamu tidak membukanya?"
"Benarkah? Kalau begitu kita akan bicara via pesan singkat."
Arthur mematikan sambungan telepon, dan ingin memeriksa kontak masuk, tapi belum sempat ia memeriksa pesan singkat tersebut, Vivian malah mendekatinya untuk bertanya pendapat pada benda yang telah ia pilih.
"Apa ini bagus?" tanyanya sembari memperlihatkan salah satu koleksi itu pada suaminya. Arthur hanya mengangguk.
"Pilih saja lagi, aku harus ke toilet sebentar." Ia terlihat pergi ke kamar kecil yang ada di dalam toko dan mengecek pesan yang tadi Alvin kirimkan
Ternyata benar, beberapa waktu yang lalu tepatnya di sore hari pukul 5 Alvin sudah mengirimkan sesuatu, tapi Arthur tidak membuka pesannya.
"Sial … aku melewatkannya."
Arthur yang telah menetralkan emosinya tampak keluar dari toilet.