Pukul 19:00 WIB.
Eveline dan Nia sudah berada di sebuah mall, mereka tampak menikmati waktu bersama hingga saat di sebuah toko sepatu dan mereka terlihat sedang asik memilih, seseorang berjalan mendekati dan menyapa padanya.
Pria tinggi dengan senyuman yang terlihat hangat, menyentuh bahu Eve dan membuat wanita itu lantas berbalik.
"Hay …." Sapaan yang sudah lama tidak dia dengar secara langsung.
Wanita yang ia sapa itu terlihat tertegun lama, hampir tak ada kata-kata yang bisa keluar dari mulutnya, Nia yang tampaknya menyadari situasi, lantas tersenyum dan pamit pergi untuk memberikan mereka berdua ruang agar bisa menikmati waktu berdua.
***
Eveline masih mematung, menatap pada pria yang berdiri di hadapannya itu.
"Lex … Alexa," panggil pria itu beberapa kali sembari melambaikan tangannya, membuat lamunan Eve seketika menjadi buyar.
Bukannya membalas sapaan, Eveline malah menunduk, dan menyeka butiran air di ujung kelopak matanya. Wanita itu seolah ingin menahan tetesan air mata yang hampir jatuh dari sana.
Pria berhidung mancung itu menyentuh bahunya. "Xa? Kamu nggak apa-apa kan? Kamu kenapa?"
Pertanyaan-pertanyaan itu membuat Eveline mengangkat kepalanya dan tersenyum. "Ha? Enggak kok, nggak kenapa-kenapa. By the way udah lama? Susah nyari aku tadi nggak?"
Laki-laki yang bernama Evano itu tampak tersenyum dan menggeleng. "Nggak kok, kan pakek maps." Evano meraih telapak tangan Eveline dan menggandengnya.
Eve hanya bergeming sembari menatapnya dalam.
"Gimana? Masih mau milih-milih atau mau belanja yang lain?"
Eveline menggeleng.
Pria itu terlihat tersenyum dan bingung. "Maksudnya?"
"Emm, kamu mau nungguin aku milih?" tanya Eve berbalik pada Evano.
"Boleh." Suara pria ini benar-benar terdengar lembut.
Eveline kali ini benar-benar menikmati jalan-jalannya, mereka berkeliling di sekitaran mall, hingga saat di salah satu toko pakaian, ia tidak sadar kalau ada Arthur di dalam toko yang bersebelahan langsung dengan toko yang ia masuki itu.
Namun karena Evano sedang berbincang dengan salah satu orang yang kebetulan ia temui di sana, membuat Arthur tidak sempat melihat Eveline bergandengan dengannya. Jika tidak, mungkin saja hal buruk lain akan terjadi.
Mereka telah selesai berbelanja, telapak tangan keduanya masih terus bersautan. Sepanjang waktu saling bergandengan.
Saat ini mereka telah berada di sebuah tempat makan, dan kedua manusia yang duduk berhadapan itu, sedari tadi tidak lepas dari saling bertatapan.
"Emmm, mau mesen apa?" tanya Eveline memecah lamunan pria yang ada di hadapannya.
"Apa aja, apa yang kamu pesen aku bakal makan kok." Senyumnya tampak merekah sembari menatap lekat pada wajah Eveline.
"Beneran, nanti kalo aku mesen yang aneh-aneh gimana?"
"Nggak masalah," ucapnya singkat.
Eveline terlihat membolak-balik menu, dan kemudian memanggil pelayan dan memesankan makanan yang telah dia pilih.
Sembari menunggu pesanan mereka datang, mereka tampak berbincang-bincang.
Evano menyentuh sebelah punggung tangan Eve yang ada di meja. Eveline tampak tersenyum di campur dengan rasa gugup.
"Udah lama ya, udah lama banget aku nggak ketemu sama kamu." Senyuman pria itu terlihat sayu.
Wanita yang ada di hadapannya hanya mengangguk.
"Sumpah Xa, aku kangen banget sama kamu."
"Aku juga," ucap wanita itu terdengar sedikit parau.
"Rasanya … aku pengen kerja di Jakarta, jadi bisa sering ketemu sama kamu di sini."
Eveline terlihat menelan ludah, ia seolah bingung untuk merespon. "Aku rasa … nggak terlalu bagus sih kamu pindah ke sini, secara kerjaan kamu di Surabaya udah mantep banget."
"Apa kamu nggak mau pulang?" tanya Evano tiba-tiba.
"Ha?" pertanyaan itu membuat Eve terlihat sedikit bingung.
"Maksudku, Apa kamu nggak mau pulang aja ke Surabaya?"
Eveline kembali tertegun lama. "Aku belum bisa Van …," jawabnya singkat degan sedikit tertunduk.
"Kenapa?"
"Aku belum bisa berhenti dari pekerjaan aku," ucapnya lirih tapi masih terdengar jelas oleh pria yang ada di depannya.
"Apa kamu nggak kangen keluarga kamu di Surabaya? Udah 2 tahunan, sejak kamu di Jakarta kamu nggak pernah pulang."
Eveline menarik punggung tangannya, dan ia hanya tersenyum getir.
Belum sempat Eveline memberikan jawaban, seorang pelayan terlihat menghampiri mereka dan memberikan 2 mangkok es krim yang tadi sempat wanita itu pesan.
Seketika suasana terasa canggung, mereka berdua menyantap es krimnya sesendok demi sesendok, dengan sesekali saling menilik orang yang ada di hadapan mereka.
"Xa …," panggil Evano lagi secara tiba-tiba, pria itu terlihat mencoba untuk mencairkan suasana.
Eveline kembali hanya mengangguk.
"Kamu sering ke sini?"
Eveline memberikan jawaban dengan menggeleng.
"Perasaan tadi kamu sama seseorang, dia kemana?" tanya pria itu lagi, tapi wanita itu kembali menggeleng.
"Kamu kenapa? Apa aku ngelakuin kesalahan? Kok rasanya nggak nyaman ya." Evano lantas berterus terang dengan sikap Eveline yang sedikit pendiam dan membuatnya merasa tak nyaman.
"Nggak kok, nggak … aku, cuma … gugup aja kok."
"Tapi sedari tadi, kamu nggak banyak ngomong."
Eveline mencoba memecahkan fokus serta mengalihkan pembicaraan[A1] .
"Es krimnya enak ya, di sini katanya jadi tempat favorit banyak orang."
Evano hanya diam sembari menatap padanya lama. "Kamu kenapa Xa, aku ngerasa sekarang kamu banyak berubah."
"Nggak kok, berubah kenapa?"
"Aku kenal kamu udah lama, kamu salah satu orang yang paling ceria yang selama ini aku kenal. Tapi rasanya sekarang kamu udah bukan Alexa yang sama."
"Masa sih, perasaan sama aja deh." Wanita itu tersenyum lebar, berusaha menepis tuduhan yang laki-laki itu tujukan padanya.
"Apa kerjaan kamu berat? Apa kamu punya masalah? Kamu bisa cerita, aku bakal dengerin kamu kok."
"Kenapa sih, aku nggak apa-apa, beneran kok Van! Jangan khawatir ya! Aku juga bahagia kok tinggal di Jakarta, aku bukannya nggak mau pulang ke Surabaya tapi sekarang aku udah mulai sibuk, banyak kerjaan yang harus aku kerjain."
"Kamu nggak lagi bohong kan? Aku ngerasa kamu sekarang lagi nyembunyiin sesuatu dari aku."
"Apaan sih kamu? Mending makan eskrimnya, ntar cair loh, apa mau aku suapin?"
Eveline terlihat meraih sendok eskrim yang ada di mangkok Evano, menyendokkan sesendok eskrim dan mengarahkannya pada mulut pria itu.
Laki-laki itu tersenyum malu.
"Aaa, cepetan. Buka mulutnya."
Dengan perasaan malu pria itu membuka mulutnya, ia menerima suapan itu sembari menatap lekat pada manik mata wanita yang sangat membuatnya jatuh cinta itu.
Setelah terdiam lama, Evano menyentuh pipi perempuan itu, mengelus lembut dengan ibu jarinya.
"Jangan pernah berubah ya Xa, dan jangan lupa kalau ada aku yang akan selalu ngedukung semua keputusan kamu, dan inget aku akan ada di sisi kamu apa pun yang terjadi." Pria itu menarik lengannya, seketika Eveline malah terlihat mematung.
"Itu yang aku takutkan Van, aku takut kalo kamu tau semuanya, aku juga sangat takut kamu tau tentang keadaan apa yang sebenernya aku alami di Jakarta, aku takut kehilang pria baik yang Tuhan tempatkan di sisi aku ini, jujur aku juga udah pengen banget berhenti dari semua ini, tapi aku masih belum bisa, akan banyak masalah yang harus aku selesaikan terlebih dahulu.
di sisi lain aku juga merasa berdosa, aku merasa nggak pantes untuk orang sebaik kamu. Aku rasa kamu pantes untuk dapetin orang yang lebih baik dari aku, tapi untuk ngelepas kamu itu rasanya … aku juga nggak akan mampu, sejujurnya aku sangat takut kamu kecewa," batinnya.