Ada bunyi yang mengganggu. Amy mengernyitkan wajah lalu mendesah kesal. Itu bunyi ringtone ponselnya. Siapa yang menelepon pagi-pagi begini? Padahal hari ini hari Minggu. Ia baru saja merencanakan akan melakukan hibernasi. Ugh.
Ia meringkuk ke sudut ranjang tidur, menculatkan sebelah tangannya ke meja yang terletak di samping tempat tidurnya lalu memungut ponselnya yang bergetar-getar. Ia membuka selimut lalu mengerang. Sambil bersusah payah membuka mata, Amy menjawab telepon yang masuk tanpa melihat nama penelepon yang menyebabkan tidurnya terganggu.
"Halo?" jawabnya dengan suara parau.
"Amy darling, apa aku mengganggu tidurmu?" Butuh dua detik yang singkat bagi Amy mengenali suara ayahnya, Edward Hirata, menyapanya di ujung sana.
"Dad?" Kening Amy berkerut. "Well, ya. Kalau Dad tidak meneleponku, aku hampir saja menyentuh puncak menara eiffel tadi."
"Maaf, lagi-lagi harus merusak mimpimu, sayang," ujar Edward Hirata sambil terkekeh ringan. "Aku menelepon karena aku baru mendapatkan kabar gembira."
Kalimat singkat ayahnya itu berhasil membuat Amy perlahan membuka kedua matanya. Ia kemudian bangkit dari tidurnya. "Apa itu, Dad?"
"Aku baru saja mendapat kabar dari nenekmu kalau sepupumu Lily akan menikah."
Amy terhentak dan mengerjap-ngerjapkan mata. Apa ia tidak salah dengar? Apa ia masih bermimpi? Apa ayahnya berbohong padanya? Sudah lama Amy tak mendengar kabar dari sepupunya di Australia dan sekarang terdengar kabar salah satu sepupunya akan menikah? Tangan kanannya yang bebas terangkat menutupi mulutnya yang terbuka.
"Amy...? Kau masih di sana, darling?"
Amy terkekeh dan buru-buru memberi respon. "Ya, Dad. Aku hanya kaget."
Edward Hirata ikut tertawa. "Aku pun sangat senang mendengar kabar ini, Amy."
"Apa Mom sudah tahu?"
"Belum. Aku baru akan memberitahunya sebentar lagi. Dan jika ibumu sudah tahu, siap-siap," ayahnya berhenti sejenak untuk membersihkan hidung.
"Reuni keluarga besar-besaran."
"Reuni keluarga besar-besaran."
Amy dan Edward Hirata menyahut bersamaan lalu tertawa.
Janet McCartney, ibu tirinya, adalah seorang wanita periang yang tidak bisa berhenti mengoceh dan membuat segala sesuatu berlebihan. Begitu juga dengan keluarga besarnya di Australia. Jika mendapat kabar yang luar biasa menggembirakan, mereka akan mengadakan pertemuan keluarga besar-besaran untuk merayakannya.
"Persiapkan dirimu, darling," Edward Hirata tiba-tiba menyeletuk. "Sepertinya kita harus berangkat ke Australia minggu depan selama tiga hari untuk mengunjungi Lily. Jika kau tak bisa mendapatkan ijin kerja hingga pernikahannya, kau bisa datang untuk mengucapkan selamat dan kembali ke New York."
"Ay-ay, sir! Aku akan membicarakannya dengan bosku."
"Bagus. Kalau begitu, aku akan memberitahu ibumu. Sampai nanti. Selamat tidur lagi."
"Seperti aku bisa saja," cetus Amy sambil setengah tertawa meledek lalu menutup telepon. Amy menggenggam erat ponselnya lalu menggigit bibirnya, menahan senyumannya.
Ah, ia tidak percaya kalau musim kawin telah tiba. Pertama, Sharon. Sekarang sepupunya sendiri. Ia jadi ragu, apakah ia sendiri bisa menikah dalam waktu dekat seperti orang-orang terdekatnya?
Amy baru saja bangkit berdiri hendak ke kamar mandi ketika bunyi dering ponselnya mengagetkannya lagi. Ia mengangkat ponselnya yang masih ia genggam lalu mengerutkan kening ketika melihat nama Aaron Hale pada layar.
"Halo?" jawab Amy sedetik kemudian.
"Hai, Amy. Aku akan menunggumu di tempat kita bertemu minggu lalu sekitar satu jam dari sekarang dan kau yang memilih restorannya." Suara Aaron terdengar ceria di ujung sana.
Amy mengerjap bingung kemudian sontak melonjak kaget. Astaga! Ia baru ingat kalau ia sudah berjanji untuk pergi makan siang bersama Aaron hari ini. Ya Tuhan, bagaimana ia bisa lupa.
"Oh, ya! Ya! Aku akan menunggu... eh, maksudku, aku akan memilih restorannya dan kau akan makan... maksudku, menunggu di sana sampai aku datang. Kita bertemu di sana. Okay?"
Aaron Hale tertawa renyah. "Yah, baiklah. Aku akan menunggumu. Sampai nanti, Amy."
"Yah. Bye."
Amy menutup telepon lalu melempar ponselnya ke atas ranjang. Oh, ia harus buru-buru mandi! Ia tidak tahu mengapa ia bisa lupa pada janjinya dengan Aaron tapi jujur saja, sejak ia mendapat kejutan dari Kai dua hari yang lalu, ia melupakan banyak hal. Dan Amy berharap dalam hati, semoga saja ia tidak melupakan hal lainnya yang lebih penting seperti... gravitasi?
* * *
Aaron Hale mengangkat jam tangannya, lalu berpaling ke luar jendela. Pejalan kaki berjalan berlalu lalang, kendaraan memenuhi arus lalu lintas jalanan Tribeca. Manhattan tampak sibuk seperti biasa. Aaron sedang duduk di sebuah restoran cina di Chinatown, menunggu seseorang sambil memandang keluar jendela dan menghembuskan napas.
Amy Hirata seharusnya sudah tiba di sini tapi hingga saat ini gadis itu tak kunjung memunculkan batang hidungnya. Apakah Amy tiba-tiba berhalangan datang dan lupa memberitahunya, seperti yang selalu gadis itu lakukan pada saat mereka berpacaran dulu?
Aaron Hale mendapati dirinya tersenyum kecil. Mengingat masa lalu memang membuat semua orang dapat tersenyum sendiri. Seperti saat ini contohnya.
Aaron ingat masa-masa ia baru saja berpacaran dengan Amy di tahun-tahun SMAnya. Waktu itu adalah waktu dimana Aaron benar-benar merasa bahagia. Waktu itu ia dikenal sebagai kapten tim futbol yang selalu menuntut perhatian banyak orang terutama para gadis. Aaron tidak menyukai perhatian itu. Apalagi para gadis yang bersikap palsu dan menggodanya seperti salesgirl yang menawarkan barang dagangan. Kalau boleh jujur, Aaron sungguh tidak merasa nyaman dengan statusnya sebagai kapten tim futbol waktu itu.
Tapi, suatu hari, ia tidak sengaja bertemu dengan Amy Hirata di kantin sekolah. Gadis mungil dengan sepasang mata lebar yang selalu duduk di dekat jendela kantin dan makan sambil mendengarkan musik. Satu-satunya gadis yang jarang memperhatikannya dan membuatnya merasa penasaran. Sejak melihat Amy, Aaron memutuskan untuk mendekati gadis itu dan pada akhirnya membangun hubungan cinta masa muda yang membuatnya merasa bahagia.
Walaupun pada akhirnya Aaron harus berpisah dengan Amy, tapi ia tidak pernah menyesal berkencan dengan gadis seperti Amy. Bahkan setelah 10 tahun berlalu –sampai sekarang– Aaron tidak menemukan satu alasan pun yang dapat membuatnya menyesali keputusannya mengencani Amy Hirata. Ia selalu merindukan celotehan tiada henti Amy, komentar blak-blakan ala Amy dan bahkan kekehan Amy yang selalu tersembur keluar dari mulut gadis itu setiap saat Aaron menggodanya.
Senyuman yang tersungging di wajah Aaron melebar ketika wajah Amy Hirata yang tertawa muncul di benaknya. Tiba-tiba saja ia merindukan gadis itu. Tiba-tiba saja ia ingin memeluk gadis itu dengan cara yang selalu ia lakukan 10 tahun yang lalu. Tiba-tiba saja Aaron ingin menemukan alasan untuk mencintai gadis itu lagi. Tapi, apakah mungkin?
"Aaron, maaf membuatmu menunggu."
Aaron mengangkat wajah dan mendapati Amy duduk di kursi di hadapannya dengan napas terengah-engah. Amy tampaknya baru saja berlari menembus angin karena rambutnya terlihat agak berantakan. Tapi –entah apakah karena ia baru saja memikirkan Amy atau tidak– tapi, gadis itu tetap terlihat manis di mata Aaron.
"Kau sudah memesan?" tanya Amy sambil melepas jaketnya dan menyisir rambutnya.
Aaron tersenyum dan mengangguk. Jantungnya berdegup tidak keruan akibat bayangan masa lalu yang terbersit di kepalanya tadi dan hingga kini belum berhenti melonjak. Bahkan berpacu lebih cepat karena bayangan di benaknya berubah menjadi kenyataan. Duduk di hadapannya saat ini.
"Aku sudah memesan kungpao chicken yang kau pesan. Aku tahu kau tidak suka menunggu," jawab Aaron, berusaha menyembunyikan kegugupannya.
"Terima kasih," balas Amy sambil tersenyum lebar. Senyuman yang mengagumkan. "Dan maaf aku membuatmu menunggu lama. Jalanan di Nomad sedikit macet hari ini. Phew."
Aaron membalas senyuman Amy. "Aku seharusnya menjemputmu saja hari ini."
"Menjemputku?" Amy bertanya balik sambil setengah menyemburkan tawa. "Dengan kereta kuda?"
Aaron tertawa dan menggelengkan kepala. "Aku seharusnya menjemputmu seperti yang selalu kulakukan dulu."
"Well, dulu aku tidak diperbolehkan pergi dengan lelaki mana pun kecuali mereka menjemputku. Jadi, waktu itu kau terpaksa menjemputku," koreksi Amy sambil terkekeh geli.
Aaron menarik napas dalam-dalam kemudian mencondongkan tubuhnya. Lalu ia menatap Amy yang masih tersenyum lurus-lurus. "Aku merindukan saat-saat itu," ungkap Aaron, jujur.
Aaron dapat melihat Amy menegang selama beberapa detik. Senyuman yang tersungging di wajahnya perlahan-lahan digantikan dengan wajah serius yang tegang. Wajah Amy entah kenapa terlihat canggung dan kaget.
"A- aku juga, haha. Sepertinya saat-saat itu kita masih bebas, ya?" sahut Amy sambil tertawa kikuk.
"Maksudku bukan masa sekolah kita, Amy...," ujar Aaron sambil menggeleng kecil. Ia kemudian meraih sebelah tangan Amy yang berada di meja. "...tapi kita. Aku merindukan kita."
Senyuman di wajah Amy pudar sepenuhnya.
"Apakah kau dan aku... bisa kembali seperti dulu lagi?"
Saat itulah, Aaron merasakan sebuah aliran aneh dari tangan Amy yang terasa sangat dingin dan asing baginya. Dan pada saat itu juga –walau gadis itu tidak mengucapkan apapun– entah mengapa Aaron yakin, Amy yang sekarang sudah tidak sama lagi. Amy, sudah bukan miliknya lagi.