Hari sudah gelap ketika Kai menginjakkan kaki di bandara Internasional Narita. Ia baru saja hendak mengeluarkan ponselnya ketika ia mendengar seseorang meneriaki namanya. Kai menoleh pada sumber suara itu dan tersenyum ketika mendapati teman baiknya, Keisuke Kuno berjalan menghampirinya bersama tunangannya, Reiko Michigawa.
"Hei, kawan! Maaf, kau pasti menunggu lama, ya?" tanya Keisuke sambil memberikan pelukan hangat.
"Apa kabar, Kai?" Reiko melambaikan sebelah tangannya.
"Baik. Senang bertemu lagi denganmu, Reiko." Kai tersenyum. "Dan, tidak. Aku tidak menunggu lama."
"Ayo kita ke mobil. Kau pasti lelah."
Keisuke melingkarkan lengannya pada bahu Kai yang jauh lebih tinggi darinya. Sambil menanyakan beberapa pertanyaan dasar seperti 'Apa kabarmu?', 'Bagaimana New York?' dan lainnya, Kai, Keisuke serta Reiko berjalan menuju mobil Keisuke yang menunggu di lapangan parkir. Setelah memasukkan ransel Kai yang berbobot lebih dari satu kilogram ke dalam bagasi, Kai memasuki mobil dan memulai perjalanan pulang.
Perjalanan dari bandara menuju kawasan tempat tinggalnya di Itabashi akan memakan waktu kurang lebih satu setengah jam. Dan dalam waktu yang panjang itu, Kai yakin ia tidak akan diam saja.
"Jadi, apa yang membawamu kemari, Kai?" Keisuke menjadi yang pertama memecahkan keheningan setelah lima belas menit keheningan.
Kai menerawang keluar jendela mobil, memperhatikan pemandangan kota Tokyo di malam hari yang terlihat menakjubkan. Lampu-lampu kota, jalan raya yang sibuk serta baliho dan papan reklame bertuliskan bahasa Jepang; entah mengapa Kai merindukan pemandangan ini. Namun, dalam kesibukan pemandangan kota Tokyo, hanya ada satu bayangan seseorang yang membuatnya tersenyum.
Amy Hirata. Apa yang sedang gadis itu lakukan saat ini? Ia sudah mengirim pesan, memberitahu bahwa ia telah tiba di Jepang dengan selamat, tapi belum ada balasan. Mungkin Amy sedang istirahat.
"Sesuatu yang penting," gumam Kai dengan suara pelan.
Keisuke mengerutkan alisnya. "Apa itu? Bukankah keluargamu sudah tak pernah mengadakan upacara peringatan kematian nenekmu sejak dua tahun yang lalu?"
"Ya, memang begitu." Kai mengiyakan dengan senyuman.
"Lalu, apa yang membuatmu datang sejauh ini?"
Kai tidak langsung menjawab. Ia tidak yakin bagaimana harus memulai ceritanya pada Keisuke dan Reiko. Kai menarik napas dalam-dalam dan mulai bercerita tentang bagaimana ia bertemu dengan Amy Hirata. Kemudian cerita berlanjut kepada keindahan New York yang ditunjukkan oleh gadis itu hingga perasaannya yang berkecamuk sejak ia menghadiri pesta pernikahan Sharon Cole.
Dan Reikolah yang menjadi orang pertama yang memberikan respon, "Kau menyukai Amy, Kai."
Kai tidak membantah.
"Tapi, sepertinya kau harus menyelesaikan masa lalumu dengan Kyoko. Karena itulah kau kembali ke sini. Bukan begitu?" Reiko menebak sambil tersenyum kecil, membuat Keisuke yang sedang mengemudi, sesekali mengintip Kai dari kaca spionnya.
Kai mengangguk. "Benar. Sepertinya apa yang kau katakan sepenuhnya benar, Reiko."
"Lalu apa rencanamu, Kai?"
Kai tertegun sejenak. "Akan kupikirkan malam ini."
"Sepertinya kau harus mengunjungi Kyoko."
Usul Reiko membuat Kai bergidik. Memang itulah rencana yang ia buat sejak kemarin. Namun, entah mengapa ia tak tahu apa yang harus ia ucapkan pada Kyoko setelah ia melihat wanita itu nanti. Apakah ia akan merasa bersalah? Apakah ia akan berubah menjadi pengecut di hadapan Kyoko nanti? Tiba-tiba saja dada Kai terasa nyeri.
Seperti bisa membaca isi pikiran Kai, Reiko menyeletuk, "Katakan saja apa yang ingin kau katakan pada Kyoko. Pada akhirnya, kau harus jujur pada perasaanmu dan berhenti menyalahkan dirimu atas kejadian yang menimpa Kyoko. Karena itu bukan salahmu."
"Aku setuju," timpal Keisuke.
"Terima kasih," ucap Kai, berusaha terdengar normal. "Bagaimana denganmu, Reiko? Andai saja kau meninggal dan bisa melihat Keisuke dari atas sana, apakah kau akan mengijinkan Keisuke untuk bertemu dengan wanita lain dan melihatnya bahagia bersama wanita itu?"
Kai dapat mendengar Keisuke meringis dari tempat duduknya di baris belakang. "Kau tahu kan kalau pertanyaan macam itu akan menjadi bahan pertengkaran nantinya?" tanya Keisuke dengan nada menyindir.
Reiko terkekeh dan memukul bahu Keisuke yang menyetir di sampingnya. "Kita kan sudah membicarakan ini sebelumnya," jawab Reiko. Lalu ia melirik Kai di belakang, "Aku tidak keberatan. Aku justru berdoa pada Tuhan kalau itu terjadi padaku, agar Tuhan mengirimkan seorang wanita yang bisa menjaga Keisuke-ku selama ia hidup di sini. Apakah kau sanggup melihat seseorang yang kau cintai hidup dalam berkabung dan terpuruk selamanya? Kurasa bukan itu yang Kyoko inginkan saat ini."
Pernyataan Reiko membuat Kai termenung.
"Kyoko pasti berharap kau bahagia di sini. Dan mungkin saja, Amy adalah jawaban doa Kyoko selama ini."
Kai melemparkan pandangannya ke luar jendela. Mungkinkah itu benar? Mungkinkah itu yang Kyoko inginkan?
* * *
"The number you are calling is out of reach. Please try..."
Begitu mendengar suara operator itu, Kai lagi-lagi menutup teleponnya. Ada apa ini? Sudah lewat 24 jam dan Kai masih belum mendapatkan kabar apapun dari Amy. Apakah gadis itu sedang sibuk? Apakah ponselnya rusak? Atau... apakah gadis itu marah padanya dan tidak ingin menghubunginya lagi?
Kai berdiri di ambang pintu kamar apartemennya dengan napas yang berat, memandangi layar ponselnya dengan putus asa. Setelah sekali lagi percobaan yang gagal, Kai mengambil kunci mobilnya dan pergi meninggalkan apartemen.
Tak sampai tiga puluh menit kemudian, Kai tiba di taman Johoku Chuo. Taman yang terletak di antara perbatasan distrik Itabashi dan Nerima itu telah menjadi taman favorit Kai sejak ia duduk di bangku SMA. Taman ini menjadi satu-satunya alasan Kai memulai studi fotografi.
Lapangan yang luas, pepohonan hijau, orang-orang yang berpiknik, pohon sakura yang menggugurkan daun indahnya, anak-anak yang berlari di sepanjang jalan sambil tertawa; Kai jatuh cinta pada pemandangan itu saat ia berumur 17 tahun dan berpikir pada dirinya, apa yang terjadi jika ia bisa mengabadikan momen itu di dalam sebuah gambar dan melihatnya lagi suatu saat nanti? Apakah orang lain yang melihat hasil fotonya akan mendapatkan kehangatan yang sama seperti yang ia dapatkan ketika berada di taman ini?
Kai menggenggam kamera yang tergantung di lehernya sambil tersenyum. Ia menyusuri jalan setapak dan mulai membidik pemandangan di sekitarnya. Taman ini tidak pernah berubah. Selalu terasa hangat dan indah, terutama di musim semi seperti sekarang.
Kai sedang berjalan menuruni tangga menuju lapangan luas di tengah taman ketika sebuah pemandangan menarik perhatiannya. Tak jauh dari sudut lapangan, seorang gadis duduk di atas karpet, memeluk lututnya sambil tersenyum menatap langit. Kemudian gadis itu memejamkan matanya dan merasakan sinar matahari meresapi kulitnya.
Pose itu... Kai pasti akan mengambil gambar itu kalau gadis itu tidak mengingatkannya pada Amy.
Kai menghela napas kemudian duduk di anak tangga paling bawah di sana. Ia mengeluarkan ponselnya kemudian mendapati dirinya tak bersemangat ketika melihat ponselnya tak memberikan notifikasi apapun. Ke mana Amy?
Tiba-tiba saja Kai merindukan gadis itu. Ia merindukan celotehan Amy, omelan Amy, tawa Amy... semua tentang Amy Hirata. Kai begitu merindukan Amy sampai-sampai ia tak sadar kalau ia sedang memandangi foto Amy pada layar kameranya saat ini. Ia mendadak merindukan New York dan segala isinya.
Kai menekan tombol pada kameranya yang membuat foto pada layar muncul bergantian. Kini ia baru sadar kalau hampir setengah dari galeri fotonya hanya dipenuhi dengan wajah Amy. Melihat Amy tersenyum seperti itu, membuat Kai ikut tersenyum. Namun, kemudian dadanya terasa sakit. Ia merasa harus melakukan sesuatu. Sesuatu yang seharusnya ia lakukan sejak awal. Sesuatu yang dapat membantunya memahami perasaannya terhadap Amy.
* * *
Mobil sedan milik Kai berhenti di seberang jalan Pemakaman Umum Aoyama. Kai dapat melihat beberapa orang datang dan pergi mengunjungi pemakaman itu dari dalam mobil. Dan ketika ia keluar dari mobil, Kai baru menyadari kalau bulan ini adalah bulan terakhir musim Manami.
Sejak kecil, Kai selalu menyukai musim manami; musim dimana bunga-bunga indah seperti bunga sakura dan pepohonan hijau bermekeran. Penduduk Jepang biasanya menikmati musim ini dengan berpiknik di bawah pohon sakura, mengadakan kegiatan di luar ruangan atau mengunjungi makam orang yang mereka cintai, seperti yang Kai lakukan saat ini. Bulan ini adalah bulan Mei, bulan terakhir musim manami dinikmati oleh penduduk Jepang. Dan sepertinya Kai datang di saat yang tepat.
Kai membawa buket bunga yang ia beli di toko bunga dalam perjalanan ke Aoyama, kemudian berjalan memasuki pemakaman. Ia pikir ia tidak ingat dimana lokasi kuburan Kyoko, namun rupanya, tubuhnya masih mengingat segalanya dengan baik.
Lima menit kemudian, Kai telah berdiri di depan batu nisan dengan nama Kyoko Nagata terukir di atasnya. Kai meletakkan bunga lily yang ia pegang di atas makam Kyoko, melakukan ritual penghormatan kemudian duduk bersila di atas tanah. Pandangannya terpaku pada huruf kanji nama Kyoko di hadapannya, kemudian seluruh bayangan tentang Kyoko merasuki isi pikiran Kai.
Kai mengembuskan napas pendek. "Hai, Kyoko. Maaf aku tidak pernah datang kemari untuk menjengukmu," ujar Kai sambil mengusap batu nisan Kyoko. Kenyataan bahwa kali ini adalah kunjungan pertama Kai setelah Kyoko meninggal, membuat Kai merasa malu. Ia bahkan tak memiliki kekuatan yang cukup untuk memandang nama Kyoko.
"Baru-baru ini aku disibukkan dengan kegiatanku di New York. Kesibukan untuk melupakanmu," lanjut Kai sambil menggunakan seluruh kekuatan yang ia miliki untuk menahan air matanya. Ia yakin Kyoko berada di sini bersamanya sekarang. "Aku tidak tahu apa yang harus kuucapkan. Tapi, aku benar-benar merasa kacau. Aku merasa bersalah terhadapmu karena telah menyebabkan ini semua terjadi. Dan sekarang, aku terjebak dengan perasaanku sendiri.
"Kyoko, sepertinya aku mencintai Amy." Setelah mengatakan itu, Kai merasa beban yang berada di bahunya hilang seketika. Udara yang sejak tadi meninggalkannya, perlahan kembali memasuki paru-parunya dan membuatnya dapat bernapas kembali. "Aku tidak tahu apakah kau senang mendengar ini tapi... jika apa yang dikatakan Reiko benar, aku harap kau senang melihatku bahagia. Meskipun Amy tak dapat membuatku bahagia seperti yang kau lakukan, tapi gadis itu mampu menyelematkanku dari kegelapan. Karena itu kuharap kau tidak perlu membencinya.
"Dan... Kyoko," Kai memberanikan diri untuk mengangkat wajah menatap batu nisan Kyoko, "...maafkan aku. Aku minta maaf. Seandainya malam itu aku menuruti ucapanmu. Seandainya kau tidak menyusulku malam itu..."
Kai tak lagi dapat menahan air matanya setelah mengucapkan itu. Tangisannya meledak seketika dan tubuhnya berguncang ketika ia memeluk batu nisan Kyoko. Kini ia mengerti apa yang dimaksud oleh Reiko; kau harus memaafkan dirimu sendiri untuk bisa melangkah lebih jauh. Kau tidak dapat mengubah apa yang telah terjadi, tapi kau bisa mengubah masa depan. Dan kau hanya bisa melakukan itu jika kau memaafkan dirimu sendiri dan mengubur masa lalu.
Hari itu, hari kedua di bulan Mei, Kai memutuskan untuk mengubur masa lalunya di bawah makam Kyoko. Dan bersamaan dengan bunga sakura yang terbang tertiup angin, Kai membiarkan kehampaannya pergi terbawa angin musim semi.