Suara musik DJ terdengar kuat ke setiap tamu yang datang. Lampu kelap-kelip menjadikan suasana bak bar ramai tempat di mana anak muda menghabiskan waktu untuk menikmati hidup. Ramai dan berisik, hingar bingar pesta malam ini masih terus berjalan meski waktu sudah menunjukkan pukul tiga dini hari.
Laras, si pemilik pesta itu sendiri tertawa keras saat teman-temannya memainkan sebuah permainan di mana yang kalah harus berani mencium orang yang tidak dikenalnya. Jangan heran, seluruh tamu di sini banyak yang tidak saling kenal. Sebab, Laras memiliki banyak circle dari berbagai jurusan juga kampus lain. Sampai-sampai rooftop apartemen ini penuh dengan banyaknya anak muda dengan pakaian senada, hitam dan putih.
Tepat ketika jam menunjukkan pukul dua belas malam lewat satu detik tadi, Laras baru saja meresmikan usianya yang menginjak sembilan belas tahun dengan meniup lilin sesuai jumlah umurnya. Diiringi ratusan ucapan selamat juga doa yang turut dipanjatkan agar si empu bisa menempuh kehidupan yang jauh lebih baik lagi.
"Kamu jangan ikutan pokoknya." Randi dengan posesifnya merangkul pinggang Laras. Mengecup tiga kali pelipis sang kekasih. Seolah ingin menunjukkan pada semua orang jika perempuan dengan short dress putih di sampingnya adalah kekasih tersayang yang hanya bisa mencium dirinya.
"Kalo aku ikutan gimana?" tantang Laras dengan nada sengak. Didongakkan dagunya tinggi-tinggi untuk menggoda sang kekasih.
Lantas, Randi tersenyum miring. Dengan jahil ia mendekatkan wajahnya pada Laras. "Nanti kamu habis sama aku."
Laras memundurkan wajahnya, tersenyum miring juga membalas sang kekasih. Kemudian, dengan senyum jumawa, ia melangkah menjauh dari Randi. Hingga laki-laki itu dibuat terheran-heran olehnya. Randi sempat melotot lebar tatkala menyaksikan Laras yang menarik lengan seorang laki-laki asing. Laki-laki dengan umur yang sepertinya jauh lebih tua dari dia.
"Aku mau dihabisin sama kamu." Laras berucap sengak lantas mencium pipi laki-laki asing itu tepat di depan mata Randi.
"Laras?!"
Kemudian, tanpa rasa bersalah, Laras berlari ke arah toilet hanya untuk menunduk di atas wastafel sembari membasuh mulutnya keras-keras. Seolah ingin menghapus jejak ciuman tadi.
"Udah puas main-mainnya, Sayang?" Laras terjingkat kaget saat suara berat terdengar dari arah pintu. Bukannya takut, ia malah terkekeh geli. Dengan mata yang saling bertatapan melalui pantulan cermin, Laras tersenyum jahil pada Randi.
"Udah, sama kamu kapan mainnya?"
Begitu saja, Randi menarik tangan Laras dengan kuat hingga berbalik badan hingga menghadap dirinya. "Sekarang," jawabnya sebelum mencium Laras dengan rakus. Menautkan bibirnya di atas bibir kecil nan manis milik sang kekasih. Menyalurkan rasa sebal, geram juga sayang di waktu yang bersamaan melalui tautan itu.
Hingga entah di detik ke berapa, tautan itu terlepas tatkala Laras memukul-mukul pelan dada Randi sebab ia sudah kehabisan napas. Dengan napas terengah, Laras menatap Randi dengan mata melotot. Seolah tak percaya jika yang melakukannya ada Randi, kekasih tercintanya.
"Maaf," lirih Randi. Ia menumpukan keningnya pada bahu Laras. Menetralkan napasnya yang memburu di sana.
"Maaf, maafin aku. Aku gak ada maksud buat bikin kamu takut." Didekapnya tubuh kurus itu. Membuatnya terperangkap dalam dada bidangnya. Menghantarkan rasa dingin dari tubuh sang gadis.
Laras sebenarnya sangat terkejut dengan tindakan Randi yang tak pernah dilakukannya. Namun, melihat raut wajah penuh penyesalan membuat rasa terkejut Laras meluruh, digantikan dengan rasa senang yang membuncah ketika sadar bahwa ciuman tadi adalah ciuman pertama dalam seumur hidupnya.
"Ras? Kamu marah sama aku?" tanya Randi sebab perempuan yang tengah berada di dalam dekapannya itu hanya diam tak bergeming.
"Nggak, aku nggak marah." Laras berucap disertai senyuman manis. Kemudian tanpa rasa ragu, ia sedikit berjinjit untuk meraih bibir Randi. Menciumnya tanpa rasa ragu. Randi terkejut bukan main, namun ketika ia merasakan usapan pada tengkuknya, saat itu juga ia membalas tautan Laras tak kalah semangat.
Kegiatan itu berlangsung cukup lama. Hingga entah apa yang merasuki keduanya hingga bisa sampai pada sebuah kamar yang Laras sewa untuk istirahat malam ini. Berdua, dengan Randi yang masih menautkan bibirnya.
"Kalau aku salah, bilang ini salah." Laras tak menjawab apa-apa, begitu juga dengan Randi yang mulai berani melepas fabriknya satu persatu, entah pada tubuhnya sendiri atau bahkan pada tubuh Laras.
"I am sorry," ucap Randi sebelum melakukan penyatuan tubuh mereka. Di dalam kamar hotel, kulit di atas kulit. Semua dilakukan keduanya tanpa rasa ragu, hingga pada titik puncaknya Randi merebahkan tubuh sepenuhnya untuk menindih Laras. Menyandarkan kepalanya pada ceruk leher perempuan itu, bernapas di sana, menghirup aroma vanila yang selalu menjadi candunya.
"Maaf, aku minta maaf." Entah sudah berapa kali Randi mengucapkan maaf malam ini. Yang bisa Laras lakukan hanyalah mencium kening sang kekasih dengan sayang, lalu mengelus punggung lebar laki-laki itu. Seolah menenangkan dan mengucapkan bahwa ia tak marah padanya.
"Nggak, aku nggak akan marah. Asal kamu janji, janji buat gak akan pernah ninggalin aku."
Randi tak mengucapkan apa-apa. Ia hanya tersenyum tipis sembari memajukan wajahnya sedikit demi sedikit sampai bisa kembali meraih bibir Laras. Menciumnya dengan lembut, tak seperti pertama tadi.
Sesaat setelah tautannya terlepas, Laras memandangi wajah Randi. Netra coklat kelam yang selalu menyorotnya dengan hangat, kini menatapnya dengan sayu. Seolah ada damba yang ia tekan sekuat mungkin. Tidak butuh satu menit bagi Laras untuk mengumpulkan keberanian agar bisa kembali mendominasi bibir Randi.
Hingga keduanya sama-sama tersesat pada lubang yang bisa menganga lebar kapanpun, tanpa tahu di mana jalan keluarnya berada.
Malam itu berakhir pada pukul empat pagi, diakhiri dengan kecupan manis di kening Laras. Lalu kemudian, bayang itu menjadi hitam. Hitam seolah berada di batas kehidupan antara hidup dan mati. Gelap, sampai ia tak bisa melihat apa-apa. Meraba di sekitar, namun yang ia pegang hanya udara kosong tak berbentuk.
"Aku di mana?!" tanyanya dengan panik. Sebisa mungkin Laras berlari sekuat tenaga agar keluar dari tempat gelap itu. Namun, tidak bisa. Sampai akhirnya ia lelah sendiri. Duduk bersimpuh sembari menangis tersedu-sedu.
"Aku mau pulang!!!"
"Nggak!! Itu bohong!!" Laras berteriak kuat. Sangat kuat sampai akhirnya ia bisa menjangkau dunia.
"HAH?!"
"Kamu kenapa?" Randi bertanya dengan panik sesaat setelah ia membuka pintu. Mendekap tubuh Laras sebab setelah berteriak, perempuan itu menangis dengan keras tanpa sebab dan alasan yang jelas.
"Kamu kenapa?" Pertanyaan Randi hanya dibalas dengan isakan kuat.
"Gak papa, nangis aja sepuas kamu. Tapi, habis itu janji cerita sama aku, ya?"
Tidak ada yang bisa Randi lakukan selain mengelus punggung Laras yang bergetar hebat.