Bola mata cokelat terang milik Amalia Hendrawan melirik kiri dan kanan mengikuti langkah-langkah kaki orang-orang yang lewat di depan nya.
Sesekali gadis berambut ikal panjang yang diikat tinggi di puncak kepalanya itu menoleh ekstrim ke arah lift yang berdenting di belakang deretan kursi tunggu lobi sebuah Rumah Sakit besar di ibu kota.
Untung saja ia memakai masker yang menutupi sebagian wajahnya sehingga tidak ada yang akan mengenali dirinya.
Gadis itu menarik napas dalam hingga dadanya yang berukuran di atas rata-rata membumbung lalu kembali seperti semula saat napas itu dilepas.
Untuk kesekian kalinya ia kembali melirik arloji perak yang melingkar di lengan nya.
Sudah satu jam lebih ia menunggu ketidakpastian seperti ini. Setelah kembali menarik napas dan membuang nya, ia pun memutuskan untuk pergi saja.
"Lia!"
Langkah yang baru saja diayunkan gadis itu terhenti saat sebuah panggilan terdengar.
Sepersekian detik Amalia terpaku sebelum akhirnya ia menoleh ke arah datang nya suara.
Jantung gadis itu bergemuruh kencang saat di kejauhan seorang pria berkemeja biru langit tampak melangkah lebar sambil menyungging senyum yang mampu membius semua wanita yang melihatnya.
Otot-otot pria itu tampak tercetak dibalik untai benang yang tak mampu menyembunyikan pahatan sang pencipta itu.
"Sorry ...! Kelamaan, ya?" tanya pria itu memperlihatkan wajah bersalahnya.
Amalia membuang napas pelan lalu membingkai senyum. "Enggak, kok!" ucapnya meski hatinya mengatakan, Ya! Loe telat nya kebangetan!
Deretan gigi putih pria itu pun dipamerkan saat senyum sang pria makin sumringah sambil tangan besar pria itu menarik jemari dingin milik Amalia.
Amalia.
Gadis itu pasrah saja.
Meski tubuhnya panas-dingin.
Jantungnya bergemuruh laksana drum band saat peringatan hari kemerdekaan.
Kaki nya tetap melangkah terseret menyeimbangkan langkah panjang pria yang menarik lengan nya.
Pria sempurna yang menjadi incaran para gadis.
Pria yang sekarang membukakan pintu mobil dan menutup nya saat Amalia sudah duduk manis di kursi penumpang.
Pria yang aroma tubuhnya menyerang indra penciuman Amalia saat ia duduk siap memegang kendali kendaraan yang akan membawa mereka.
"Kita berangkat?" tanya pria itu sambil mengedipkan sebelah mata.
Amalia hanya bisa mengangguk. Menatap deretan kendaraan di pelataran parkir basement Rumah Sakit itu.
Di benak gadis itu, beribu pertanyaan masih menunggu untuk diungkap. Namun tak satupun kata yang keluar dari bibir nya.