Chereads / The Loneliest 52 / Chapter 2 - 1. Leni

Chapter 2 - 1. Leni

Dia baru saja putus dari kekasihnya, sudah yang keberapa? Tujuh? Delapan? Atau sembilan? Bukan berarti Leni wanita tidak berperasaan. Nyatanya tidak begitu.

Yang ingin Leni cari adalah kebahagiaan. Namun, setelah berpacaran berkali-kali dia masih merasa hampa. Apakah dia akan berakhir seperti paus kesepian didasar laut?

Rasa hampa semakin bertambah saat dia kembali berkencaan. Seperti saat ini, dihadapannya seorang pria tampan, memakan seafood yang begitu menggoda.

"Mari makan." Itulah kata pertama yang Leni dengar disepanjang tiga piluh menit berkencan.

"Saya alergi udang." Suara Leni-pun baru terdengar.

"Mau saya pesanin yang lain?"

"Jus alpukat aja." Malam membosankan lainnya, Leni jalani sepenuh hati.

Bahkan setelah makanan yang ada dihadapannya habis, pria ini tetap saja memandangnya dalam diam.

Tentu saja sebelum sebuah kalimat pendek yang sangat mengejutkan Leni.

"Jadi kapan kita rembukan keluarga?" Satu kalimat yang ada di pikiran Leni saat itu juga. Pria ini gila. Mereka sudah jelas tidak cocok satu sama lain.

"Maaf?" Leni ingin memastikan pendengarannya yang terkadang bermasalah.

"Saya berencana datang kerumah Dek Leni bersama orang tua saya dalam minggu ini."

"Saya masih tidak yakin tentang hal ini, Mas Robi."

"Hal apa yang akan membuat kamu yakin? Setahu saya kita sudah cukup berumur dan matang dalam segi finansial dan emosional. Lagipula, saya sudah membuktikan keseriusan saya dengan berniat datang bersama orang tua." Leni terpaku, yang pria ini katakan benar. Namun, ada yang salah.

"Mas sendiri yakin siap hidup dengan wanita yang bahkan tidak mas kenali. Kita menikah untuk seumur hidup, Mas." Mereka terlampau tenang, bahkan sesekali menyeruput minuman yang dipesan.

"Saya tidak pernah seyakin ini sebelumnya." Leni terdiam, meyakinkan diri bahwa pemikirannya akan salah. "Jika kamu takut saya akan mengkhianati pernikahan yang akan kita jalani. Tenang saja, saya pria yang memegang ucapan saya." Pria ini tegas, itu yang dipikiran Leni.

"Apa ada hal lain yang harus saya ketahui sebelum menyetujui hal ini?"

"Tentu saja. Tetapi setelah Dek Leni menyetujui lamaran saya." Dan tidak mau kalah, sambungan kata sebelumnya tercatat.

"Saya orang yang ambisius dan harus memiliki keterbukaan meskipun hal kecil apapun."

"Saya bisa mengikuti. Saya juga orang yang tidak sabaran menunggu sebuah jawaban," Leni memalingkan wajahnya, menatap orang yang memesan makanan, "dan lebih senang saat berbicara kita saling melakukan kontak mata." Leni kembali mengalihkan pandangannya pada Robi. Pria ini tampan, mapan, dan waras.

"Beri saya dua hari. Setelah itu, kapanpun Mas Robi bisa datang. Jika saya setuju."

"Baik. Pembicaraan kita sudah selesai, makan malam kita juga sudah selesai. Saya antar kamu pulang."

"Tidak perlu, Mas. Saya bisa naik gojek."

"Saya yang jemput kamu." Tidak bisa dibantah. Leni mengaitkan tas-nya dipundak dan memberi isyarat pada Robi.

***

Leni memang hanya seorang perawat biasa di sebuah puskesmas. Jam kerja yang termasuk longgar dan banyak waktu luang. Bisa dikategorikan Leni bosan dengam rutinitasnya.

"Pasien Hana sudah diinjeksi antibiotik-nya?"

"Sudah Mba." Leni kembali memeriksa data pasien lain yang harus di berikan tindakan. "Mba, ada kerjaan lain?" Leni melirik kasa yang bertumpuk di mejanya, lalu menyodorkan pada anak magang.

"Lipat kasa, ya?"

"Iya, Mba." Banyak orang awam yang merasa menjadi tenaga kesehatan itu enak dan bergaji tinggi. Padahal di kehidupan nyata, gaji para tenaga kesehatan sangat rendah dan sering tidak sampai di tangan. Padahal, pekerjaan mereka menyelamatkan nyawa seseorang.

"Mba, administrasinya disini?" Seorang pria paruh baya tersenyum tipis.

"Iya, Pak. Tunggu sebentar, ya. Atas nama siapa?"

"Renaldo, Mba." Leni mengecek perawatan apa saja yang diterima pasien lalu menjelaskan obat dan biaya yang harus dibayarkan.

"Mba, lulusan tahun berapa?" Leni menoleh pada gadis magang disampingnya.

"Lupa saya tahun berapa. Kayaknya tahun 2016."

"Sudah lama ya, Mba." Leni tersenyum tipis. Leni paham menjadi anak magang tidak mudah. Banyak target keperawatan dan kebidanan yang harus diselesaikan. Belum lagi pekerjaan di lapangan dituntut harus bisa dan benar.

"Kamu jangan takut kalau mau minta tindakan, saya nggak akan larang kok. Yang penting kamu bilang sudah bisa atau belumnya. Nanti saya ajari dulu." Gadis magang itu tersenyum lebar. Teringat lagi dulu saat dia masih menjadi anak magang, selain ASKEB dan tanggung jawab pekerjaan, ada satu lagi hal yang membuat para anak magang stres. Senioritas dilapangan kerja. Para anak magang akan ditindas seenaknya, diberikan tugas yang sebenarnya tidak harus dilakukan.

"Saya kalau sama Mbak yang lain takut. Galak." Sembari tertawa anak magang itu menutup hasil karya kasanya dan menyerahkannya pada Leni.

"Langsung di steril aja." Anak magang itu lnagsung saja masuk keruang steril.

Sepeninggal anak magang, dia bekerja sendirian. Leni memang bekerja di IGD, dan hanya sedikit perawat yang magang di puskesmas, lebih banyak bidan dan mereka sudah ada bagian tersendiri. Lagipula, jam kerjanya hanya tinggal satu jam lagi.

Dan ini adalah hari kedua yang Leni katakan pada Robi. Bahkan, Leni bisa melihat mobil hitam Robi di parkiran.

Sebuah pesan masuk, tentu saja dari Robi. Mengatakan dia sudah ada diparkiran dan menunggunya. Jam bahkan berencana mempercepat pertemuan mereka. Membuat Leni sedikit merasa tidak nyaman, dan ragu akan menjawab pertanyaan yang harusnya sudah bisa dia jawab.

"Sudah lama?" Leni meletakkan tas-nya, dan duduk sedikit gelisah.

"Saya hargai jawaban kamu, apapun nanti. Kita makan siang dulu."

***

"Saya setuju, Mas." Robi tersenyum tipis mendengar jawaban Leni, lalu menyendokkan sebuah sayur ke mangkuk Leni.

"Kapan saya boleh kerumah?"

"Kapan Mas siap?" Mereka saling bertatapan, entah apa yang Robi dan Leni pikirkan.

"Kapanpun. Mas siap untuk kamu." Leni merasa ragu dengan pilihannya. Namun, tidak ada pilihan lain selain Robi dihadapannya.

"Kalau begitu, bisa sore ini Mas datang?"

"Bisa."

"Jika ditanya sejak kapan kita kenal?"

"Satu minggu ini. Mas tidak akan berbohong." Poin satu untuk Robi yang berniat jujur pada orang tuanya.

"Mas--"

"Kita harus memulai dengan kejujuran Dek." Baiklah, Leni merasakan hatinya tergerak. mendegar pengakuan tulus dari Robi.

"Tidak perlu bawa banyak hal, Mas."

"Mas tidak akan membawa banyak. Tetapi membawa bukti, kamu akan tinggal bersama Mas, dirumah kita dan hidup dengan benar." Leni sedikit merasa aneh, hidup dengan benar versi mana yang harus dia percaya?

"Hidup dengan benar seperti apa?"

"Kejujuran." Sekali lagi Leni terpaku, apakah selama ini dia hidup dalam mimpinya? "Mas mau semua yang kita lewati nanti penuh dengan kejujuran."

"Iya, Mas." Leni mengelap bibirnya dengan tisu, lalu menyeruput lemon tea kesukaannya.

"Habis saya antar, saya langsung pulang, ya? Harus bicara sama orang tua dulu."

"Iya, Mas. Saya juga."

****