"Nama saya Robi. Tante, Om saya datang kesini berniat untuk melamar Leni untuk menjadi istri saya." Leni melirik Bunda dan Ayahnya. Agak was-was karena lamaran Robi yang terlalu mendadak.
"Sudah berapa lama Nak Robi mengenal anak saya?"
"Baru satu minggu ini, Om." Leni menahan napasnya, melihat orang tuanya yang terlihat kebingungan.
"Satu minggu?" Kali ini Bunda Leni yang bersuara, seperti tak percaya apa yang dia dengar.
"Iya, Tante. Sebenarnya saya sudah mengenal Leni lebih dulu satu tahun ini. Tetapi, Leni baru mengenal saya satu minggu ini." Leni menatap Robi tidak percaya, mengenalnya satu tahun?
"Kenapa Nak Robi tertarik pada anak saya?"
"Karena itu Leni, Om. Dia memang tidak pandai bergaul, tetapi saya tahu dia anak yang baik."
"Dia wanita keras kepala, Nak Robi." Robi tersenyum tipis, lalu mengangguk.
"Maaf sebelumnya, saya juga baru saja diberitahu Robi akan melamar Leni. Sebenarnya saya tidak mempersalahkan hal itu. Tetapi, misalpun Leni menerima lamaran ini dan anda sebagai orang tua merestui, saya menyarankan agar pernikahan diberi waktu untuk perkenalan terlebuh dahulu, entah satu atau dua bulan. Tidak perlu terburu-buru." Kali ini Ibu Robi yang berbicara.
"Saya setuju," Bunda Leni menyahuti dengan ramah, "mereka butuh adaptasi untuk mengenal secara personal."
"Ayah?" Leni berbisik pada Ayahnya, ragu dan takut jika pilihannya saat ini salah.
"Leni, Ayah tidak akan mempermasalahkan hal ini. Kamu sudah dewasa dan pasti tahu apa baik buruknya. Sekarang Ayah hanya mempertimbangkan waktu yang tepat untuk pernikahanmu saja."
"Yah, Leni mau Ayah juga menilai apakah pilihan Leni benar atau salah. Leni sudah maju sampai sekarang itu berarti Leni merasa benar." Robi otomatis melirik Leni dengan senyuman tipis di bibirnya.
"Nak Leni, bisa Ibu pastikan Robi anak yang bertanggung jawab atas semua tindakan."
"Leni juga bisa melihat itu, Bu."
"Sudah saya pikirkan tentang hal ini. Saya menyetujui pernikahan ini dengan syarat buat diri kalian benar-benar saling mengenal."
"Baik, Om."
***
Leni menyesap teh panasnya sembari melirik Robi yang menerawang jauh ke langit malam. Mereka sedang berada di taman belakang rumahnya, berdua.
Entah bagaimana cara Leni harus mengenal Robi lebih baik. Tetapi, Robi bukan pilihan yang buruk untuk menghabiskan usia bersama.
"Apa rencana Mas?" Robi menoleh pada Leni, menunjuk kearah bulan.
"Mas tidak ada rencana. Karena Mas memang sudah menyukai kamu sejak lama. Tentu saja Mas akan berusaha mengenal kamu lebih baik lagi. Tetapi, Mas juga mau kamu mengenal Mas juga." Suara binatang malam di desa Magetan masih sering terdengar, karena wilayahnya yang asri dan berudara sejuk.
"Saya pasti ingin mengenal calon suami saya sendiri."
"Mas sudah mempersiapkan rumah yang akan kita tempati bersama. Mas tidak mau kamu ataupun Mas meeasa terbebani tinggal bersama mertua."
"Leni paham."
"Selain itu, jika sudah menikah apa Dek Leni masih mau bekerja?" Leni menatap Robi, merasa was-was jika saja pria ini melarangnya menjadi wanita yang independent.
"Kalau Mas mengijinkan, Leni masih mau bekerja "
"Mas tidak akan melarang kamu bekerja Leni. Semisal kamu sudah tidak mau bekerja Mas juga tidak masalah."
"Terimakasih, Mas."
"Jangan takut kamu akan merasa menjadi tukang bersih-bersih gratis dirumah, ya. Mas juga tidak mau kamu merasa seperti itu. Kita bisa mengerjakannya bersama, ataupun menyewa seorang ART."
"Leni bisa, Mas. Leni akan tersanjung kalau Mas mau membantu Leni mengurus rumah."
"Tentu saja." Leni merasa lega tentang hal kedepan yang mereka bicarakan.
"Soal rumah, Mas belum mengisi perabotannya. Kalau Dek Leni mau, kamu bisa memilih warna dan mau seperti apa. Kita bisa pergi bersama, sembari saling mengenal."
"Tentu saja Leni mau, Mas. Kapan?"
"Mas bisa menyesuaikan waktu."
"Nanti saya cek jadwal masuk dulu, ya. Saya kabari lagi waktu senggangnya."
"Iya, Dek."
***
Leni duduk dihadapan orang tuanya dengan gelisah, merasa diperhatikan gerak geriknya.
"Jangan gelisah, Bunda tidak akan bertanya macam-macam." Leni menegakkan punggungnya, bersipa mendengarkan ucapan Bundanya.
"Leni, Ayah tidak akan menyudutkan kamu. Tetapi, Ayah hanya ingin memastikan kamu bahagia dengan pilihanmu." Leni-pun merasa tidak yakin dengan pilihannya. Masih terasa samar dan tidak terasa.
Hidupnya masih sama sepertia biasa, kesepian. Dia memang memiliki orang tua utuh yang menyayanginya. Namun, entahlah Leni juga merasakan kekosongan dalam hatinya.
"Leni juga ingin memastikan pilihan Leni, Yah." Terhitung beberapa kali Leni mwnjalin hubungan serius dan ingin menuju kejenjang pernikahan, namun kandas begitu saja.
"Bunda tidak mau, Nak Robi menjadi ajang pengalihan Devan. Dia anak yang baik." Leni terheran-heran, bagaimana bisa Bundanya baru saja bertemu Robi dan langsung mengatakan pria itu baik.
"Bunda baru bertemu sekali." Tegur Leni.
"Devan baik tetapi dia tidak cukup baik untukmu, sedangkan Robi tulus." Leni juga bisa merasakan jika Robi adalah pria tulus. Entah bagaimana caranya, tetapi tatapan pria itu berbeda.
"Ayah terima saja jika Robi meminangmu. Tetapi yang terpenting kebahagiaanmu." Leni merasa terharu tentu saja. Tetapi masih ada yang mengganjal di hatinya tentang sikap kedua orang tuannya yang terlampau tenang.
"Lebih baik kamu tidur. Cukup istirahat, kamu butuh tenaga untuk mengenal Robi."
"Baik, Bunda."
Leni menutup pintu kamarnya, lalu mengecek jadwal shiftnya dalam minggu ini. Dan benar saja dia memiliki waktu longgar hanya pada hari sabtu. Segera Leni mengabari Robi dan dibalas Robi dengan kata 'Sampai jumpa hari sabtu' kenapa harus selama itu untuk bertemu lagi?
Leni merasa bukankah mereka harus sering bertemu untuk mengenal satu sama lain. Tetaoi mengapa tiga hari menuju hari sabtu mereka tidak bertemu?
***
Disisi lain Robi yang baru saja mematukan ponselnya tersenyum tipis, mengusap layar gelapnya dua kali lalu merebahkan tubuhnya.
Jantungnya berdegup kencang saat ponselnya berbunyi, dengan nafa khusus untuk Leni. Robi harus memahami jadwal kerja Leni yang cukup menyita energi. Wanita itu juga harus beristirahat dan sabtu nanti berkeliling mencari perbotan yang cocok untuk rumah mereka.
Mengingat kata rumah mereka, membuat Robi kembali diserang penyakit romansa remaja kembali. Senyumnya tidak bisa pudar dan bahkan jantungnya kembali berdegup tidak karuan.
Sebut saja Robi seperti Remaja labil, dan memang seperti itu keadaannya. Ingin sekali Robi mempercepat waktu dan membuat mereka bertemu lebih cepat dan akhirnya menikah. Namun, Robi harus bersabar agar Leni tidak mengira dirinya seperti pria gila yang hanya memikirkan status.
"Seandainya kamu sadar kapan kita pernah bertemu, Leni." Robi kembali tersenyum saat mengingat kali pertama pertemuan mereka. Meskipun tidak manis dan di waktu yang tidak tepat. Tetapi, itu sangat berkesan untuk Robi.
Membuat Robi mencari lebih banyak tentang Leni. Berusaha mendekati Leni dan berusaha terlihat normal dihadapan Leni.
Suatu saat nanti, Robi akan memastikan Lenj mengingat dirinya.