Leni memakan cemilan yang dibawakan Robi untuknya, sesekali menawarkan pada Robi. Tidak ada cara lain untuk berbagi kehangatan selain menempelkan diri. Karena handuk yang diberikan Robi sudah basah untuk mengelap Robi.
"Harusnya handuk itu kamu oakai sendiri saja." Leni mendelik, menatap Robi yang terlihat diam kaku disampingnya.
"Saya tidak egois. Masa Mas basah kuyup, saya kehangatan." Robi melirik wajah kesal Leni, sedikit tersenyum simpul karena perhatian kecil dari wanita itu.
"Kenapa kamu mau menerima saya, Dek?" Leni terdiam cukup lama, memikirkan kata yang tepat untuk dikeluarkan.
"Apa ada alasan untuk menolak Mas?" Robi masih terlihat tidak puas dengan jawaban tersebut. Membuat tubuhnya berhadapan dengan Leni.
"Kalaupun ada itu pasti dari versimu. Mas sendiri tidak tahu apa yang membuat Dek Leni rela menerima Mas."
"Saya mau membuka lembaran baru. Menutup luka yang memang seharusnya sudah sembuh. Dan Leni harap Mas penawar yang benar."
"Mas juga berharap kamu kepingan puzzle yang harus Mas lengkapi."
Leni tersenyum lembut, dan baru kali ini Robi melihat senyum tulus dari wanita itu, senyum itupun menular padanya.
Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, dan Leni sudah mengantuk. Untungnya Leni sudah memberitahu kedua orangtuannya jika mereka terjebak hujan dirumah.
"Dek, kamu tidak lapar?" Leni hampir saja menjatuhkan rahangnya, mendengar penuturan Robi. Mereka baru saja makan pukul empat sore tadi, lalu memakan cemilan yang dibawa Robi.
"Masih lapar, Mas?"
"Mas emang cepat lapar, Dek." Leni menepuk dahinya, merasa heran.
"Leni pesanin di Grab, ya?"
"Iya, Dek. Mas tidak punya aplikasinya "
Setelah memesan dan menunggu kurang lebih empat puluh lima menit, akhirnya makanan yang mereka pesan. Meskipun agak basah karena Bapak Grab-nya menggunakan motor.
"Makasi, Pak. Kembaliannya ambil saja." Leni terbirik masuk kedalam rumah, menenteng makanan dikanan kiri tangannya. Melihat Robi yang sudah tiduran diatas handuk. "Mas ayo makan."
"Kamu basah?"
"Nggak kok Mas. Tadi Bapak Grabnya yang masuk ke teras rumah." Robi langsung membuka pesanannya dan benar saja liurnya hampir menetes karena melihat ayam bakat dengan nasi dan lalapan sebagai pelengkapnya.
"Selamat makan."
***
Benar saja mereka tertidur setelah makan larut malam, hujan yang tadi malan tidak kunjung reda membuat Leni mengantuk dan langsung saja tertidur di samping Robi.
Tentu saja mereka tidak melakukan hal aneh, hanya tertidur berdampingan. Langsung saja Leni membangunkan Robi agar mereka segera pulang kerumah. Semalaman tidur dilantai hanya beralaskan handuk menbuat tubuhnya pegal-pegal.
"Mas, ayo pulang." Robi mengerjabkan matanya, menoleh ke arah Leni dan sedikit terkejut. "Kenapa, Mas?" Robi langsung saja teringat dan mendesah lega.
"Mas baru kali ini bangun tidur ada bidadari di samping, Mas." Langsung saja leni memukul perut Robi, membuat gombalan dipagi hari.
"Masih pagi." Langsung saja Robi duduk, mengumpulkan nyawanya yang masih tinggal di alam mimpi.
"Bentar, ya. Darah rendah soalnya." Leni mengelus tengkuk Robi, namun langsung saja di tepis oleh Robi.
"Loh, kenapa Mas?"
"Belum boleh ya, Dek." Leni melongo, tidak mengerti maksud dari ucapan Robi.
"Katanya darah rendah. Kalau dipijat bisa mendingan."
"Tambah pusing, Dek."
"Loh, kok aneh Mas?" Robi langsung saja berdiri dan membantu Leni untuk segera berdiri dan membereskan barang-barangnya.
***
"Tidurnya sama Robi, Nak?" Leni langsung saja mengelak.
"Cuma tidur biasa kok Bun, nggak aneh-aneh." Bunda Leni tersenyum tipis, lalu menunjukkan layar ponselnya. Terdapat foto saat dia tertidur pulas.
"Bunda tahu, tadi malam Robi video call Bunda waktu kamu tidur." Leni semakin melongo, ternyata dia sedang di tikung oleh Bundanya.
"Mas Robi, nggak bilang ke Leni."
"Sudah-sudah. Yang penting kamu pulang dengan selamat." Tentu saja Leni pulang dengan selamat. Jika tidak, pasti Ayahnya yang akan maju ke posisi depan.
"Leni mandi dulu, Bun."
Leni mengecek ponselnya yang sedikit lagi kehabisan daya, ada satu pesan dari Devan. Kalimat yang membuat lukanya kembali basah.
Sudah dua tahun ini tidak mendengar kabar dari pria itu. Tetapi setelah hukuman yang Devan terima, pria itu kembali datang. Entah seperti apa hidupnya mulai hari ini.
Katakanlah Leni terlalu berlebihan. Tetapi, banyak hal yang membuat Leni sangat ketakutan saat melihat pesan dari pria yang memiliki label mantan kekasihnya.
Tanpa terasa Leni menekan tombol hijau pada ponselnya, menghubungkan panggilan pada pria yang baru tiga puluh menit lalu berpisah dengannya.
"Iya, Dek?" Leni tergagap, tak bisa menjawab pertanyaan Robi di sebrang sana. "Ada apa?"
"Leni libur hari ini. Sore nanti Mas sibuk?" Itulah kata yang keluar dari bibirnya.
"Leni mau jalan kemana?"
"Ke Tawangmangu, Mas."
"Bawa jaket yang tebal. Terus bawa minyak kayu putih, takutnya kamu masuk angin."
"Iya, Mas." Leni tersenyum tipis, pria ini seperti pasir waktu, meskipun terlihat biasa saja. Tetapi, selalu menempatkan diri disituasi yang benar.
"Yasudah, sampai ketemu nanti sore."
"Ada yang mau Leni bicarakan." Leni segera menyambar, takut-takut pembicaraannya dipotong terlebih dahulu.
"Iya, Mas tunggu nanti, ya." Leni bergumam, lalu mematikan sambungan ponselnya.
Apakah dia yakin akan membicarakan Devan pada Robi secepat ini? Namun, Leni ingin banyak keterbukaan bersama calon masa depannya.
***
Leni merasakan pusing dikepalanya, melihat sekeliling kamarnya berwarna putih dan terasa sepi senyap. Entah dia sedang bermimpi atau bagaimana. Tetapi dia merasa sedang tidur di tempat tidurnya dan setelah itu dia lupa semuanya.
Pandangannya berputar, terasa seperti dunia hanya berotasi di sekelilingnya. Mencoba bangun dari tidurnya, lalu melihat ke sekeliling jendela.
Ada Robi disana. Pria itu selalu menemaninya.
Suaranya seakan tersendat, tak bisa dikeluarkan karena terasa kering dan pahit. Dan anehnya, Robi terlihat melamun dan hanya menatap lurus ke arah langit. Seakan, harapannya berada disana.
Ah, Leni ingat mereka akan bertemu. Tetapi ini masih siang, mereka akan bertemu pukul tiga sore. Robi pasti menunggu sore datang, ada setangkai bunga matahari di genggamannya. Pria itu sangat manis.
"Mas!!" Tentu saja Robi tidak mendengarnya. Jarak panggilnya cukup jauh, lagipula pria itu sedang melamun. Apakah pekerjaan kantor sedang banyak?
Leni meraih air putih di atas nakas, lalu menegaknya dengan cepat. Terlihat juga buah-buahan segar yang menggiurkan. Bundanya sangat paham, dia sangat membutuhkan buah segar untuk menjernihkan pikirannya.
Leni kembali teringat pesan dari Devan, ingin sekali Leni segera membicarakan hal ini pada Robi. Pesan itu memang singkat dan tidak terlalu berarti. Tetapi, itu cukup mengganggu karena keputusan Devan terakhir kali.
"Aku pasti menjaga diriku dengan baik." Seolah membalas pesan Devan, Leni terlalu takut untuk membalas pesan pria itu. Seolah, Devan akan menariknya kembali, meninggalkan Robi yang terlihat menyayanginya.
Tentu saha Leni tidak akan melakukan hal bodoh lainnya. Dia pasti akan mempertahankan keputusannya saat ini, apapun yang terjadi.
***