Leni memeriksa tempat tidur berwarna putih dihadapannya, sembari melirik Robi yang juga fokus melihat motif dari tempat tidurnya. Ingin sekali Leni bertanya, motif apa yang Robi sukai.
"Ada yang salah, Dek Leni?" Leni terkejut, lalu menegakkan punggungnya.
"Mas suka motif dan warna apa?" Robi bergumam sebentar sembari memegang dagunya.
"Mas juga bingung, Mas tidak ada patokan motif, tetapi mas lebih suka warna yang netral."
"Leni juga. Bagaimana kita sepakat isi perabotan rumah diisi warna monokrom. Seperti hitam, putih, dan abu?"
"Boleh saja. Mas tidak terlalu pemilih soal ini. Dirumah Mas Ibu suka warna pelangi." Leni menahan bibirnya tertarik kesisi kanan dan kiri.
"Saya suka yang ini, tapi agak ragu sama yang ini."
"Hmmm...menurut saya yang ini lebih elegan, Dek." Robi menilik salah satu tempat tidur dengan seksama sembari memperlihatkan sample cover bed pada Leni.
"Boleh juga, Mas." Leni memanggil marketing tempat tidur lalu menunjukknya, "Pesan yang ini ya, Mas."
"Kita lihat-lihat sofa?" Tanya Robi.
"Sofanya warna putih boleh? biar nanti mau saya kasi alas warna abu. Supaya makin elegan rumah kita." Leni merasakan getaran pada hatinya, benarkah mengucapkan rumah kita saat ini?
"Tentu saja. Tapi Mas mau lemarinya warna hitam pekat ya. Tapi jangan yang terbuat dari kayu full. Mas mau ada kacanya sedikit biar kelihatan modern."
"Mahal loh, Mas?"
"Investasi, Dek. Mending Mas beli mahal sekalian tapi tahan lama." Leni menganggukkan kepalanya, berjalan mengikuti langkah Robi yang terkesan lambat. "Kalau capek bilang Mas. Kita istirahat sambil makan siang."
"Iya, Mas. Leni mau makan makanan korea ya."
"Sekarang?"
"Habis liat sofa saja."
***
"Kamu suka makanan yang kayak gini?" Robi memandang aneh pada Kimchi, bulgogi, dan ramen dihadapannya.
"Suka banget, Mas."
"Ini apa? kok bau?" Robi mendorong sayuran bau yang baru saja dia cium ke arah Leni.
"Ini kimchi, enak banget loh. Apalagi dicampur mie kuah yang panas."
"Mas nggak yakin mau makan itu."
"Leni makan, ya?" Robi menganggukkan kepalanya cepat. Lalu menyeruput ramen miliknya. Namun Robi sedang tidak beruntung. Pria itu tersedak kuah ramen gang lumayan pedas. "Pelan-pelan, Mas. Leni sudah punya sendiri." Robi menyeruput jus naga-nya, mendesah lega karena rasa panas pada tenggorokan dan hidungnya sudah berkurang.
"Kayaknya lidah Mas masih belum terbiasa makan makanan kayak gini." Leni terkekeh geli, melihat rona kemerahan pada wajah kuning langsat Robi.
"Nanti Mas pasti terbiasa. Leni sering masak sama makan yang seperti ini." Mau tidak mau Robi kembali menegak jus-nya, membasahi tenggorokan yang semakin terasa pedas.
"Jangan terlalu sering juga. Mas bisa juga masak masakan jawa." Leni merasa perutnya semakin tergelitik geli mendengar penuturan Robi.
"Leni tidak mungkin tiap hari masak seperti ini, Mas." Leni bisa melihat gurat lega diwajah Robi, membuat pria itu terlihat konyol saat ini.
"Habis ini kita cari apa lagi?"
"Lihat perabotan dapur, ya?"
"Oh iya, Mas hampir lupa. Kita beli yang lengkap Dek, Mas orangnya cepat lapar."
"Iya Mas Robi." Robi menghentikan gerakannya untuk menyeruput kuah ramen kembali. Merasa tersipu saat Leni memnaggilnya seperti itu.
"Mas senang kamu memanggil seperti itu." Leni menatap Robi lekat lalu tersenyum tipis.
"Mulai sekarang Leni panggil seperti itu saja."
"Terimakasih." Robi kembali bersemangat memakan ramennya dan berusaha keras untuk menyukai makanan kesukaan Leni. "Mas boleh coba sayur Kunci itu?" Leni terperangah, melihat arah tunjukan Robi pada Kimchi dihadapannya.
"Kimchi mas." Leni lalu menyumpit Kimchi dan memasukkannya pada ramen milik Robi. "Lebih enak kalau dimakan begitu. Coba di seruput."
"Jadi tidak bau, ya?" Leni mengangguk penuh semangat, melihat Robi yang sudah memasukkan satu sendok kuah ramen kedalam mulutnya.
"Bagaimana?"
"Agak aneh, tapi kalau sama kuah tidak berbau. Tapi kok asam Dek?"
"Kimchi itu di fermentasi, Mas." Robi menganggukkan kepalanya paham. Pantas saja jika rasanya asam dan asin.
"Tapi ada pedasnya."
"Dikasi bubuk cabe, Mas."
"Boleh juga kalau sama yang kuah-kuah."
"Dicampur nasi goreng enak loh, Mas." Robi mendelik pada Leni, merasa aneh membayangkan rasa asin, asam, dan rasa nasi goreng yang khas.
"Kayaknya aneh." Leni tersenyum tipis, lalu melahap bulgogi.
"Nanti Leni masakin nasi goreng kimchi untuk makan siang di kantor, mau?"
"Mau!" Robi secepat kilat menjawab pertanyaan Leni. "Kapan?"
"Lusa? Mungkin, saya lihat jadwal nanti."
"Mas tunggu."
"Iya, Mas Robi."
***
Setelah seharian mencari perabotan rumah, akhirnya Robi mengajak Leni datang kerumah mereka. Rumah elegan berwarna abu dan putih khas sekali dengan sifat Robi.
Leni sedikit tercengang karena ternyata rumah ini sangat besar. Bahkan, perabotan yang seharian ini mereka beli mungkin hanya mengisi seperempat rumah saja.
"Sepertinya kita perlu berbelanja lagi." Seru Leni.
Robi mengangguk, sembari mengajak Leni mengelilingi rumah. Rumah ini berisikan satu ruang tamu, satu kamar utama, dan dua kamar untuk anak mereka, begitu ujar Robi. Selain itu, ada dapur yang seluas dua kamarnya dirumah, kamar mandi luar dan dalam, ruang laundry, ruang keluarga, dan taman belakang.
"Kenapa sangat luas, Mas?" Robi menoleh pada Leni, saat ini mereka dipemberhentian terakhir, yaitu taman.
"Mas juga bingung." Leni tidaj habis pikir dengan apa yang Robi ucapkan. Bagaimana dengan tagihan listrik, air, wifi dan hal lainnya.
"Biayanya pasti tidak sedikit."
"Ini hanya cara Mas menyenangkan diri, Mas bekerja keras untuk diri sendiri dan keluarga. Untuk apa Mas menyimpan uang terlaku banyak."
"Bisa untuk anak-anak, Mas."
"Mas mau mengajarkan anak-anak Mas mandiri. Apapun yang mereka inginkan harus diperjuangkan. Meskipun, ada Mas sebagai orang tuanya. Mas tidak mau saat kita tidak ada mereka kesusahan dan tidak tahu cara bertahan hidup."
"Meskipun diberi warisan akan tetap habis." Lanjut Leni.
"Benar."
"Leni senang ada yang satu pemikiran dengan Leni."
"Tentu saja kita harus berpikir matang untung keluarga kita."
"Kita menjalani ini berdua. Tentu saja kita harus melakukan yang terbaik. Mas dan Leni."
Robi tersenyum tipis, ingin sekali Robi menggenggam jemari Leni. Namun, dia harus memikirkan jika mereka tidak boleh terlalu terburu-buru. Masih banyak moment yang akan mereka habiskan bersama.
"Selain itu Mas mau kamu yakin dan percaya pada Mas. Tidak dengan paksaan." Leni mengangguk paham, memang sulit baginya untuk mempercayai seseorang. Apalagi dia baru saja mengalami hal yang sulit.
"Leni pasti berusaha."
Tanpa disadari hujan turun dan semakin lama semakin lebat. Membuat Robi mengajak Leni masuk kedalam rumah yang masih kosong.
"Maaf, mas belu beli apa-apa disini. Cuma baru pasang listrik saja."
"Nggak apa-apa, Mas." Leni menepuk Rok-nya yang sedkit basah.
"Mau pulang sekarang? Kitakan pakai mobil."
"Nanti saja Mas. Leni tidak masalah."
"Baiklah. Tunggu sebentar, ya." Leni mengangguk lalu duduk di kursi tunggal di pojokan.
Cukup lama Robi menghilang, membuat Leni sedikit gelisah karena ditinggal sendirian. Dia beranjak dari duduknya, mencoba menyusul Robi.
"Mas!!" Robi menoleh lalu segera berlari ke arah Leni.
"Kok disini? Ini Mas ambilin selimut sama cemilan. Ini sisa Mas sih."
"Makasi, Mas." Leni mengambil handuk lalu mengusap rambut Robi dengan lembut.
"Loh, ini buat kamu selimutan. Lagi dingin sekarang."
"Mas basah, nanti kita masuk ke dalam saja. Biar hangat."
"Ayo..."
***