Anna membuka pintu rumahnya, sangat gelap. Baru saja ia menginjakkan selangkah kaki ke dalam, lampu ruang tamu tiba-tiba menyala dan menampakkan sosok Ibunya.
"Mana makanan buat Mama?" tanya Anita tersenyum tipis.
Setelah mengunci pintu, Anna memutar bola matanya malas lalu berjalan ke arah meja ruang tamu dan meletakkan plastik merah. Anita duduk mengambil plastik itu sambil mengendus isinya.
"Wangi. Pasti enak," ujar Anita dengan wajah sumringah.
"Aku cuma minta Altan beliin martabak," ucap Anna datar.
"Kan, apa Mama bilang! Dia itu baik. Kamu harus minta biar dikasih," ucap Anita dengan senyum cerah di wajahnya sambil membuka kotak berisi martabak manis itu.
"Aku punya harga diri, Ma," tegas Anna menatap kesal Ibunya yang sedang menyantap martabak manis itu.
"Kamu kalo dibilangin kok ga nurut, sih!" kesal Anita dengan mulut penuh martabak.
"Aku cape." Anna pergi ke kamarnya meninggalkan Anita.
Brak!
Anna bersandar pada pintu sambil memejamkan matanya dan mengatur napasnya perlahan. Ingin rasanya ia mengumpat pada Ibunya yang rakus akan harta itu. Tapi, ia tidak cukup berani dan hanya mengumpat dalam hati.
Anna melihat jam dinding di kamarnya. Pukul 22:30 WIB.
"Udah malem banget, aku gak mau mandi, ah," monolog Anna seraya menyimpan tas selempangnya lalu berbaring di kasur mininya.
_____
Keesokan harinya. Pukul 06:00 WIB, Anna bergegas pergi ke rumah sakit untuk mengambil surat hasil tesnya. Ia sengaja pergi pagi agar tidak telat ke sekolah.
Sesampainya di depan Rumah Sakit Harapan Kita pada pukul 06:50 WIB, Anna menguatkan dirinya agar tetap semangat apapun hasilnya.
Gadis itu mulai melangkahkan kakinya memasuki Rumah Sakit. Langkahnya semakin pelan ketika sudah dekat dengan ruangan Dokter Nuri.
Tok ... tok ...
"Silakan masuk," sahut suara dari dalam.
Anna membuka pintu ruangan Dokter Nuri dengan pelan. Gadis itu disambut senyuman ramah dari sang Dokter.
"Ayo, Nak, silakan duduk."
Anna melangkah pelan. Ia duduk dihadapan Dokter Nuri dengan perasaan tak karuan. Ada gelisah, takut, semangat dan sedih.
"Tunggu sebentar, ya, saya sedang mencari berkas lain dulu," ucap Dokter Nuri yang sibuk dengan tumpukkan berkas dihadapannya.
"Iya, dok." Anna mengangguk dan tersenyum kikuk.
"Kemana laki-laki yang antar kamu kemarin?" tanya Dokter Nuri. Dokter itu masih sibuk dengan berkas-berkasnya.
"Di sekolah ...." Anna sengaja menggantung kalimatnya. Dokter Nuri berhenti dengan kesibukannya dan menatap Anna.
"Mungkin," lanjut Anna dengan tersenyum canggung.
"Ibumu?"
"Ah?" Wajah Anna panik tapi ia berusaha menutupinya dengan senyum kikuk.
"Kalau kamu mau ambil hasil tes itu, kenapa tidak ada seorang pun yang mendampingi kamu?" tanya Dokter Nuri penasaran.
"Karna saya masih sendiri, dok. Belum menikah," jawab Anna dengan tersenyum.
Doker Nuri tersenyum, " Bisa aja kamu."
"Tunggu disini, saya akan mengambil hasil tesnya dulu." Dokter Nuri bangun dari duduknya lalu keluar ruangan.
Anna sendirian, menunggu dengan gelisah dan keringat mulai bercucuran. Tangannya juga sudah sangat basah. Ia mengambil sapu tangan di ranselnya untuk menyeka keringat di tangannya.
10 menit kemudian, Dokter Nuri kembali ke ruangannya sambil membawa amplop putih. Ia duduk kembali di tempatnya lalu memberikan amplop itu pada Anna.
"Silakan di cek," ucap Dokter Nuri ramah.
Anna mengambil amplop itu dengan tangan sedikit gemetar. Ia sangat takut sekarang.
"Apapun hasilnya, jangan berkecil hati." Sokter Nuri tersenyum menyemangati.
Anna membuka amplop itu perlahan juga membuka lipatan kertas dengan sangat pelan. Matanya terpejam dan jantung yang berdetak sangat cepat.
Anna mengintip hasil dari tes kemarin.
POSITIF
Jleb. Dunianya kiamat. Air matanya berlinang tanpa permisi. Bagaimana jika Ibunya dan Altan tau? Seperti apa reaksi mereka? Sungguh, pikiran gadis itu sangat kalut.
"Nak Anna, walau positif, itu tidak benar-benar menyatakan bahwa kamu memang positif," ucap Dokter Nuri prihatin.
Anna menatap Dokter Nuri sendu, "Maksudnya, dok?"
"Akan ada tes lagi untuk memastikannya. Nanti, satu bulan lagi, kamu kembali untuk tes kedua," jelas Dokter Nuri. Anna hanya mengangguk pasrah. Ia tidak mengerti tapi ia akan melakukan tesnya lagi.
Anna melipat kembali hasil tes itu dan menyimpannya di ranselnya. Ia juga menghapus bekas linangan air matanya.
"Baik, dok, kalau begitu, saya pamit," ucap Anna lalu bangkit dari duduknya.
"Iya, silakan," sahut Dojer Nuri senyum ramah.
Anna keluar dari ruangan itu. Ia buru-buru bergegas ke sekolahnya agar tidak terlambat.
_____
Untung saja Anna tidak terlambat. 10 menit lagi kelas dimulai. Ingin rasanya ia menemui Altan dan memberitahu hasil tesnya. Ingin sekali ia mengumpat dan menangis sejadi-jadinya dihadapan lelaki itu.
Bel masuk kelas berbunyi. Bu Jani; Guru Seni sekaligus Wali Kelas 2-4 masuk ke kelas 2-4.
"Selamat pagi, Anak-anak," sapa Bu Jani dengan senyum ramah.
"Pagi, Bu," sahut murid-murid kelas 2-4 serempak.
"Ibu ingin memberitahukan sesuatu pada kalian," ucap Bu Jani sambil tersenyum.
"Wah, apa tuh, Bu? Kepo deh," sahut Juno.
"Jangan kaget, ya, kalian," canda Bu Jani.
"Apa emangnya, Bu?" tanya Pika kepo.
"Ujian seni nanti, kita praktek, ya. Jadi Ibu gak bakal buat soal, tapi kalian praktek," jawab Bu Jani dengan senyum.
"Ah, gak seru! Ibu mah gitu," kekuh Juno.
"Huuuuu," sorak beberapa murid di kelas 2-4.
"Prakteknya apa, Bu? Nyanyi atau nari?" tanya Pika teriak, karna jika pelan, suaranya akan tenggelam oleh sorakan murid lainnya.
"Sssttt ... sssttt ... diam dulu!" titah Bu Jani dan seketika kelas hening.
"Prakteknya boleh nyanyi ataupun menari. Boleh keduanya dan Ibu akan memberi nilai plus," jelas Bu Jani.
"Bu, saya prakteknya napas aja boleh gak?" tanya Fabian sambil mengangkat tangan.
"Semua orang juga bisa kali!" sahut Yoga.
"Napas aja gak boleh, tapi kalau nahan napas saat teman kamu nyanyi gak apa-apa," jawab Bu Jani sambil mengedipkan sebelah matanya.
"Sadih amat, Bu," ucap Fabian dengan pura-pura menangis lebay.
"Ih, Bian! Jijik deh," teriak Yuni membuat seisi kelas tertawa. Tidak termasuk Anna.
"Ada apa nih? Kok kaya ada sesuatu, ya?" Bu Jani curiga sambil menaik turunkan alisnya.
"Biasa, Bu. Fabian sama Yuni udah love-lovean," papar Yoga membuat Bu Jani terkejut.
"Wow! Ibu terkejut." Bu Jani membulatkan bibirnya.
"Hayoloh, Yuni," timpal Luna dari belakang.
"Apasih?" Wajah Yuni tampak memerah.
"Pacarannya gak boleh macem-macem, ya, kalian," peringat Bu Jani menatap Fabian dan Yuni bergantian.
"Siap, Bu Presiden!" Fabian hormat, yang lain tertawa.
"Kayanya ada yang diem aja, nih," sindir Bu Jani sambil melirik Anna.
"Wah, si Anna itu, Bu," timpal Juno sambil menatap Anna.
"Kenapa, tuh?"
"Lagi berantem, Bu, sama Altan," sahut Juno tertawa.
"Bohong, Bu," sanggah Lira. "Anna kayanya lagi gak enak badan, deh, Bu."
Bu Jani terlihat khawatir dan menghampiri Anna.
"Kamu gak enak bada, An?"
Anna mendongak. Ia menggeleng ketika melihat sosok Bu Jani.
"Lira, kamu anter Anna ke UKS, ya."
"Baik, Bu." Lira bangun dari duduknya dan membantu Anna berdiri. Ia juga memapah Anna ke UKS.
Anna menatap kosong ke depan. Ia melangkah mengikuti papahan dari Lira. Ketika hampir sampai di UKS, Anna teringat akan sesuatu. Ia berlari meninggalkan Lira.
"Kertasnya!" Anna terengah-engah saat membanting pintu kelasnya, membuat semua yang ada dikelasnya menatapnya terkejut dan bingung termasuk Bu Jani.
Tbc ...