"Dan lo berikir, gue sengaja memanfaatkan keadaan lo untuk ngedapetin apa yang gue mau?"
"Gue nggak berpikir sejauh itu," gumam Helena.
Galaksi mengangguk-angguk. "Sulit ya meyakinkan lo kalau seandainya gue bilang ... gue beneran suka sama lo?"
"Galaksi, lo lagi diketawain sama kontak cewek-cewek yang Gista kasih," cibir Helena. Dia kembali memotong jeruknya sampai selesai dan tidak terganggu lagi dengan percakapannya dengan Galaksi sebelum salah satu di antara temannya datang ke pantri untuk mencari minuman.
Satu sikut Galaksi bertopang pada meja, sementara kursinya diputar agar menghadap langsung pada Helena yang masih berdiri di depan meja bar. "Lo mungkin belum punya rasa suka yang ... tulut buat gue. Tapi gue yakin banget kalau kita sama-sama punya ketertarikan fisik," ujar Galaksi yakin. "Gue masih ingat gimana lo membalas ciuman gue dan menyebut nama gue berkali-kali saat-"
Suara Galaksi terhenti ketika Helena menutup juicer dengan kencang dan menatapnya tajam.
"Lo harus akui itu." Galaksi masih belum menyerah.
Helena kembali menaruh potongan jeruk ke dalam tabung juicer, mencoba mengabaikan perkataan Galaksi, tapi yang sebenarnya terjadi, dari hati kecilnya yang paling dalam ... dia menyetujui ucapan itu. Dia tidak akan munafik dengan berbohong terang-terangan mengelak.
Helena sadar, dia tidak bisa menolah pesona Galaksi.
Kalau kata Fadhil, Galaksi memiliki alasan seseorang meliriknya dua kali. Sebelum benar-benar memperhatikannya dengan lebih teliti, lalu suka.
Dan harusnya gue berhenti sebelum gue benar-benar suka. Iya, kan?
"Iya? Lo sedang mengakui itu pada diri lo sendiri?" Galaksi menelengkan wajahnya, tidak terpengaruh dengan tatapan sinis yang diterimanya berkali-kali.
Helena semakin menatap Galaksi dengan sorot tajam.
Galaksi mengernyit. "Kalau lo kira dengan tatapan itu gue akan takut dan berhenti, lo salah." Galaksi memegang tangan Helena. "Makin galak, lo makin menantang tahu nggak?"
Helena berdecak seraya menepis tangan laki-laki itu, setelah semua perasan jeruknya masuk ke dalam gelas-gelas, keinginan untuk mengguyur wajah Galaksi dengan salah satu gelas di depannya tinggi sekali.
Namun, "Helen!" Suara Julian terdengar seiring dengan langkah kakinya yang kini mendekat ke pantri. "Helen, plis. Jessy yakin banget lo bakal satu suara sama dia, makanya dia mengambil alih suara lo gitu aja. Otoriter banget tuh orang."
"Suara apaan?" Helena mengernyit.
"Lo pilih pantai atau gunung?" tanya Julian tiba-tiba.
"Hah?" Helena masih belum mengerti.
"Mereka lagi ngerencanain liburan bareng dalam waktu dekat," jelas Galaksi. "Dan semua udah ambil suara."
"Heleeennn!" Suara teriakan Jessy terdengar. Wajahnya melongok dari balik partisi. "Lo mempercayakan pilihan lo ke gue, kan?"
Helena terkekeh, lalu menyahut, "Ngikut aja gue." Dan sesaat setelah itu Julian terlihat kecewa.
"Sumpah!" Julian mendengkus sambil menengadahkan semua gelas minuman ke nampan dan membawanya ke ruang tengah. "Mendadak haus gue gara-gara ceweknya Kai!"
"Yeay!" Jessy bersorak. Llau tawa Gista terdengar. "Pilihan gue menang!"
Helena melirik ke arah suara di ruang televisi yang kini berisik oleh kelompok yang memenangkan tempat liburan, tapi Helena tidak begitu peduli tentang pilihan tempatnya, dia hanya akan pergi jika Jessy pergi. Ayahnya hanya mengizinkannya begitu, begitu juga dengan Jessy.
Helena tersenyum sendiri saat melihat Jessy ditarik Kai karena Fadhil hendak melemparkan bantal sofa kearah kekasihnya. Lalu, tanpa sengaja sudut matanya menangkap tatapan Galaksi yang refleks membuatnya menoleh. "Kenapa?"
Galaksi yang ternyata tidak berhenti menatapnya dari tadi hanya bisa mnegangkat bahu.
Helena meraih sebuah paper plate dari samping kotak, lalu mengambil seiris cake ke dalam piring. "Gue lapar." Karena dari tadi dia sibuk menyembunyikan gugup di hadapan teman-temannya, dia sampai tidak bisa memasukkan apa pun ke dalam perutnya selain minuman ringan.
"Perut lo pasti kembung banget karena ngabisin tiga kaleng minuman tanpa makan tadi." Galaksi memperhatikannya ternyata.
"Lo yang bikin gue kayak gini, nggak ngerasa bersalah, ya?"
Galaksi terkekeh, tapi tangannya mengambil alih paper plate dari hadapan Helena dan memotong cake itu sebelum menusuknya dengan garpu kecil. Tangannya bergerak menyuapi Helena. "Untuk yang ulang tahun hari ini."
Helena sempat merapatkan bibir, melirik Galaksi, lalu memberi tahu pada dirinya bahwa dia sedang berhadapan dengan seekor buaya, bukan manusia.
Hah! Seharusnya dia berpikir seperti itu sebelum larut dalam suasana gelap apartemen Galaksi karena kejutan hadiah ulang tahun bermodal korek gas sialan dan memberikan semuanya pada laki-laki itu.
Melihat tangan Galaksi yang masih bertahan di depan bibirnta, Helena menyerah. Mulutnya terbuka untk menerima suapan itu. Namun, potongan kue hampir terjatuh karena tidak seluruhnya bisa masuk. Dan tangan Helena bergerak otomatis untuk memukul pundak Galaksi.
Galaksi malah tertawa. "Kegedean, ya? Maaf-maaf."
Helena menutup bibirnya dengan satu telapan tangan, setelah berhasil menelan, dia ikut tertawa. "Gede banget potongannya! Lo biasa nyuapin siapa, sih?"
"Kai," sahut Galaksi yang membuat Helena kembali tertawa.
"Sini, sini, gue bisa makan sendiri." Helea mengambil alih paper plate dan garpu dari tangan Galaksi. Ketika memotong kuenya, Helena melihat Galaksi bersedekap, tapi tatapan laki-laki itu masih memperhatikannya. "Kalau lo pikir gue bakal blushing karena lo tatap sambil makan gini, lo salah, ya!"
Galaksi malah terkekeh. "Kalau gue bilang ada sisa krim di bibir lo, lo percaya nggak?"
Helena mendelik. "Terus lo sok-sokan bersihin bibir gue pakai jari lo, habis itu lo cium gue gitu, ya?" cibir Helena. "Itu trik basi cowok kayak lo kalau minta ciuman, kan?"
"Yah, ketahuan," gumam Galakis sambil menyapukan lidah di gigi bagian atasnya.
Lihat kan bagaimana Galaksi begitu paham memanfaatkan pesona dalam dirinya?
Galaksi mencondongkan tubuhnya kearah Helena. "Kalau gitu, gue minta langsung aja gimana?" tanyanya. "Mau gue cium nggak?"
Helena hampir tersedak, beruntung segera berdeham untuk meredakan rasa terkejutnya. Tatapannya menangkap manik mata Galaksi, memastikan ucapannya tadi. Menerka apakah laki-laki itu serisu mengatakannya atau hanya bertujuan menggoda Helena?
Namun, sebelum Helena mengambil keputusan apa-apa, tangan Galaksi sudah terangkat, tahu apa yang harsu dia lakukan. Telapak tangan itu menangkup satu sisi wajah Helena, ibu jarinya menyusul mengusap bibir Helena pelan. "Gue nggak bohong, kan?" Dia menunjukkan sisa krim di sana. "Ada sisa krim di bibr lo," gumamnya.
Arah tatapan Helena masih tertuju pada sisa krim itu saat wajah Galaksi bergerak mendekat. Galaksi seolah-olah tidak peduli lagi pada persetujuan Helena saat memutuskan untuk menciumnya. Katakan saja Helena ini terllau murahan, karena setiap kali Galaksi melakukannya, Helena kana menyambutnya dengan baik. Bibir Helena terbuka, menerima setiap cecap dan kecupan ringan dari laki-laki itu, bahkan sesekali dia akan membalasnya.
Oke. Isi kepalanya mulai mneyalakan alarm, mengingatkannya tentang riset yang seharunsya dilakukan detik ini. Tentang ... bagaimana bibir laki-laki seperti Galaksi bergerak di bibirnya, tentang bagaimana embus napas laki-laki itu menerpa wajahnya hangat, lalu tentang bagaimana tangan laki-laki itu bergerak di tubuhnya setiap kali ciuman itu terjadi.
Namun, siapa yang peduli pada riset saat sekujur tubuhnya terasa panas oleh semua perlakuan yang diterimanya? Tangan Galaksi yang kini menarik pinggangnya, membuat Helena turun dari stoo dan berdiri untuk merangsek melewati dua lutus terbuka laki-laki itu.
"Gal, mau balik-" Itu suara Kai, yang terputus begitu saja dan tidak lagi terdengar.
****