Nyam... Nyam... Nyam...
Ini enak.
Ini juga enak!
Semuanya enak!
"Pelan-pelan makannya, Ndre. Nanti kamu tersedak."
"Hehuanya hehhak, hi!"
Semuanya enak bi!
Kataku dengan mulut penuh.
Bibi Valeria tersenyum melihatku makan dengan lahap.
"Aduh, mulutmu kotor tuh. Sebentar ya."
Bibi Valeria mengelap mulutku dengan kain.
"Hihihi, kamu ini lucu sekali kalau makan lahap begitu."
Bibi Valeria tampak senang melihat wajahku.
"Bibi Valeria..."
"Ya?"
"Kenapa bibi belum menikah?"
Mendengar kata-kataku, Bibi Valeria menyemburkan makanan dari mulutnya.
Ia lalu terbatuk-batuk.
Memangnya pertanyaanku ini aneh?
Kan dia bilang kalau Paman Igor itu bukan suaminya sungguhan.
Berarti dia belum menikah dong.
"Andre... Uhuk... Kenapa... Kau tanya begitu?"
"Soalnya, bibi kan orang yang sangat baik. Terus kata bibi, Paman Igor bukan suami bibi sungguhan. Kenapa bibi belum menikah?"
"Ahaha... Ahahaha... Itu... Karena aku belum nemu yang cocok saja, Andre! Ahahahaha!"
Tertawanya seperti dipaksakan.
Apa Bibi Valeria menyembunyikan sesuatu?
"Kalau begitu, kenapa tidak menikah dengan ayah saja? Kata bibi tadi kan, bibi mau menjadi ibuku."
"Dengar, ya Andre sayang. Itu bukan berarti aku mau menikahi Novel."
"Tapi, ayah orang baik, Bibi Valeria juga orang baik, kalian juga tampak akrab. Ibu juga sekarang sudah tiada..."
"Nggak semudah itu Ndre. Nanti kalau kau sudah lebih besar, kamu bakal mengerti."
Wajah Bibi Valeria berubah sedikit muram.
"Ada apa bi? Ah maaf, aku salah ngomong ya... Maaf bi... Aku tidak akan membahas mengenai hal ini lagi. Kalau bibi tidak menikah selamanya pun aku tidak masalah."
"Uhuk... Ya jangan selamanya juga dong. Aku juga ingin menikah."
Bibi Valeria tertawa.
Senang sekali rasanya melihatnya tertawa seperti itu.
Dari tadi saat kami datang dia selalu marah atau muram.
Syukurlah saat ini dia bisa melupakan sedikit masalahnya.
"Oh iya, Andre. Apa kamu mau belajar bela diri?"
Belajar bela diri?
Aku sama sekali tidak pernah terpikirkan akan hal itu.
Selama ini aku tidak pernah terlibat masalah yang membutuhkanku untuk bertarung.
Semua selalu bisa diselesaikan dengan pembicaraan.
Tapi...
Aku juga ingin bisa melakukan sesuatu.
Aku ingin bisa melindungi orang-orang yang kusayangi.
Aku ingin membuktikan pada Gennady bahwa aku bukan bocah tidak berguna.
Jika aku bisa bertarung saat itu...
Mungkin aku bisa menyelamatkan kedua orangtuaku.
"... Aku mau..."
"Bagaimana?"
"Aku mau belajar bela diri dari bibi."
"Hah...? Maksudku bukan belajar dariku. Kelompok ini punya orang yang lebih cocok untuk mengajarimu."
"Tidak, aku mau belajar dari bibi. Aku ingin setangguh Bibi Valeria."
Bibi Valeria nampak berpikir.
Raut mukanya terlihat ragu.
Berkali-kali ia menatap mataku.
"... Baiklah... Tapi perlu kuberitahu sebelumnya, aku ini bukan guru yang baik. Aku tidak pernah mengajari seorangpun karena aku sadar aku ini tidak pandai mengukur kapasitas seseorang. Mungkin aku akan melatihmu dengan sangat keras, Andre. Apa kau yakin?" Tanya Bibi Valeria serius.
Aku mengangguk dengan mantap.
"Ya."
Bibi Valeria menghela napas.
"Baiklah kalau kau seyakin itu, aku akan mengabulkan keinginanmu. Besok, kita akan mulai berlatih." Ujar Bibi Valeria.
Aku sudah mendapatkan kesempatan untuk menjadi lebih kuat.
Kesempatan ini tidak akan kusia-siakan.
Apalagi yang melatih adalah Bibi Valeria.
Aku yakin aku bisa sekuat dirinya nanti.
"Kau sudah selesai makan, Andre? Kalau sudah, ayo kita kembali saja. Kau harus istirahat agar besok badanmu kuat untuk menjalani latihan."
Aku mengangguk lalu kami pergi dari situ.
Kami kembali ke tempat minum yang menjadi markas kelompok ini.
Sebenarnya aku penasaran.
Memangnya kelompok ini tidak punya nama ya?
Sedari tadi tidak sekalipun aku mendengar namanya.
"Bi..."
"Hmm?"
"Kelompok kita ini namanya apa?"
"Hmm... Nama ya... Aku juga tidak tahu namanya. Sepertinya memang tidak memiliki nama. Tapi kami sering menggunakan sandi-sandi tertentu seperti gagak, mentari, dan lain-lain."
Aku berpikir sejenak.
Memangnya mereka tidak kesulitan mengidentifikasi kelompoknya?
"Hmm... Bagaimana kalau Gagak Rusidovia? Kelompok ini kan selalu bergerak diam-diam. Aku juga pernah melihat anggotanya berpakaian hitam-hitam, seperti gagak!"
"Gagak Rusidovia...? Kau sepertinya sangat mempermasalahkan hal itu ya. Tapi itu nama yang lumayan bagus. Nanti akan kuberitahukan pada pimpinan."
Wah... Diterima begitu saja?
Ini Bibi Valeria saja atau memang seluruh kelompok ini tidak terlalu mempermasalahkan nama ya?
Padahal aku hanya berpikir ngasal.
"Selamat datang." Sapa pegawai rumah minum.
"Aku mau melihat mentari terbenam." Kata Bibi valeria.
"Oke, sebentar."
Seperti tadi, si pegawai masuk ke dalam ruangan tempat kami turun lalu tak lama kemudian ia keluar lagi.
"Silakan."
Kami masuk ke dalam ruangan itu dan turun.
Saat sudah sampai bawah, Bibi Valeria segera membuka pintu ruangan.
Begitu melihat apa yang ada di depan matanya, wajahnya terlihat kesal.
"Ah, Valeria ya." Sapa seseorang.
Siapa lagi orang ini.
Bibi Valeria juga terlihat kesal melihatnya.
Sepertinya perkataannya tadi mengenai tidak bisa akrab dengan siapapun itu berlaku sampai sekarang.
"Selamat malam, YANG MULIA." Sapa Bibi Valeria dengan nada mengejek.
"Hei, tidak perlu menyebutku begitu. Santai saja."
Aku memerhatikan penampilan orang ini.
Pakaiannya nampak biasa saja.
Tapi wajahnya terlalu bersih untuk kelompok seperti ini.
"Wah, sudah lama kita tidak bertemu dan sekarang kau sudah punya anak?"
"Hahahaha, kau ini pandai berkelakar juga, Eduard Belov."
Bibi Valeria tertawa, tapi wajahnya sama sekali tidak menunjukkan ekspresi senang.
Sudah kuduga, dia juga pasti tidak akrab dengan orang ini.
Eduard Belov...?
Dia ini punya nama belakang.
Apa dia ini bangsawan?
Sedang apa seorang bangsawan datang kemari?
"Dia anak saya, yang mulia." Kata ayah.
"Oh, jadi ini bukan anakmu, Valeria? Berarti, masih ada kesempatan dong untukku."
"Berhentilah menggodaku, kau itu sudah punya 5 istri."
Eduard hanya tersenyum kecut mendengarnya.
"Ekhem... Bisa kita lanjutkan?" Kata Gennady membuyarkan pembicaraan mereka berdua.
"Aku mau tidur. Silakan lanjutkan pembicaraan kalian. Ayo Andre." Kata Bibi Valeria sambil menarik tanganku.
"Tunggu." Ayah menghentikan Bibi Valeria.
"Kau harus ikut, Val."
Bibi Valeria menggeretakkan giginya mendengar perkataan ayah.
"Kita harus bicara."
"Baguslah, kalau begitu a..."
"Maksudku kita berdua, empat mata!"
Bibi Valeria menarik ayah menjauh ke ruangan yang berbeda.
"Hmm... Ada apa ini?" Kata Eduard.
Paman Pavel hanya menghela napas melihat tingkah dua bawahannya.
Apa sih yang mereka bicarakan?
Tadi ayah tampak tenang-tenang saja.
Kalau Bibi Valeria sih dia selalu marah-marah.
PLAK!!
Terdengar suara tamparan yang cukup keras.
"Waha... Pertengkaran suami istri nih?" Komentar Eduard.
Apaan sih.
Ngasih komentar seenak jidat.
Entah kenapa aku juga tidak begitu senang dengan orang ini.
Tak lama kemudian, ayah dan Bibi Valeria keluar.
"Bagaimana, sudah selesai?" Tanya Eduard pada ayah.
"...Ya. Ayo kita lanjutkan."
Tadi Bibi Valeria menampar ayah rupanya.
Terlihat bekas merah di pipi kanannya.
"Lalu Andre... Kau istirahatlah di belakang. Ayah dan Bibi Valeria akan menyusulmu nanti."
Aku mengangguk.
Sekilas kutatap wajah Bibi Valeria.
Marah lagi...
Padahal tadi dia sudah bisa tertawa.
"Anu, Bibi valeria..."
"Ya?"
"Jangan marah-marah terus, nanti cepat tua." Kataku sambil berlalu dari hadapan mereka semua.
Mendengar perkataanku, Eduard tertawa terbahak-bahak.
"Hahahahaha!!! Kau dengar tadi bocah itu mengatakan apa? Buahahahahaha!!!"
Akupun masuk ke ruangan yang dimaksud ayah.