Bibi Valeria tampak seperti menahan sesuatu.
"Kalau saja... Kalau saja aku bisa lebih cepat... Maafkan aku..."
Bibi Valeria terduduk di hadapanku.
Kepalanya menunduk.
Melihatnya seperti ini, aku jadi tidak tega.
Pasti ia punya alasan kuat kenapa dirinya tidak bisa menggunakan ramuan itu untuk menyembuhkan ibu.
Aku mendekatinya.
Kuangkat wajah Bibi Valeria.
Mata emasnya basah.
Seluruh badannya gemetaran.
"Aku minta maaf, bi. Emosiku meledak tadi. Aku yakin bibi punya alasan tersendiri..."
Bibi Valeria memelukku.
"Maafkan aku juga, Andre... Seandainya saja... Aku lebih cepat waktu itu..."
Bibi Valeria menceritakan seluruh kisahnya saat ia kembali ke Lesnoy.
Aku terkejut begitu tahu ternyata Desa Lesnoy dibakar oleh Boris.
Ayah Elora mati...
Ivan dan Elora selamat...
Bagaimana dengan Nicholas?
Bibi Valeria tidak bertemu dengannya.
Semoga ia baik-baik saja...
"Aku sungguh minta maaf... Andaikan waktu itu aku langsung mengecek keadaan panggung eksekusi... Tentu saja ibumu bisa selamat."
Bibi Valeria mulai menyalahkan dirinya lagi.
Kutepuk pundaknya.
"Sudah... Jangan menyalahkan diri bibi terus... Aku justru harusnya berterimakasih karena sudah menyelamatkan Elora dan Ivan. Mungkin kalau tidak ada bibi di sana, mereka berdua sudah tewas. Ditambah ibunya Elora juga... Kalau bibi tidak menyelamatkannya, pasti ia juga tewas. Sekarang mungkin ibu sudah meninggal, tapi aku yakin ia tidak ingin aku bermusuhan dengan bibi. Terima kasih bi..."
Bibi Valeria menatapku.
Air matanya keluar lagi.
"Andre... Terima kasih..." Ucapnya pelan.
"Hei, sepertinya kita sudah hampir sampai Sergiograd. Kalian sebaiknya segera bersiap-siap."
Kata-kata Paman Igor membuyarkan percakapan kami.
"Oh, oke. Kami akan bersiap. Andre, kau pakai jubah ini ya." Kata Bibi Valeria sambil menyodorkan jubah yang terlipat padaku.
Aku segera mengenakannya.
Jubah ini terlalu besar untuk bocah sepertiku.
Sepertinya ini ukuran orang dewasa.
"Kebesaran ya? Mau kupotongkan?" Kata Bibi Valeria.
Aku menggelengkan kepala.
Tambah repot kalau harus memotong jubah segala.
Kugulung lengan jubah ini lalu kulipat bagian bawah yang masih panjang.
Kunaikkan ekor jubah hingga pundakku, sehingga panjang bagian belakang jubah hanya setengahnya.
"Bibi, ada tali?" Tanyaku.
Srek...
"Laaahh!! Kok dipotong sih!?"
Bibi Valeria memotong bagian belakang jubahku.
"Kamu kelihatan aneh tahu dengan idemu tadi. Yang ada malah kamu jadi mencolok."
Kata Bibi Valeria sambil menahan tawanya.
Aku memasang muka cemberut.
"Hiiihh!!! Kamu ini...!! Sini biar kucubit!"
Bibi valeria mencubit kedua pipiku.
"Aduh! Sakit! Lepasin! Bibi Valeria!"
"Nggak akann!!! Aku sudah lama ingin seperti ini! Hehehehehe..."
Bibi Valeria menggosok-gosokkan pipinya pada pipiku.
Kelihatannya ia sangat menikmatinya.
"BERISIK WOI!"
Paman Igor marah lagi.
"Apaan sih, kamu iri kan, Gor? Bujang lapuk emang suka emosian ya, wkwkwkwk."
"Ngaca woi! Kau sendiri sudah jadi perawan tua!"
"HAAAHH!!??? ENAK SAJA! GAK USAH NGUNGKIT-UNGKIT ITU NAPA!"
"HEH, KAU YANG MULAI DULUAN!"
Ya ampun...
Aku heran bagaimana mereka berdua bisa hidup bersama selama 10 tahun...
Berakting sebagai suami-istri lagi...
"U... Urgh..."
Ayah membuka matanya.
"... Masih... Belum sampai ya...?"
"Belum yah, kata Paman Igor sebentar lagi kita sampai."
Ayah melihat ke arah Paman Igor dan Bibi Valeria yang masih bertengkar.
"... Pantas saja tidurku terganggu..."
Ayah lalu menepuk pundak mereka berdua.
"Bisa nggak kalian berbaikan sekarang? Kalian sudah mengganggu tidurku."
Dalam sekejap mereka berdua langsung terdiam.
"Salaman dong, kan sudah baikan."
Mereka berdua bersalaman.
Hebat sekali karisma mantan pemimpin...
"Oi, Val. Rambutmu masih merah."
Bibi Valeria memeriksa rambutnya.
"Oh iya, aku sampai lupa."
Bibi Valeria mengambil ramuan dari tas kecilnya.
Berbeda dengan ramuan penyembuh tadi, kali ini warnanya hitam pekat.
Ia meminumnya sampai habis.
"Fiuh.... Hoek.... Sampai sekarang pun aku masih belum terbiasa dengan rasanya."
"Itu ramuan apalagi, bi?" Tanyaku penasaran.
"Tunggu saja sebentar lagi, kamu akan tahu ini ramuan apa."
Tak lama kemudian, warna rambut Bibi Valeria berubah menjadi coklat.
Jadi ini ramuan pengubah warna rambut yang tadi disebutkan oleh Bibi Valeria...
Aku ingin coba, tapi melihat ekspresi Bibi Valeria saat meminumnya...
Mungkin tidak usah.
"Sepertinya kita punya tamu di sini. Kenapa kalian tidak mengenalkannya padaku?" Kata ayah sambil menunjuk tawanan kami.
"Oh dia. Dia komandan prajurit yang menyerang kita tadi." Jawab Bibi Valeria santai.
"Hmm... Harus kita apakan dia? Akan berbahaya kalau dia sampai melapor saat kita sampai Sergiograd."
Semua terdiam saat mendengar pertanyaan ayah.
"Bukannya cukup disembunyikan saja saat pemeriksaan?" Usul Bibi Valeria.
"Ngawur kamu. Akan mencurigakan sekali kalau kita ketahuan membawa orang telanjang yang diikat seperti ini."
"Ah, aku ada ide." Kata Paman Igor.
"Tumben kau ikutan usul." Ejek Bibi Valeria.
Paman Igor memasang wajah kesal sebagai jawaban atas ejekan Bibi Valeria.
"Ide apa, Gor?" Tanya ayah.
"Serahkan saja semuanya padaku. Kalian pastikan saja dia tidak terbangun saat pemeriksaan. Oh iya, lepaskan juga ikatannya lalu beri dia pakaian."
Hah...?
Apa karena aku bocah jadi tidak paham dengan ide Paman Igor?
"Tunggu... Maksudmu?" Tanya Bibi Valeria.
"Jadi gini... Biarkan ia bersama kita. Kita tak akan dicurigai kalau kita bilang dia terluka sehingga tidak sadarkan diri. Kalau dia tidak diikat dan berpakaian normal dia akan dikira bagian dari kita."
Ayah manggut-manggut mendengar penjelasan Paman Igor.
Bibi Valeria terlihat tidak setuju dengan Paman Igor tapi ia tidak mengatakan apapun.
"Baiklah kalau begitu. Ini cukup beresiko kalau dia sampai bangun. Val, orang ini jadi tanggung jawabmu ya."
"Hah...? Kenapa aku?"
Ayah hanya mengacungkan jempolnya sebagai jawaban.
Melihat jawaban ayah, Bibi Valeria terlihat kesal.
"Berhenti!"
Seseorang berseru kepada kami.
Paman Igor menghentikan kereta kuda kami.
Kulihat ke arah depan.
Wuahh... Kita ternyata sudah sampai.
Terlihat dinding Kota Sergiograd yang begitu tinggi menjulang.
Dua orang prajurit mendatangi kereta kuda kami.
Paman Igor turun dari kereta kuda.
"Biar kutangani, kalian diamlah di sini."
Kulihat ia berbicara pada kedua prajurit itu.
Aku lalu melihat ke arah dinding Sergiograd.
Wuahh...
Sepertinya kereta kuda kami sudah diincar.
Ada banyak pemanah mengarahkan busurnya ke arah kami.
Pandangan kembali kuarahkan ke Paman Igor.
"Dia itu ngapain sih? Lama kali."
Bibi Valeria tampak tak sabar.
"U... Urgh..."
Si prajurit tawanan terbangun.
"...Di mana..."
Sebuah pukulan keras dilayangkan ke kepala si prajurit.
Ia kembali pingsan, tambah benjol di kepala.
Wuah... brutal sekali Bibi Valeria...
Paman Igor akhirnya kembali bersama dua orang prajurit itu.
"Selamat sore. Biar kami periksa dulu barang-barang kalian." Kata seorang prajurit sopan.
Kami semua pun turun dari kereta kuda.
"Kenapa dia?" Tanya prajurit yang lain sambil menunjuk prajurit tawanan kami.
"Anu... Dia tadi... terjatuh lalu pingsan! Ya, terjatuh lalu pingsan! Hahahaha, bodoh sekali dia kan, hahahaha!"
Ayah menepuk jidatnya.
Bibi Valeria memang benar-benar payah kalau suruh berbohong.
"..."
"..."
Dua prajurit itu terdiam.
Glek...
Apa kami ketahuan?
Ya... Bibi Valeria memang payah sekali tadi saat menjawab.
Tidak heran kalau kami ketahuan.
"Di dalam ada dokter, rawat dia kalau sudah di dalam." Kata salah seorang prajurit.
Hee...?
Nggak ketahuan?
Baguslah kalau begitu, aku jadi lega.
Sesaat, kereta kuda kami diperiksa.
Aku sempat deg-degan.
Tapi untunglah kami diperbolehkan masuk.
"Lain kali, pakai jalan utama saja. Jalan sini sering dilalui perampok, makanya kami curiga. Tapi sepertinya kalian ini memang pedagang biasa. Selamat datang di Sergiograd! Semoga Saint Sergius memberkati kalian!"
Baik sekali, prajurit itu mendoakan kami segala.
Sergiograd adalah pusat agama Sergius.
Meski itu adalah agama terbesar di Rusidovia, tapi sepertinya keluargaku tidak menganutnya.
"Semoga kalian juga diberkati Saint Sergius."
Paman Igor membalas doa prajurit tadi.
Oh... Paman Igor penganut Sergius juga ternyata.
Tidak kusangka.
Bibi Valeria sepertinya tidak menganutnya.
Ya sudahlah, tidak penting juga membahas kepercayaan orang.
Kami pun akhirnya berjalan masuk ke Sergiograd.
"... Kau mengatakan apa tadi?" Tanya Bibi Valeria.
"Sederhana saja. Kita ini pedagang dari Isseldov lalu karena tersesat kita jadi lewat sini. Mereka tidak bertanya macam-macam kok."
"Pantas saja mereka membolehkan kita masuk meski melihat kita membawa senapan." Kata ayah.
Jadi barang yang namanya 'senapan' itu ternyata sudah jadi salah satu barang dagangan ya...
"Sebaiknya kita segera ke tempat persembunyian begitu sampai. Ini juga sudah mulai gelap."
"Ya..."
Begitu masuk kota, terlihat begitu banyak kerlap-kerlip cahaya yang menyinari sisi jalan, rumah-rumah dan pertokoan.
Air mancur yang berkilauan bagaikan permata.
Lantai kota yang terdiri dari bebatuan yang disusun rapi.
Rumah-rumah yang berdiri megah.
Orang-orang berlalu lalang dengan pakaian yang berwarna-warni.
Ornamen-ornamen Sergius yang menyebar di seluruh penjuru kota.
Kudengar uskup agung juga berada di kota ini.
"Woaahhh...! Luar biasa...!!"
Sebagai bocah polos berumur 11 tahun yang sama sekali belum pernah ke kota besar tentu pemandangan seperti ini membuatku begitu takjub.
"Kau belum pernah ke Sergiograd, ya Ndre?" Tanya Bibi Valeria.
Aku menggeleng.
"Baiklah, nanti kau akan kuajak ke tempat-tempat menakjubkan di kota ini!" Kata Bibi Valeria senang.
"Hei, kita ke sini bukan untuk bersenang-senang." Kata ayah.
"Biar saja kan, toh juga paling-paling hanya para petinggi kelompok yang ribut ngomongin ini itu. Kita sebagai bawahan mah santai." Kata Bibi Valeria sambil memelukku.
Ayah menghela napas.
"Valeria... Kita juga harus melaporkan insiden di Lesnoy. Kau kan juga terlibat waktu itu. Pasti juga ada hal yang perlu kaulaporkan, kan? Meski kita beda kelompok, tapi tetap saja kita itu cabang dari kelompok Sergiograd. Kita harus melaporkan apa yang terjadi..."
"Iya iya! Tinggal melapor saja kan? Pokoknya setelah itu aku mau jalan-jalan." Jawab Bibi Valeria dengan kesal.
"Kau ini memang kekanakan sekali ya. Kita ini kan harus profesional, jangan malah lalu..."
Belum selesai Paman Igor berbicara, Bibi Valeria menyelanya.
"Kekanakan? Hah, begitu ya kata-kata orang yang kalau lihat boneka kayu di Alverton langsung tidak peduli sekitarnya."
Wajah Paman Igor memerah.
"B... Berisik! Boneka kayu itu adalah sebuah keindahan yang murni! Orang barbar sepertimu tidak akan mengerti nilainya!"
"Haah!? Barbar!? Maksudmu apa!?"
Mulai lagi...
"... Yah... Mau bertaruh siapa yang menang di antara mereka?" Kataku pada ayah.
Ayah menjewerku.
"Dari mana kau belajar tentang taruhan hah?"
Bercanda yah, bercanda...