Chereads / Kutkh - Bahasa Indonesia / Chapter 3 - Bertahan Hidup

Chapter 3 - Bertahan Hidup

Keesokan harinya, hukumanku dicabut.

Ayah sudah berbicara dengan ibu.

Katanya aku diperbolehkan untuk keluar rumah seperti biasa, namun dengan catatan aku tidak boleh melakukan perilaku buruk apapun.

Kalau begitu, aku akan melakukan hal-hal seperti biasa. Bermain dengan teman memang mengasyikkan.

Tapi, sebelum aku pergi ke tempat biasa kami berkumpul, aku menyempatkan diri untuk ke rumah Bibi Vera.

Sebelumnya, aku selalu ditemani ibu saat hendak minta maaf pada siapapun.

Namun sekarang, aku tidak lagi ditemani.

Umurku sudah menginjak 10 tahun, aku harus mulai mandiri kata ayah.

Aku pergi ke rumah Bibi Vera dengan gugup.

Jujur saja, aku masih takut menghadapi Bibi Vera yang terkenal galak.

Apalagi menghadapi beliau sendirian seperti ini.

Sampai depan rumah beliau, aku ragu.

Ragu bercampur takut.

Aku tak tahu apa yang harus kukatakan pada beliau.

Aku juga takut dengan respon beliau.

Namun, kukumpulkan keberanianku untuk mengetuk pintu rumah beliau.

Tak ada jawaban.

Kuketuk sekali lagi.

Tak ada jawaban lagi.

Kukumpulkan lagi keberanianku yang masih tersisa di pojokan-pojokan hatiku.

Lalu aku berteriak sambil mengetuk.

"Bibi Veraa! Ini aku, Andre!"

Namun masih tak ada jawaban.

Aku menyadari, jam-jam segini pasti Bibi Vera masih di ladang bersama Paman Mikhail.

Dengan ragu, aku membalikkan badanku.

Keberanianku yang kuhimpun untuk mengetuk pintu rumah beliau lenyap sudah.

Haruskah aku menghampiri beliau di ladang?

Tapi, nanti bagaimana kalau aku dikira mencuri lagi?

Banyak sekali keraguan dalam hatiku.

Namun aku teringat jagung pemberian Bibi Vera kemarin.

Aku harus minta maaf dan berterima kasih pada beliau.

Kumantapkan kembali tekadku lalu pergi dari situ menuju ladang milik Bibi Vera dan Paman Mikhail.

Sesampainya di sana, aku tidak melihat Bibi Vera ataupun Paman Mikhail.

"Ah, itu anak yang kemarin lagi!" teriak seseorang dari kejauhan.

Rupanya yang berteriak adalah salah satu pekerja ladang.

Orang itu mengejarku, spontan saja aku lari dikejar oleh orang itu.

Ah, kenapa aku harus lari?

Bukankah aku tidak mencuri seperti kemarin?

Tapi kenapa aku lari?

Kuhentikan langkahku, orang itu menangkapku.

Dengan terengah-engah, dia mengatakan sesuatu.

"Hosh... hosh... hosh... Tertangkap juga kau. Kali ini tak akan kubiarkan kau lolos seperti kemarin."

Pekerja itu membawaku ke sebuah gubuk di dekat ladang. Di situ terlihat Bibi Vera dan Paman Mikhail sedang beristirahat.

Baiklah, aku harus berani. Aku tidak boleh ragu lagi.

"Tuan dan nyonya! Aku berhasil menangkap pencuri jagung lagi!" Seru pekerja itu dengan semangat.

Paman Mikhail dan Bibi Vera menoleh ke arah kami.

"Andre...? Kau mencuri lagi!?" Wajah Bibi Vera memerah, nampak mulai marah.

Pekerja tadi meletakkanku di depan mereka berdua.

"Kamu Andre anak Novel kan? Kamu mencuri jagung di ladang kami?" kata Paman Mikhail.

Sebelum aku dimarahi, aku segera membungkukkan badanku. Aku minta maaf pada mereka berdua.

"Bi... Bibi Vera, P... Paman Mikhail, aku minta maaf atas kelakuanku kemarin dan sebelum-sebelumnya! Aku mengaku salah dan tidak akan melakukannya lagi!" Kataku dengan sedikit terbata-bata.

"Aku tahu bahwa mencuri itu salah, namun aku tetap melakukannya. Perbuatanku sungguh tidak bisa dibenarkan. Aku sungguh minta maaf!"

Bibi Vera dan Paman Mikhail terdiam.

"Jadi... Kau sudah benar-benar paham kalau itu salah?" Bibi Vera mulai berbicara.

"Ya..." Kataku pelan sambil mengangkat wajahku.

Kulihat Bibi Vera sama sekali tidak marah. Ia malah tersenyum.

"Baguslah kalau begitu. Kau sudah makan, Andre?" Tanya Bibi Vera ramah.

Aku lega, ternyata Bibi Vera tidak marah.

Untunglah beliau tidak marah, berarti aku bebas.

Sejujurnya aku tidak terlalu khawatir dengan Paman Mikhail, karena beliau orangnya cukup sabar.

"Kamu... Jadi benar kamu mencuri jagung dari ladang kami?" Tanya Paman Mikhail. Wajahnya terlihat tidak mengenakkan.

Oke, aku cabut pemikiranku tentang Paman Mikhail. Sepertinya ia marah.

"Kamu ini...! Aduh!" Bibi Vera mencubit lengan suaminya sebelum ia memarahiku.

"Sudah, lagipula ia sudah mengakui kesalahannya. Aku tidak yakin putra Novel akan mengulanginya lagi." Kata Bibi Vera.

Paman Mikhail masih mengaduh, namun akhirnya ia juga memaafkanku.

"Ya sudah, pokoknya jangan sampai kamu mengulanginya lagi." Katanya sambil tersenyum kecut.

Aku hanya terkekeh pelan melihat beliau demikian.

"Oh iya bi, kemarin terima kasih atas jagung rebusnya. Jagungnya sangat enak, kami sekeluarga memakannya bersama-sama." Kataku bersemangat setelah lega mengetahui bahwa mereka tidak marah lagi.

"Syukurlah kalau begitu. Apa ayahmu juga memberitahumu sesuatu?" Kata Bibi Vera.

"Ya, lain kali kalau aku memang menginginkan sesuatu, aku akan memintanya, tidak akan mencuri lagi."

"Baiklah kalau begitu, jangan sungkan. Tapi jangan memaksa kalau memang tidak bisa mendapat apa maumu ya." Kata Bibi Vera lagi.

Aku mengangguk bersemangat. Bibi Vera mengelus kepalaku lalu menawariku untuk makan bersama mereka. Aku menolaknya karena sudah makan di rumah. Lalu aku pergi dari situ.

Lega sekali setelah mendapatkan maaf dari Bibi Vera dan Paman Mikhail.

Namun, kelegaan itu tidak berlangsung lama.

Saat aku sampai di tempat kami biasa berkumpul, aku teringat pesan ayah padaku.

Aku tidak mau mencuri lagi.

Tapi aku juga tidak mau kehilangan teman-temanku.

Apa yang harus kulakukan?

"Oi, Andre! Kemari sini!" Teriak Maxim memanggilku.

Aku menuruti panggilan Maxim, aku berjalan mendekati Maxim dan lainnya.

Kulihat semuanya ada di situ.

Annette dan Anna, si gadis kembar yang selalu berambut twin tail. Kadang sulit membedakan mereka, apalagi kalau cara mereka berpenampilan sama. Mereka bukan penduduk asli Desa Lesnoy. Mereka pindah ke sini 3 tahun yang lalu. Orangtua mereka adalah pengrajin kayu, namun di sini mereka terlihat lebih seperti petani, karena mereka juga mengurusi ladang gandum yang tidak terlalu luas.

Dimitri, anak laki-laki yang penakut. Seringkali ia menjadi bahan guyonan kami. Sangat menyenangkan mengerjainya. Orangtuanya adalah pedagang yang cukup terpandang di desa kami, karena itu ia memiliki rumah yang cukup besar. Kami terkadang bermain di rumahnya.

Ivan, anak kepala desa. Kalau dibandingkan dengan yang lain, dia adalah anak yang paling sombong. Meski kami tahu dia seringkali hanya membual, tapi cukup menyenangkan memiliki teman sepertinya.

Daniel, anak yang bisa kubilang sangat polos, atau mungkin bodoh? Entahlah, yang jelas aku merasa bersalah padanya setelah ketahuan mengambil cincin milik keluarganya. Namun, dia dengan entengnya memaafkanku, bahkan dengan tersenyum lebar. Hal inilah yang membuatku semakin tidak enak dengannya. 

Nicholas, Anak seorang pensiunan tentara. Ia paling antusias jika kami bermain perang-perangan. Sudah beberapa kali ia juga mengatakan pada kami bahwa ia ingin menjadi prajurit hebat seperti ayahnya.

Elora, seorang anak perempuan yang agak 'unik'. Warna rambutnya sangat aneh, tidak umum untuk penduduk Rusidovia. DIa juga selalu membawa sebongkah batu berwarna biru ke mana-mana. Ketika ditanya, ia selalu dipesani oleh ibunya untuk selalu membawanya ke manapun. Kudengar ibunya adalah orang dari negara lain, mungkin itu yang membuatnya berbeda dari kami.

Lalu Maxim, ketua dari perkumpulan kami. Ayahnya gugur saat menjadi prajurit, ibunya sudah meninggal karena sakit. Kini ia hidup bersama bibinya di sini. Perawakannya cukup besar dan sangat berwibawa untuk seukuran anak-anak seusia kami. Ia adalah anak yang tertua di kelompok kami.

Begitu aku di hadapan Maxim, ia merangkulku.

"Ah, sayang sekali kemarin misimu gagal yah." Katanya dengan nada ringan.

"I... Iya... Aku ketahuan oleh Bibi Vera."

"Hmm? Kau kenapa? Nadamu seperti ketakutan  begitu. Ah, kau pasti dimarahi oleh orangtuamu ya?"

Aku terdiam, aku takut mendengar kata-kata Maxim.

Kau ini, baru segitu saja sudah lesu. Sudahlah, kau memang tidak cocok dengan kami. Pergilah, kami tidak membutuhkanmu dalam perkumpulan ini.

Begitulah dugaanku mengenai kata-kata Maxim selanjutnya.

Mereka pasti membenciku, mereka pasti menganggapku bahwa aku bukan anak yang asyik diajak bergaul.

"Ahahahah, sudahlah. Tidak apa-apa. Kemarin-kemarin kami sebenarnya hanya bercanda ketika menyuruhmu mencuri jagung milik Paman Mikhail. Tapi, karena kau terlihat begitu serius, jadi kami lanjutkan. Yang kemarin malah kau menyediakan diri untuk melakukannya. Aku sebenarnya tidak enak hati, tapi asal kau sendiri senang yah tidak masalah." Kata Maxim santai.

Aku tidak menduga Maxim akan mengatakan itu.

Kukira Maxim akan mengajak yang lain untuk mencampakkanku.

Tapi tidak.

Meski begitu, aku agak kesal juga dengan pernyataannya mengenai 'asal kau senang'.

Aku sama sekali tidak senang.

Aku bahkan melakukannya dengan perasaan agak tertekan.

Aku selalu diajarkan untuk tidak mencuri, tapi aku harus melakukannya karena takut kehilangan teman.

Ya memang sih ada kepuasan tersendiri ketika berhasil mendapatkan barang curian, tapi tetap saja aku tidak menginginkannya

Sebelum aku mengungkapkan kekesalanku, Maxim berlutut memohon maaf padaku.

"Maafkan aku, Andre. Aku malah menyuruhmu melakukan hal tersebut. Harusnya aku mencegahmu supaya tidak dimarahi oleh orangtuamu."

Lagi-lagi pernyataan yang tak terduga keluar dari mulutnya.

Aku tidak tinggal di Desa Lesnoy sejak kecil.

Keluargaku pindah kemari saat aku masih berumur 4 tahun.

Jadi, sudah sekitar 6 tahun aku tinggal dengan para penduduk di sini.

Sudah selama itu pula aku bergaul dengan anak-anak sebayaku di desa ini.

Jadi hampir semuanya tahu bahwa aku memang senang mengambil barang-barang kecil.

Mereka juga tahu bahwa aku pernah mengambil cincin milik keluarga Daniel.

Mereka juga tahu bahwa aku pernah hampir saja dicap mesum karena hendak masuk ke kamar ganti wanita di pemandian umum, itu karena aku hendak mengambil liontin milik seseorang.

Aku sadar, tidak seharusnya juga aku menyalahkan mereka kalau mereka menganggap aku senang dengan perilaku mencuri barang milik orang lain. 

Toh mereka juga sebenarnya ingin menyenangkan diriku dengan tidak membatasi perilakuku.

Tapi, aku harus menyatakan diri bahwa aku ini sebenarnya tidak suka mencuri.

Aku dulu memang suka mengoleksi barang-barang kecil, tapi setelah paham aku selalu menahan diriku untuk tidak mengambil barang-barang yang berharga.

"... Aku juga minta maaf... Seharusnya dari awal aku tidak bersikeras seperti itu sehingga kalian salah paham. Aku sebenarnya tidak suka mencuri. Ayah dan ibuku tidak pernah mengajariku untuk mencuri, bahkan mereka sangat kecewa ketika tahu aku melakukannya." Kataku dengan raut yang amat menyesal.

Maxim dan lainnya hanya melihatku.

"Aku hanya melakukannya karena aku takut kehilangan kalian. Aku takut kalian akan meninggalkanku kalau aku tidak melakukan apa yang kalian ingin aku lakukan."

Maxim lalu memelukku.

"Tenang saja. Lain kali, aku tidak akan menyuruhmu melakukan hal aneh-aneh. Kami tidak akan meninggalkanmu, adik termuda."

Adik termuda....

Yah, di antara kami memang akulah yang termuda.

Usiaku masih 10 tahun, sedangkan yang lain rata-rata berumur 11 sampai 14 tahun. Maxim yang berusia 15 tahun sudah seperti kakak bagi kami. Maka dari itu, kami selalu memperlakukannya seperti ketua di kelompok kami ini.

Kenapa aku masih meragukan mereka? Padahal sudah 6 tahun aku bergaul bersama mereka. Kenapa aku masih menganggap diriku adalah orang lain di mata mereka...?

Ah sudahlah...

Aku sekarang sadar, bahwa teman-temanku tidak akan pernah mencampakkanku.

Mereka pasti akan selalu menerimaku.

 

 

Tapi, perasaan seperti itu memang seringkali tidaklah berjalan dengan kenyataannya.