Chereads / Kutkh - Bahasa Indonesia / Chapter 4 - Permainan Terakhir

Chapter 4 - Permainan Terakhir

Sorenya ayah pulang dengan membawa kereta kuda yang akan membawa kami ke Sergiograd.

Para tetangga juga ikut berkumpul melihat ayahku yang pulang membawa kereta kuda.

Nampaknya ayah dan ibu juga sudah membicarakannya dengan para tetangga.

Mereka sama sekali tidak terlihat terkejut.

Terdengar beberapa orang mengucapkan hati-hati di jalan.

Tunggu dulu, memang kapan kami berangkat?

"Memang kapan kita akan berangkat yah?" Tanyaku.

"Malam ini. Semua barang sudah dikemas kan?"

Malam ini!!???

Bukankah itu terlalu terburu-buru?

Tidak bisakah kami menunggu paling tidak sampai besok?

Aku ingin sekali mengucapkan salam perpisahan pada teman-temanku.

"Apa tidak terlalu terburu-buru, yah?" kataku

Ayah terdiam.

"Bukankah akan lebih aman kalau kita menunggu sampai matahari terbit? Setidaknya di jalan kita lebih terhindar dari bahaya seperti perampok atau monster."

Ayah masih terdiam.

"Kau benar juga. Baiklah, kita akan menunggu sampai besok. Besok pagi-pagi kita akan berangkat."

Kali ini ayah setuju denganku.

Aku menghela napas.

Lega rasanya, paling tidak aku masih memiliki waktu untuk berpamitan pada teman-temanku yang tersisa.

Tanpa berlama-lama, aku berlari keluar rumah.

"Andre! Mau ke mana?" Teriak ibu lemah.

"Aku mau ke rumah teman-teman dulu bu! Mau pamit!" Balasku.

Jujur saja, aku takut.

Bagaimana dengan perjalanan kami?

Masa-masa seperti ini pastilah banyak terjadi pencurian dan perampokan.

Akankah kami aman sampai Sergiograd?

Kalau iya, apakah kami benar-benar bisa bertahan hidup di sana?

Kami memang dulu pernah pindah dari Vereskovo ke Lesnoy.

Tapi itu beda kondisinya jika dibandingkan dengan sekarang.

Saat itu keluarga kami masih memiliki kehidupan yang layak.

Bahkan kami pindah kemari juga karena ayah yang dipindah tugaskan.

Sekarang bagaimana?

Memangnya kami bisa bertahan di kota besar tanpa penghidupan yang layak?

Sembari aku memikirkan semua itu, aku sampai di rumah Nicholas.

Seperti yang kukatakan sebelumnya, ayah Nicholas adalah pensiunan prajurit. Rumahnya tidak terlalu besar, namun setidaknya cukup dihuni oleh 1 keluarga.

Aku mengetuk pintu rumah Nicholas.

"Nichoooo...! Ini aku Andree!!" Kataku memanggil namanya.

Pintu dibuka.

Terlihat sorot mata tajam milik ayah Nicho. Ayah Nicho memang menyeramkan, itulah kenapa kami jarang main di rumah Nicho.

"Siapa sayang?" Kata suara wanita di belakang ayah Nicho.

Suara itu milik ibu Nicho, suaranya sangat ramah.

"Ah, benar-benar Andre ternyata ya. Sebentar ya, bibi panggilkan Nicholas."

Ibu Nicho masuk diikuti oleh suaminya.

Oh iya, ayah Nicho tidak bisa berbicara.

Nampaknya sesuatu telah terjadi saat ia menjadi tentara dulu.

Nicho pun akhirnya keluar.

"Ah, Andre! Ada apa?" Tanyanya.

Aku tersenyum melihatnya.

Sudah lama kami tidak bermain bersama.

Semenjak bencana kekeringan ini, hampir tidak pernah kami bermain di luar.

Hari-hari kami habiskan di dalam rumah untuk menghemat energi.

Ditambah banyak teman-teman kami juga sudah pindah.

"Main yok!" Ajakku.

Kulihat keraguan di wajah Nicholas.

"Main? Tapi, sekarang sudah sore..."

"Ayo dong! Kita ajak Ivan dan Elora juga!" Kataku sambil memohon.

Nicholas menengok ke arah ibunya.

Ibu Nicholas tersenyum lalu berkata, "Jangan malam-malam ya pulangnya!"

Senyum sumringah terpatri di wajah Niicholas.

Kami pun pergi dengan ceria.

"Ngomong-ngomong, mau main apa?" Tanya Nicholas.

"Hmm... Apa yah... Ah, gimana kalau kita main kejar-kejaran?"

"Jangan deh, bikin capek. Kalo lempar batu sembunyi tangan gimana?"

Lempar batu sembunyi tangan adalah sebuah permainan berkelompok. Satu orang jaga bertugas untuk menebak siapa yang melempar batu, orang ini berdiri membelakangi para pelempar batu. Yang lain bertugas untuk melempar batu ke arah yang bisa dilihat oleh satu orang yang jaga. Kalau yang jaga bisa menebak siapa yang melempar batu, posisinya akan bertukar dengan si pelempar.

"Boleh, sudah lama kita tidak memainkannya."

"Oke, yuk kita ajak yang lain."

Kami lalu pergi ke rumah Ivan.

"Ivaaannn, main yuuukkk!!" Kata kami berdua kompak.

Yang membukakan pintu adalah Ivan sendiri.

"Ohh, Andre dan Nicholas!" Katanya senang.

"Main yuk! Udah lama kan kita nggak main?" Ajak Nicholas.

Terlihat raut keragu-raguan dari wajah Ivan.

"Anu... Ayah dan ibuku sedang pergi... Aku disuruh jaga rumah."

"Kalau begitu, kita main di dalam saja, gimana?"

Seketika aku langsung mengubah rencana awal. 

Pokoknya aku harus bisa main dengan mereka untuk yang terakhir kali.

"Mmmm... Baiklah. Oh iya, aku juga punya mainan baru lho! Ayo masuk, akan kuperlihatkan!"

Ivan berubah ke mode pamernya.

".... Oke, kalau begitu, aku akan ajak Elora dulu. Kalian duluan saja!" Kataku sambil berlari menjauh.

Aku berlari menuju rumah Elora.

Capek juga ternyata, aku memutuskan untuk berjalan saja.

"Eloorraaa!!! Main yoooookkkk!!!" Teriakku sambil mengetuk pintu rumah Elora.

Tak ada jawaban.

Kuketuk pintu lebih keras.

"Elorraaaa!!! Ini Andreee!!"

"Iyaa!! Aku lagi turun ini!!!"

Terdengar suara anak perempuan yang membalas teriakan Andre.

Tak lama kemudian Elora membukakan pintu untukku.

Wajahnya terlihat lebih kurus dibandingkan saat kami terakhir bertemu sebulan lalu.

Yah, seperti yang kukatakan sebelumnya, kami memang sudah tidak pernah bermain bersama semenjak banyak di antara kami yang pindah. Apalagi sekarang ia adalah anak perempuan sebdiri di perkumpulan kami.

"Lho, kamu sendirian?"

Aku mengangguk.

"Cuma berdua mau main apa?"

"Nggak, Nicholas sudah menunggu di rumah Ivan. Kita main di sana aja."

Elora terlihat ragu.

"Bentar ya, aku minta izin ayah dan ibuku dulu." Katanya sambil masuk ke rumahnya membiarkan pintu terbuka.

Aku mengintip, terlihat Elora berlari ke lantai 2.

Terdengar samar-samar suara ibu Elora.

"Ya sudah, jangan malam-malam ya mainnya. Jangan lupa kristalmu."

Tak lama kemudian terlihat Elora turun dari lantai 2.

"Maaf membuatmu menunggu, yuk berangkat!" Katanya ceria.

Kami pun berangkat ke rumah Ivan.

Sepanjang jalan, Elora tidak terlihat seceria biasanya. Wajahnya tersenyum ceria, tapi terlihat seperti ada yang ia khawatirkan.

"Lor, kamu kepikiran sesuatu?"

"... Kepikiran sesuatu?" Tanya Elora balik, wajahnya terlihat bingung.

"Wajahmu kaya lagi mengkhawatirkan sesuatu. Apa ada masalah?"

Senyumnya masih terlukis di wajahnya, tapi terlihat ia menahan sesuatu.

"Ibuku sakit... Sudah 2 minggu ini."

Mendengarnya membuatku terkejut.

Tapi setelah kupikir sejenak, sebenarnya tidak terlalu mengejutkan kalau ada yang sakit di situasi seperti ini.

Terlebih warga desa kecil seperti Lesnoy, pastilah akan mudah terjangkit penyakit di masa-masa seperti ini.

Ditambah lagi tidak ada dokter di sini.

"Kamu nggak papa?"

Aku malah bertanya hal bodoh.

Tentu saja ia kenapa-napa.

Siapa yang gak khawatir melihat ibunya sakit?

Apalagi dalam kondisi tidak bisa berbuat apapun?

"Gak papa kok, tiap hari aku selalu mengobati ibu pakai kristal kelahiranku."

"..."

Aku tidak bisa bicara.

Pertama, aku tidak mengerti dengan apa yang ia maksud dengan 'mengobati pakai kristal kelahiran'

Kedua, aku melihat Elora yang masih tegar meski ia sedang kesulitan.

Sebaiknya aku tidak membahasnya lebih lanjut.

"Oh iya, katanya Ivan punya mainan baru, aku tidak sabar ingin melihatnya!"

"Oh ya? Wah, pasti bakal seru nih!"

Wajah Elora kembali ceria.

Tak terasa kami sampai di rumah Ivan.

"Vaaaannn!!!" Teriakku.

Pintu dibukakan.

"Ayo masuk!" Ajak Ivan.

Nicholas nampaknya sudah terbius oleh mainan barunya Ivan.

Ia tak terlihat ikut menyambut kami.

Aku makin bersemangat, mainan apa yang membuatnya sampai tidak ikut turun menyambut kami.

Kami pun masuk lalu berjalan menuju kamar Ivan.

Di dalam kamar terlihat Nicholas sedang asyik mengotak-atik sesuatu.

Sebuah boneka kayu yang bisa digerak-gerakkan.

"Wuihh, apa itu?"

"Ah, sudah datang kalian rupanya! Lihat, ini mainan yang dikatakan Ivan!"

Aku melihat boneka kayu itu lagi.

Ada beberapa aksesoris yang ditempelkan padanya.

Pedang, perisai, helm...

Benar-benar Nicholas.

"Bagaimana? Keren kan!?" Kata Ivan penuh semangat.

Elora melihatnya, tapi ia nampak tidak begitu antusias.

Mungkin karena ia adalah anak perempuan.

Ah iya, biasanya ia banyak bermain dengan si kembar Annette dan Anna.

"Kau ada mainan lain gak, Van?" Tanyaku.

"Ada lah! Masa anak kepala desa sepertiku tidak punya. Memangnya kalian?"

Lagi-lagi ia pamer.

"Iya, iya. Keluarin juga dong, biar kita bisa main bareng."

Ivan tersenyum dengan penuh kebanggaan sambil mengeluarkan kotak yang berisi mainannya.

Banyak juga ternyata, aku agak terkejut.

Kami jarang bermain di rumah Ivan karena ibunya cerewet.

Ada beberapa mainan yang menarik perhatianku.

Sebuah pisau mainan, kuda-kudaan kayu yang kakinya berupa roda, dan penutup mata berwarna hitam.

Sepertinya aku tahu aku mau main apa.

Kulihat Elora, nampaknya ia juga tertarik dengan sesuatu.

Kulihat tangannya memegang sebuah boneka kayu yang didandani layaknya bangsawan.

Tapi bajunya terlihat kusam.

Mungkin Ivan tidak terlalu suka dengan mainan tersebut, lalu ia biarkan begitu saja.

"Van, kamu punya baju lain buat ini?" Tanya Elora pada Ivan sambil menunjukkan patung kayu yang ia pegang.

"Oh, itu toh. Kayanya ada, tapi aku gatau kutaruh mana. Aku ga suka mainan itu, jadi kubiarin aja."

Elora merengut.

Eh, itu bukannya...?

Aku melihat sepotong kain yang tertindih. Kuangkat kain itu, ternyata itu adalah salah satu dari pakaian si boneka kayu.

"Ah!"

Elora langsung menyambar pakaian mini itu dari tanganku.

Wajahnya berseri-seri melihat sepotong pakaian itu.

Ia sepertinya senang sekali.

"K... Kau suka dengan boneka itu, Elora?" Tanya Ivan.

Elora mengangguk dengan penuh semangat sembari menunjukkan wajah yang berseri-seri.

"Y... Ya sudah. Buatmu saja, toh aku juga tidak suka mainan itu." Kata Ivan dengan wajah merah.

Ah... Aku juga pernah dengar gosip.

Ivan suka dengan Elora.

Tapi aku tak begitu tertarik dengan pembahasan seperti itu, jadi aku tak terlalu antusias mencari tahu kebenarannya.

"Sungguh!? Terima kasih, Ivan!" Kata Elora sambil memeluk Ivan.

Wajah Ivan bertambah merah, dengan terbata-bata ia berkata,

"I... Iya, sudah sana! Ja... Jangan peluk aku!"

Meski ia berkata seperti itu, wajahnya mengatakan hal yang berbeda.

Aku hanya tersenyum mengejek melihat mereka berdua.

Sementara itu Nicholas, ia masih saja bermain dengan boneka kayu yang sedari tadi ia mainkan.

Ah, nanti sajalah memberitahu mereka.

Aku mau main dulu sekarang.

 

"Hahaha! Kau sudah kalah, Konstantin! Sekarang, seluruh hartamu akan menjadi milikku!"

Aku memeragakan seorang penjahat yang bertarung melawan seorang bangsawan.

"Tolong...! Eriiikk, toloongg!!"

Elora memeragakan bangsawan yang melawanku. Ia menggunakan boneka bangsawan yang sudah ia dandani sedemikian rupa.

Padahal bangsawannya itu laki-laki, tapi Elora berakting seolah-olah ia perempuan.

"Hahahaha! Aku mendengar ada yang minta tolong? Sang pahlawan, Erik telah datang!"

Ivan memeragakan dirinya menjadi seorang ksatria. Tadinya ia sempat berselisih dengan Nicholas mengenai peran ini, tapi akhirnya Nicholas mengalah setelah diultimatum kalau ia tidak boleh meminjam boneka kayu yang sedari tadi ia mainkan.

"Sang pahlawan! Untunglah dia sudah datang! Tolong kami melawan Damien!"

Nicholas memeragakan seorang prajurit bawahan Elora. Sama seperti Elora, ia menggunakan boneka kayu yang sudah dipasangi aksesoris layaknya seorang prajurit.

"Erik! Tolong!"

Wah, nampaknya Elora sangat mendalami perannya. Aktris teater hari kemenangan memang beda.

"I... Iya! A... Aku d... datang!" Kata Ivan terbata-bata.

Aku dan Nicholas melihatnya dengan tatapan sinis.

Pahlawan kok gaada wibawanya.

Aku dan Ivan pun bertempur secara main-main.

Sampai suatu ketika ia memukulku beneran.

Sakit tahu, sialan.

Kubalas memukulnya, tepat di pipi Ivan kudaratkan kepalan tanganku.

"Apaan sih, Ndre! Kok mukulnya beneran!"

Ivan terlihat kesal.

Yang kesal itu harusnya aku.

Mentang-mentang ini mainan milikmu, kau bebas melakukan apapun?

"Kau duluan yang memukulku beneran! Sakit tau!"

Ivan kembali memukulku.

Sialan, kalau mau berantem sini akan kuladeni.

Usia kita memang terpaut 3 tahun, tapi aku tidak akan kalah melawanmu.

Kubalas pukulan Ivan.

Kami pun berantem sungguhan.

Melihat keadaan yang semakin memanas, Nicholas berusaha melerai kami.

Tapi, wajahnya malah terkena pukulan Ivan.

Nicholas has joined the fight.

Kami bertiga berantem.

Pukul-pukulan, tendang-tendangan.

Yang tadinya aku hanya bermasalah dengan Ivan, kali ini aku kesal juga dengan Nicholas.

Yang memukulnya kan Ivan, kenapa aku harus ikut dipukuli juga?

"Hentikaaan!!"

Kali ini Elora berusaha melerai kami.

Tentu saja tidak ada satupun dari kami yang mendengarkan suaranya.

Saat hendak memukul wajah Nicholas dan Ivan, ada yang menahan tanganku.

Jangan menahanku!

Bugh!

Mendengar suara itu, kami berhenti berantem.

Kulihat sumber suara tersebut.

Elora terlihat tak sadarkan diri di pojokan ruangan.

Sepertinya ia terlempar ketika berusaha melerai kami.

Kami segera bergegas mendekatinya.

Ivan terlihat sangat panik, apalagi setelah melihat sedikit bercak darah di dinding kamarnya.

Sepertinya kepala Elora bocor karena terbentur dinding.

Ivan menoleh ke arahku.

Ekspresi wajahnya terlihat sangat marah.

Ah...

Jangan-jangan tadi Elora yang berusaha menahanku.

Aku tak kuasa melakukan apapun.

Aku tak pernah melihat orang yang cedera separah itu.

Aku panik...

Aku tidak bisa melakukan apapun...

Tanpa sadar aku melangkahkan kakiku mundur.

Aku berlari keluar dari rumah Ivan.

"Andre! Kau mau ke mana!?"

Terdengar suara Nicholas memanggilku, tapi aku tidak menghiraukannya.

Aku berlari menjauh sampai aku capek sendiri.

Hosh... hosh... hosh...

Apa yang kulakukan?

Harusnya aku berpamitan pada mereka dengan baik-baik.

Sekarang malah muncul masalah baru...

Apa aku harus berpisah dengan mereka dalam kondisi tidak baik seperti ini?

Aku ingin berbalik kembali ke rumah Ivan.

Tapi, langkahku terhenti.

Ah...

Aku takut...

Mereka pasti akan membenciku sekarang.

...

...

Ahahahaha...

Kenapa aku berpikir begini?

Aku percaya pada mereka.

Mereka pasti akan memaafkanku.

Aku kembali melangkahkan kakiku ke rumah Ivan.

Ketika sudah dekat, kulihat orangtua Ivan sudah pulang.

Mereka melihat ke arahku.

"Lho, Andre? Sedang apa kamu di waktu seperti ini?" Tanya ayah Ivan.

"Kau! Kau mau mencuri di tempat kami ya!" Kata ibu Ivan sambil mengacungkan jarinya padaku.

"Dasar, ayah dan anak sama saja! Pergi kau dari sini!" Lanjut ibu Ivan.

Mencuri...?

Terakhir kali aku dituduh mencuri itu setahun yang lalu.

Saat aku mencuri jagung di ladang Bibi Vera.

Sejak saat itu aku tidak pernah mencuri lagi.

Aku bahkan mati-matian menahan keinginanku untuk mengambil barang-barang kecil meski itu bukan barang berharga sekalipun.

Tapi... Ayah dan anak sama saja?

Maksudnya...?

Ayahku kan tidak pernah mencuri...

Ia bahkan yang paling melarangku untuk mencuri.

Pasti ada kesalahpahaman.

Namun sebelum aku membantah perkataan ibu Ivan, suaminya segera mendekatiku.

"Sebaiknya kau pulang sekarang." Katanya sambil menatap tajam ke arahku.

Aku merinding.

Baru pertama kali ini aku mendapat perlakuan seperti ini.

Aku memang sudah berulangkali dimarahi karena ketahuan mengambil barang.

Tapi, aku belum pernah diperlakukan seperti pencuri saat aku tidak mengambil apapun.

Aku takut.

Kubalikkan badanku. Aku kembali berlari menjauh dari rumah Ivan.

Kenapa aku diperlakukan seperti ini?

Aku sudah berusaha keras selama setahun ini.

Tapi, begini perlakuan yang kudapatkan?

Aku bahkan tak ada niatan mengambil apapun.

Tanpa sadar air mataku menetes.

Ah...

Sakit sekali rasanya.