Ahh... Gagal lagi misi kali ini.
Bibi Vera tidak pernah membiarkanku kabur dengan membawa jagung yang kucuri.
Padahal jagung di ladang miliknya masih sangat banyak.
Kenapa sih dia begitu marah, padahal hanya beberapa buah yang kuambil?
Duh, dia mengancam akan melaporkan ke ayah dan ibu lagi.
Alamat dimarahi besar-besaran bakalan nih...
Bibi Vera menarikku sampai rumah.
Dengan marah-marah, ia memberitahu pada ibuku.
Ibuku berulangkali minta maaf padanya.
"Pastikan dia jangan sampai mengulangi perbuatannya lagi!" kata Bibi Vera pada ibuku.
"Baik, maaf sekali lagi, Nyonya Vera." Kata ibuku sambil membungkukkan badannya.
Setelah itu, Bibi Vera pergi dari rumahku.
Pintu rumah ditutup, ibuku memandangku dengan tatapan yang sangat mengerikan.
Kalau bisa kudeskripsikan, wajahnya mirip seperti monster bergigi tajam yang siap melahap mangsanya saat itu juga.
"Andre..."
"I... Iya, bu...?"
"Kau mencuri jagung dari ladang keluarga Nyonya Vera?"
Aku mengangguk pelan dan menunjukkan wajah yang memelas. Kuharap ibu sedikit lunak padaku.
Harapanku tak terkabul.
Aku dimarahi habis-habisan.
Tak hanya itu, aku dihukum tidak boleh keluar rumah selama seminggu.
Yang kulakukan hanya pasrah, aku juga takut dengan amarah ibuku.
Ketakutanku bertambah saat mendengar suara ayah yang pulang.
Double kill bakalan ini.
Kudengar suara langkah kaki perlahan naik menuju lantai 2.
Sepertinya ayah sedang menuju ke kamarku.
"Andre, Kau di dalam?" Tanya ayahku dari balik pintu.
Jantungku berdegup kencang. Aku sungguh sial, pasti ayah akan memarahiku seperti ibu.
Aku tak berani membalas perkataan ayah. Aku terlalu takut mendengar amarahnya.
"Ayah masuk ya." Katanya pelan.
Begitu ayah masuk, wajah kami saling bertatapan.
Kulihat raut wajahnya, wajahnya masih seperti biasa, tidak terlihat sedikitpun amarah.
"Kau di dalam toh? Kenapa tidak menjawab perkataan ayah?"
Aku terdiam, aku masih takut menjawabnya.
Ayah menghembuskan napasnya.
"Ayo turun." Katanya sambil menarik tanganku.
Aku tak kuasa melawan tangan ayah yang menarikku perlahan.
Tubuhku lemas sekali, pasti aku akan dimarahi lagi. Kali ini double, serangan ayah dan ibu.
Ayah menarikku ke lantai bawah.
Aku disuruh duduk di kursi, aku menurut saja. Sekarang lebih baik pasrah saja daripada aku tambah dimarahi lebih hebat.
"Kudengar, tadi kau mencuri jagung di ladang Nyonya Vera?" Tanya ayah.
Aku mengangguk pelan.
"Ayah tidak mendengar apapun." Kata ayah datar namun sangat mengintimidasi.
"Iya, aku mencuri jagung di ladang Bibi Vera, yah." Kataku.
Ayah kembali menghembuskan napas pelan.
"Kau tahu kan kalau mencuri itu hal yang salah?"
"Ya, aku tahu. Aku minta maaf, yah."
"Kenapa masih kau lakukan?"
Nampaknya ayah tidak menghiraukan permintaan maafku.
"Aku disuruh oleh Maxim. Katanya itu adalah misi yang diberikan padaku."
Ayah menggelengkan kepalanya.
"Aku tanya, kenapa masih kau lakukan, padahal kau tahu itu salah?"
Aku kebingungan pada pertanyaan ayah kali ini, bukankah aku sudah menjawabnya? Dan lagi, sepertinya jawabanku cukup jelas.
"Kenapa kau diam? Jawab."
Suara ayah terdengar pelan, namun sangat tegas.
"A... Aku kan sudah menjawabnya...." Kataku.
"Itu bukan jawaban." Katanya
Sekali lagi aku bingung apa yang harus kukatakan.
"A... Aku bingung yah. Aku bingung apa yang harus kukatakan."
Ayah menatapku tajam, lagi-lagi ia menghembuskan napasnya.
"Kenapa kau mau melakukannya? Kenapa kau mau melakukan apa yang dikatakan Maxim, meski kau tahu itu salah?" Ayah menjelaskan pertanyaannya.
"I... Itu..."
Aku tahu mencuri memang salah.
Aku tahu, seharusnya aku tidak mengikuti perintah Maxim.
Tapi, aku juga ingin bermain bersama anak-anak sebayaku.
Aku tidak memiliki saudara kandung, ayah selalu sibuk dengan pekerjaannya dan ibu selalu sibuk dengan urusan rumah tangga.
Dengan siapa aku akan bermain?
Aku ingin bergaul bersama mereka, aku ingin bermain bersama mereka.
Tapi aku takut, kalau aku melawan perkataan mereka maka aku akan ditinggalkan.
Aku kesepian...
Tanpa sadar, air mataku menetes.
"A... Aku takut kalau aku tidak menuruti perkataan mereka, aku akan ditinggalkan."
Ayahku berhenti menatapku dengan tajam.
"Kami tahu, sejak kecil kau ini selalu mengumpulkan benda-benda kecil yang entah dari mana asalnya. Tapi, mencuri itu salah. Apalagi sampai mencuri barang yang jelas-jelas milik orang lain."
Sejak kecil, aku memang sering sekali mengumpulkan benda-benda aneh yang menurutku menarik, terlepas dari nilai dan kepemilikan benda itu. Itulah kenapa aku pernah disebut pemulung kecil.
Tapi sekarang berbeda. Aku sudah sangat jarang mengambil barang-barang. Aku sudah tahu kalau itu hal yang buruk untuk dilakukan.
Ayah menekuk lututnya sehingga wajahnya sejajar denganku. Ia menatapku tepat di depan wajahku
"Apapun alasanmu, kelakuanmu itu salah. Kau tidak bisa mencari pembenaran terhadap perilakumu, meski kau terpojok sekalipun."
Kali ini ayah lalu mengelus kepalaku.
"Tapi, ayah mengerti kenapa kau melakukan ini. Ayah percaya bahwa putra ayah satu-satunya ini tidak akan mencuri karena alasan sepele."
Ya, tentu saja.
Kalau ada pilihan lain, tentu aku tidak akan mencuri.
Kedua orangtuaku tidak pernah mengajariku untuk mencuri.
Bahkan saat aku ketahuan mengambil cincin milik keluarga Daniel, aku langsung dimarahi habis-habisan.
Ayah beranjak dari posisinya.
"Nah, sekarang ayo kita makan jagung rebus dari Nyonya Vera tadi." Kata ayahku.
Dari dapur, ibu membawa keranjang berisikan beberapa buah jagung rebus yang masih hangat.
"Tadi, di perjalanan pulang ayah menjumpai Nyonya Vera di depan rumahnya. Ia memberikan jagung rebus ini pada kita. Ia berpesan pada ayah agar Andre jangan sampai mencuri lagi. Kalau memang ingin, lebih baik meminta." Kata ayah.
Ah.... Aku jadi merasa bersalah pada Bibi Vera.
Bibi Vera memang galak. Sudah sering sekali anak-anak seumuranku tak luput dari amarahnya. Sedari kecil bahkan sudah tak terhitung berapa kali aku dimarahi oleh beliau.
Namun, beliau begitu baik hati. Seperti sekarang, nampaknya ia juga tidak ingin anak-anak sepertiku tumbuh menjadi anak yang memiliki perilaku buruk.
"Besok, pastikan kau minta maaf pada Nyonya Vera." Kata ayah.