Chereads / Flowers of Battlefield / Chapter 11 - Lilac (2)

Chapter 11 - Lilac (2)

Alvaros masih menyusuri goa bawah tanah itu sambil menggendong Rashuna.

Entah sudah berapa lama mereka di dalam situ, entah apakah hari sudah malam atau masih sore mereka juga tidak tahu.

Alvaros menemukan percabangan lagi, kali ini keduanya terasa angin berembus.

Alvaros bertanya pada Rashuna, "Hei, kanan atau kiri?"

"A...Apanya?"

"Ini... Ada jalan bercabang, dua-duanya ada angin berembus. Kanan atau kiri?"

"Ke... Kenapa kau bertanya padaku?"

"Sudah, jawab saja. Aku malas mikir."

"K... Kiri."

Alvaros berjalan melewati jalur yang dipilih Rashuna.

Sebetulnya Alvaros sudah sangat lelah, ia berjalan sangat lama sambil menggendong Rashuna.

Ia juga mulai mengantuk.

Tiba-tiba Alvaros terjatuh, ia sudah terlalu lelah berjalan.

"Aranel! Kau kenapa? Aranel! Di mana...?" Kata Rashuna sambil meraba-raba mencari Alvaros.

Seketika ketakutan mulai melingkupi Rashuna kembali. Semula ia sudah cukup tenang meski belum berani membuka matanya. Namun sekarang, ketakutan yang ia rasakan sebelumnya kembali dirasakannya.

"Hiks... Hiks..." Rashuna kembali menangis.

"Jangan menangis... Aku... Jadi susah tidur..." Kata Alvaros lemas.

Mendengar suara Alvaros, ia menjadi lebih lega, ia segera meraba-raba mencari Alvaros lalu merangkak mendekatinya.

"Ja... Jangan tinggalkan aku..." Katanya pelan.

"Enggak... Jadi biarkan aku tidur sebentar, kau itu berat, bikin capek." Kata Alvaros.

Tak butuh waktu lama Alvaros pun tertidur.

Rashuna yang juga lelah juga tidak kuasa untuk menahan kantuknya.

Ia merasa lebih tenang sekarang.

Mereka lalu tertidur di goa itu bersama.

"Al... Al..."

"Sembunyi..."

"HUWAAH!" Teriak Alvaros, mimpi itu lagi yang membangunkannya.

Rashuna terkejut mendengar teriakan Alvaros, ia ikut terbangun.

Alvaros terengah-engah setelah terbangun.

"K... Kau kenapa?" Tanya Rashuna.

"Tidak apa-apa, maaf mengagetkanmu." Jawab Alvaros.

Alvaros lalu berdiri, ia hendak melanjutkan perjalanannya.

"Ayo." Ajak Alvaros.

Rashuna mencoba berdiri, namun kakinya masih sakit.

"Kakimu masih terkilir? Sini kulihat."

Alvaros membuka sepatu Rashuna, ia melihat ternyata pergelangan kaki Rashuna membengkak.

Alvaros merobek sedikit kain pada seragam prajuritnya. Sobekan itu ia ikatkan ke pergelangan kaki Rashuna.

Setelah ia memasang kain itu, Alvaros menggendong Rashuna lagi, ia kembali berjalan sambil menggendongnya.

"... Kenapa kau begitu baik padaku? Padahal kalau kau tinggalkan aku di sini kau tidak usah kerepotan menggendongku. Lagipula kalau kita berhasil keluar aku bisa saja menangkapmu." Bisik Rashuna pelan.

"Akhirnya bicara juga dirimu." Kata Alvaros dengan nada mengejek.

"Bayar hutang. Kau selalu mengoceh kalau kau menyelamatkanku dua kali kan? Kulakukan ini biar kita impas." Lanjut Alvaros.

Rashuna tersenyum.

"Tiga kali." Bisiknya pelan.

"Hah?" Tanya Alvaros kebingungan.

"Tiga kali aku menyelamatkanmu. Yang terakhir saat kau mau kabur dari Strondum kan?" Kata Rashuna.

"Dasar, perhitungan banget sih." Kata Alvaros.

Rashuna tertawa kecil.

Rashuna masih belum mau membuka matanya.

Alvaros berjalan cukup lama menyusuri goa itu.

Ia mendengar suara ombak.

"Kita sudah dekat pintu keluar." Kata Alvaros senang.

"Ya..." Sahut Rashuna.

Tidak lama berjalan, Alvaros melihat setitik cahaya.

"Akhirnya.... Itu ada cahaya, kita bisa keluar lewat situ."

Ketika mereka sudah dekat dengan mulut goa, angin yang bertiup cukup kencang. Alvaros tahu kalau mereka ada di dekat laut dari suara ombaknya.

Ketika mereka keluar dari goa...

Mereka berada di sebuah tebing curam, di bawahnya terdapat bebatuan yang terjal. Bagian atas dari tebing juga terlalu curam untuk dipanjat.

Alvaros terjatuh dengan posisi duduk.

"Sial..."

"A... Ada apa?" Tanya Rashuna.

"Lihatlah sendiri."

Rashuna membuka matanya perlahan, ia melihat matahari yang mulai terbit dari ufuk timur.

"Indah sekali..." Katanya terpana.

"Indah? Ya memang sih, tapi bukan itu masalahnya! Kita tidak bisa keluar kalau lewat sini!" Kata Alvaros putus asa.

"Ya tinggal kembali ke tempat tadi, kita ambil jalur yang satunya." Kata Rashuna.

"Kau sih enak, nggak capek gara-gara kugendong. Aku nih! Kau itu berat, tahu!" Kata Alvaros kesal.

Rashuna tertawa kecil. "Ya sudahlah, kita istirahat dulu saja di sini." Usul Rashuna.

Tanpa disuruh, Alvaros lalu membaringkan dirinya di tanah.

Rashuna melihat ke arah Alvaros.

"Aranel...? Rambutmu kenapa?"

Alvaros mencabut sehelai rambutnya, ia menyadari ternyata rambutnya sudah setengah kembali seperti semula.

"Aku ini orang Dragnite." Katanya dengan logat Dragnite bagian barat.

Rashuna terkejut mendengarnya. Selama ini ia mengira Alvaros adalah Orang Ceres yang mengkhianati negerinya sendiri.

"K... Kalau kau orang Dragnite... Kenapa kau tetap membantuku? Kita ini kan musuh." Tanya Rashuna.

Alvaros menghela napas. "Dengar ya, dasar cerewet. Sudah kubilang aku berhutang padamu, itu bukan masalah negara kita musuhan atau nggak, itu masalah pribadi. Aku nggak mau berhutang pada siapapun." Jawab Alvaros.

"Lagipula yang membuat perang ini juga kalian sendiri kan?" Lanjut Alvaros sambil menggigit roti yang ia ambil dari kantong celananya.

"Kami yang bikin perang!? Kau jangan ngaco! Dari awal kan Dragnite yang mencuri artefak kami!" Bantah Rashuna.

"Halah, memang ada buktinya kalau kami yang nyuri? Kalian cuma asal nuduh aja kan. Nih, makan." Kata Alvaros sambil melemparkan sepotong roti terakhir yang ia punya pada Rashuna.

Rashuna menangkap roti itu. "Kau itu yang ngomongnya asal! Kami punya saksi yang melihatnya! Sudah nyuri, kita ngomong baik-baik malah ngelunjak, sampai sekarang juga kalian nggak mau mengembalikannya!" Kata Rashuna sambil memakan roti pemberian Alvaros.

Alvaros menghabiskan roti yang ia makan.

"Kami itu bukannya nggak mau mengembalikan. Barangnya saja nggak ada, gimana mau mengembalikan?"

"Sudahlah, gak usah cari alasan. Ada buktinya juga. Di tempat kejadian ditemukan lambang salah satu bangsawan Dragnite." Sanggah Rashuna lagi.

"Dia juga udah ditahan di tempat kami. Udah ditanyain dan bilangnya nggak tahu apa-apa." Kata Alvaros.

"Lagian kami juga masih melakukan penyelidikan, kalian aja yang tiba-tiba ngasih deklarasi perang. Udah gitu, sekarang salah satu kota kami jadi hancur gara-gara kalian. Dasar bangsa yang nggak sabaran." Kata Alvaros.

Mendengar kalimat terakhir Alvaros, Rashuna tersinggung.

"Kau memangnya tahu apa? Itu artefak yang sangat penting bagi kami!" Kata Rashuna dengan nada agak tinggi.

"Tahu kok, itu salah satu sumber energi kalian kan?"

"Tepatnya penyeimbang."

"Penyeimbang?"

"Ya. Artefak itu adalah penyeimbang energi alam di Ceres. Kami memang menggunakan energi alam untuk sihir, artefak itu semacam menaruh kembali energi yang sudah dilepaskan ke udara."

Alvaros manggut-manggut, tapi sebenarny ia bingung dengan jawaban Rashuna.

"Tunggu, kalau artefak itu yang melakukannya, berarti kalau artefak itu hilang sama saja nanti lama kelamaan energi alam Dragnite pun juga akan habis?"

"Tidak. Cakupan artefak itu hanya seluas wilayah Ceres. Menurut legenda, artefak itu adalah pemberian leluhur kami, Bangsa Elf. Mereka mengatakan artefak itu akan menjamin kehidupan di seluruh wilayah kekuasaan raja Ceres. Lagipula, kalian kan juga tidak pernah menggunakan energi alam untuk sihir seperti kami, gimana mau habis?" Rashuna menjelasakan pada Alvaros.

"Bisa gitu ya, enak sekali kalian." Komentar Alvaros.

Rashuna menghabiskan roti lalu mengeluarkan botol air miliknya, ia minum kemudian menawarkannya pada Alvaros.

Alvaros menerimanya dan langsung minum hingga air tersisa setengah.

"Kita harus hemat air, tidak tahu kapan kita akan bisa keluar dari sini." Kata Alvaros.

Rashuna mengangguk.

Mereka terdiam.

"Kau sudah menemukan kristal kelahiranmu?" Tanya Alvaros.

Mendengarnya, Rashuna terkejut dan menjadi muram.

"Belum... Dari mana kau mengetahui hal itu?" Tanya Rashuna.

"Salah seorang prajurit Ceres tadi menceritakannya." Jawab Alvaros.

"Oh begitu..."

Rashuna terlihat sangat sedih, ia tidak melanjutkan pembicaraan.

"Aku benar-benar tidak berguna." Katanya.

"Saat misi pertamaku di Irenbelle pun... Aku sama sekali tidak bisa mengalahkan fenrir yang mengamuk... Kemudian aku melepaskan mata-mata yang kabur... Sekarang ketika aku diberi kepercayaan untuk ikut serta dalam pertempuran, aku malah kehilangan kristal kelahiranku..." Lanjutnya.

Alvaros menjitak kepala Rashuna.

"Aduh! Untuk apa kau lakukan itu!?" Kata Rashuna kesakitan.

"Woi sadar! Kau ini, dulu waktu di Irenbelle juga kau mengeluh seperti ini, tapi nyatanya malah kau yang menyelamatkan aku, dua kali!" Kata Alvaros.

"Kalau kau sekarang kehilangan kristal kelahiranmu, harusnya kau senang karena kau tidak perlu lagi membunuh orang lain! Kalau soal sihir, memang kau tidak bisa hidup tanpanya!? Dasar orang Ceres, otaknya sihir melulu!" Lanjut Alvaros.

"Kau kira perang itu menyenangkan!? Kau kira membunuh orang itu menyenangkan!? Kau kira membunuh musuh di medan perang itu membanggakan!?" Kata Alvaros tanpa menjeda perkataannya sedetik pun.

"NGGAK SAMA SEKALI!" Seru Alvaros lalu terengah-engah, ia kesal dengan apa yang dikatakan Rashuna.

Rashuna hanya terdiam mendengar Alvaros berkata demikian.

"Sebelum aku menjadi anggota regu pengintai, aku ini prajurit biasa. Aku pernah beberapa kali bertarung di medan perang. Kesempatan-kesempatan bertarung itu selalu membuatku hampir terbunuh, untunglah aku tidak terbunuh." Lanjut Alvaros.

"Setiap kali aku menebas musuh... Aku selalu melihat mata mereka... Mata yang mencerminkan kebencian dan keputusasaan..."

"Aku sadar, musuh-musuhku ini juga memiliki keluarga dan orang-orang yang menunggu mereka pulang dari medang perang. Aku sadar bahwa perang ini tidak benar. Tidak seharusnya kita merenggut nyawa dari orang-orang tersebut meski ia adalah musuh kita."

Alvaros berhenti berkata-kata, ia terengah-engah karena terlalu terbawa emosi tadi.

"... Lalu kenapa kau masih menjadi prajurit?" Tanya Rashuna.

"Aku menjadi anggota regu pengintai yang tidak bertugas secara langsung di medan perang. Aku menyadari ada yang tidak beres dengan perang ini. Begitu ada perekrutan anggota regu pengintai, aku segera mengajukan diri. Aku ingin berperan dalam menghentikan perang ini. Jangan sampai ada darah para prajurit lagi yang tertumpah hanya karena kepentingan penguasa." Jawab Alvaros.

Rashuna manggut-manggut.

"Maka dari itu, kau jangan mudah menyerah seperti yang sebelum-sebelumnya. Kau itu kuat." Kata Alvaros.

Mendengar kalimat terakhir Alvaros, Rashuna merasa ditampar. Alvaros tidak bisa menggunakan sihir dan tentu tidak berbakat seperti dirinya, namun ia tidak mudah menyerah meski dalam keadaan terpojok sekalipun.

"Terima kasih..." Ucap Rashuna dengan tersenyum.

Matahari sudah meninggi, langit yang tadinya masih remang-remang mulai terang.

"Ayo kita kembali, kita harus keluar dari sini secepatnya." Ajak Alvaros.

"Baik." Kata Rashuna sambil mencoba untuk berdiri.

"Sudah sini kugendong saja, nanti malah kakimu tambah parah." Kata Alvaros bersiap untuk menggendong Rashuna.

"Biar aku jalan sendiri, aku tidak mau merepotkanmu terus." Kata Rashuna.

Alvaros tersenyum mendengarnya.

"Huh, dasar tukang repot." Katanya sambil membantu Rashuna berdiri.

Alvaros membantu Rashuna berjalan dengan memapahnya.

Ketika hendak masuk goa, tubuh Rashuna kembali gemetar karena takut.

"...Ugh... Aku harus bisa." Katanya dalam hati, ia terus berjalan dengan dibantu oleh Alvaros.

Mereka akhirnya masuk ke dalam goa.

Kali ini Rashuna mencoba untuk tidak menutup matanya seperti yang sudah-sudah. Ia memberanikan diri untuk melawan rasa takutnya.

"Pelan-pelan." Kata Rashuna pada Alvaros.

Alvaros lalu memelankan langkahnya.

Setelah beberapa saat, mereka lalu sampai di percabangan yang kemarin, kali ini mereka memilih jalan yang satunya.

"Kita istirahat dulu." Kata Alvaros.

Mereka berdua lalu duduk. Rashuna mengelus-elus kakinya karena masih sakit.

Akhirnya Rashuna terbiasa dengan kegelapan dan tidak gemetaran lagi.

"Bagaimana kakimu?" Tanya Alvaros.

"Masih sakit..." Jawab Rashuna.

"Tidak usah memaksakan diri begitu, nanti bengkaknya tambah parah." Kata Alvaros.

"Tidak apa-apa, tidak usah pikirkan ini. Sudah kubilang, aku tidak ingin merepotkanmu terus." Kata Rashuna.

"Ya sudahlah, terserah kau saja." Sahut Alvaros.

Mereka beristirahat cukup lama, karena keduanya cukup lelah menyusuri jalan yang panjang.

"Ayo jalan lagi." Ajak Alvaros.

Rashuna mengangguk, Alvaros membantunya berdiri dan kembali memapah Rashuna.

Mereka berjalan cukup jauh dari percabangan tadi.

Tiba-tiba Rashuna terjatuh, kakinya semakin sakit dari sebelumnya.

Alvaros memeriksa kaki Rashuna. Benar saja, bengkaknya semakin parah.

Ia lalu melihat ke arah Rashuna.

Rashuna meringis kesakitan dan napasnya tidak teratur.

Alvaros menempelkan tangannya ke dahi Rashuna, hangat.

Nampaknya Rashuna demam.

"Apa boleh buat..." Gumam Alvaros.

Alvaros mengangkat Rashuna di punggungnya, ia kembali menggendong Rashuna seperti sebelumnya.

"Maaf, aku malah merepotkanmu..." Kata Rashuna pelan.

"Kalau mau minta maaf, harusnya dari tadi." Sahut Alvaros.

Alvaros terus berjalan di lorong goa tak berujung tersebut.

"Aku jadi ingat... Dulu ayahku juga menggendongku seperti ini..." Kata Rashuna pelan.

"Pasti dia sangat sayang padamu." Sahut Alvaros.

Rashuna tersenyum.

"Ya... Dia selalu menggendongku kalau aku menangis. Dia mengajakku berkeliling sebentar lalu aku pasti tertidur setelahnya." Kata Rashuna.

"Apa yang terjadi dengannya?" Tanya Alvaros.

"Sekarang dia sibuk dengan pekerjaannya, kami sudah sangat jarang bertemu." Jawab Rashuna.

Alvaros teringat dengan ibunya.

"Kau dekat ya dengan orangtuamu." Kata Alvaros.

Rashuna tidak menjawab.

"Sepertinya tidur..." Pikir Alvaros

Ia kembali fokus berjalan.

"Sebenarnya siapa sih yang membuat goa sepanjang ini?" Gumam Alvaros.

Ia terus berjalan hingga akhirnya ia menemukan setitik cahaya terang dari atas.

"Hei, lihat. Ada cahaya di sana." Kata Alvaros pada Rashuna.

Rashuna tidak menjawab.

"Badannya makin hangat... Ya sudahlah." Pikir Alvaros.

Ia berjalan ke arah cahaya itu.

Akhirnya mereka berhasil keluar dari goa. Mereka berada di dalam hutan.

Alvaros melihat matahari sudah berada tepat di atas kepalanya.

"Sudah tengah hari... Lama juga aku berjalan." Katanya dalam hati.

Alvaros meletakkan Rashuna di tanah, ia memeriksa suhu badan Rashuna.

Suhunya cukup tinggi, napasnya semakin tidak beraturan.

"Gawat, dia harus segera dirawat." Pikir Alvaros.

Kresek... kresek...

Terdengar suara dedaunan kering yang diinjak sesuatu.

Spontan Alvaros langsung tiarap, ia menunggu sesuatu keluar dari pepohonan.

Kresek... kresek...

Suara itu semakin mendekat.

Alvaros menghunus pisau yang ia bawa, bersiap menyerang kalau itu adalah hewan buas.

Terlihat ada sepasang pria yang muncul dari balik pepohonan.

Melihat bahwa itu bukanlah hewan buas, Alvaros menyarungkan kembali pisaunya lalu berdiri.

"Tentara Ceres!" Kata salah seorang pria itu lalu lari menjauh.

"Tunggu! Aku bukan tentara Ceres! Lihat rambutku!" Seru Alvaros.

Kedua pria tadi menghentikan langkahnya lalu berbalik ke arah Alvaros.

"Tenanglah, aku ini prajurit yang menyamar!" Kata Alvaros.

Perlahan, kedua pria tersebut mendekati Alvaros.

"A... Ada apa ini...? Kenapa anda ada di sini?" Tanya salah seorang pria.

"Aku terperosok ke dalam goa ini, Aku kabur dari Castella. Namaku Alvaros." Kata Alvaros.

Kedua pria itu saling berpandangan.

"A...Aku Rick dan i... ini Thomas." Kata pria itu.

"Apakah ada permukiman di sekitar sini? Aku butuh bantuan." Tanya Alvaros.

"A... Ada. Di sekitar sini ada kamp pelarian penduduk Castella." Jawab Rick.

"Bisakah kalian membawa kami ke sana? Ada seseorang yang butuh perawatan secepatnya." Kata Alvaros.

Alvaros lalu menunjukkan Rashuna. Rick dan Thomas terkejut.

"D...Dia Orang Ceres?" Tanya Thomas.

"Sudah kubilang kami ini prajurit yang menyamar. Tolong bawa kami segera ke kamp itu."

Mereka lalu pergi ke kamp penduduk Castella yang kabur dari kotanya.

Sesampainya di sana, mereka disambut dengan tatapan dari para penduduk. Mereka nampaknya tidak suka melihat kehadiran Alvaros dan Rashuna.

Mereka lalu diantar ke rumah kepala kamp.

"Jadi... Siapa kalian, dan kenapa ada orang Ceres yang dibawa kemari?" Tanya kepala kamp.

"Maafkan saya telah mengganggu ketenangan warga sini, pak. Kami berdua ini anggota regu pengintai yang menyamar. Kami tak sengaja masuk ke dalam goa bawah tanah di dekat Castella ketika hendak kabur dari kejaran prajurit Ceres." Jawab Alvaros.

Kepala kamp itu manggut-manggut.

"Kalian anggota regu pengintai? Putraku juga anggota regu pengintai, kau kenal?" Kata kepala kamp dengan nada yang sedikit mengintimidasi.

Alvaros mencoba mengingat-ingat kira-kira siapa yang dimaksud olehnya.

"Apakah anda ayah dari Cliff?" Tanya Alvaros.

Kepala kamp itu tersenyum mendengar nama yang Alvaros sebut.

"Ya, apakah dia baik-baik saja?" Kali ini kepala kamp berbicara dengan nada yang lebih ramah.

"Kami berpisah di Arcto, saat itu dia baik-baik saja." Jawab Alvaros.

"Syukurlah, setidaknya ia selamat..." Kata kepala kamp dengan tatapan sedih namun juga lega.

"Namaku Robert, silakan kalian tinggal di sini sampai kalian pulih. Aku paham perjalanan kalian pasti sulit kan di goa itu?" Imbuhnya.

"Terima kasih pak, saya sangat menghargainya." Kata Alvaros lega.

Ia lalu meninggalkan tenda Robert dan ikut dengan Rick ke sebuah tenda milik salah seorang penduduk.

Sebelum masuk, nampak Rick berbicara dengan pemilik tenda, mereka sedikit berdebat namun akhirnya Alvaros dan Rashuna diperbolehkan masuk.

Alvaros lalu meletakkan Rashuna di ranjang.

"Kelihatannya demamnya cukup parah." Kata pemilik tenda melihat keadaan Rashuna yang terbaring di ranjang.

"Aku akan memanggil dokter." Kata Rick lalu ia keluar dari tenda.

"Sebaiknya anda juga istirahat." Kata pemilik tenda.

Alvaros mengangguk lalu merebahkan badannya di ranjang satunya.

Ia memainkan tangannya sembari bersantai, namun seketika ia ingat sesuatu.

"Gawat, aku harus laporan ke Komandan Andrea!"

Alvaros segera kembali ke tenda Robert.

"Hosh... Hosh... Hosh... Maaf pak..." Kata Alvaros begitu sampai di tenda Robert sambil terengah-engah.

"Hmm? Ada apa? Apa yang kau perlukan?" Tanya Robert.

"Apakah saya bisa pinjam kuda? Saya harus segera ke Arcto!" Kata Alvaros.

"Tenangkan dirimu dulu... Ada masalah apa?" Kata Robert mencoba menenangkan Alvaros.

"Tidak, aku harus cepat-cepat! Kalau tidak, Arcto dalam bahaya!" Kata Alvaros bersikeras.

"Apa maksudmu Arcto dalam bahaya? Kubilang, kau tenang dulu, jelaskan padaku apa yang terjadi."

Alvaros menarik kerah Robert.

"Aku punya informasi mengenai pasukan Ceres yang akan melakukan serangan ke Arcto. Kalau aku tidak cepat-cepat memberitahu Komandan Andrea, bisa-bisa Arcto akan bernasib sama dengan Castella."

Robert menghela napasnya.

"Maafkan aku. Tapi kami sama sekali tidak memiliki kuda yang bisa ditunggangi. Kalaupun kau mau berjalan dari sinipun aku tak yakin itu akan memakan waktu yang singkat."

Alvaros melepaskan kerah Robert.

"Maksudmu... Aku tidak bisa melakukan apapun?"

"Bukan begitu, tapi memang keadaannya memang demikian. Aku juga tidak ingin Arcto bernasib sama dengan Castella, tapi..." Robert mencoba memberi pengertian pada Alvaros, tapi sepertinya Alvaros tidak mau mendengarnya.

"Sudahlah, aku akan pergi dari sini." Kata Alvaros sambil berbalik dari hadapan Robert.

"Tunggu sebentar." Robert memukul leher Alvaros cukup keras.

Seketika Alvaros tak sadarkan diri.

"Aku paham perasaanmu, tapi saat ini tak ada yang bisa kau lakukan. Istirahatlah dulu, kau itu kelelahan." Kata Robert.