"Kau tidak perlu tahu," ucap Evan yang bangkit mengambil kunci mobilnya dengan srampang.
Pria dengan mata hitam pekat itu menjalankan mobil mewahnya di tengah lalu lalang jalan sekitar Boston dengan kecepatan penuh. Tidak tahu apa yang sedang menganggu pikirannya saat ini namun satu hal yang ia inginkan menyelesaikan urusannya di Boston secepat mungkin dan kembali ke tempatnya.
Mobil mewah itu berhenti di salah satu hotel mewah bintang lima di Boston. Di lemparkannya kunci mobil itu kepada petugas hotel. Meskipun Evan habis minum namun ia masih kuat hanya dengan dua gelas vodka. Ia berjalan menuju lift dan di tekannya angka 25 yang mana kliennya sedang menunggu kedatangan Evan.
Sesampainya ia di lantai 25 terlihat pria kekar dengan berbalut jas hitam sedang menunggu kedatangan Evan. Ia di pandu oleh pria berjas hitam itu ke sebuah ruangan yang mana hanya ada klien dan dirinya. Pertemuan rahasia ini sudah tidak asing lagi buat Evan bahkan ia sudah tahu apa yang akan ia lakukan.
"Chip dan dokumen sudah aku dapatkan tapi tidak akan semudah itu aku memberikannya padamu. Sesuai perjanjian di awal tunjukan terlebih dahulu barang yang aku minta kepadamu," ucap Evan dengan tatapan mata tajam dengan melipat ke dua tangannya di dada.
Pria berumur 30 an itu kemudian menyuruh kepada nak buahnya untuk mengambil barang yang diminta oleh Evan. Sebuah kotak kecil yang tidak tahu apa yang ada di dalamnya membuat Evan memasang mata elangnya.
"Buka!" perintah Evan kepada kliennya namun si pria itu menyuruh anak buahnya yang membuka kotak tersebut. Terlihat barang kecil bersinar memancarkan warna merah seperti rubby mewah.
"This is real?" tanya Evan memastikan bahwa barang yang ia minta bukan tipu muslihat dari kliennya. (Ini asli?)
"Ya, kau bisa memegangnya. Itu merupakan batu kristal seperti yang kau inginkan. Sekarang berikan barangku?" tawar kliennya yang sudah menyodorkan barang yang diminta oleh Evan.
Evan hanya bisa berdesis kecil mendengar tawaran dari kliennya. Ia tahu betul bahwa barang yang saat ini di tunjukkan merupakan salah satu barang palsu yang biasa ia temukan.
Di regangkannya leher Evan yang tidak pegal itu sehingga menimbulkan suara tulang-tulang kakunya. Senyum menyungging yang tampak dari bibir tipisnya itu menandakan bahwa ia sudah kesal di permainkan oleh kliennya itu.
Di saat Evan hendak bangkit dari tempatnya anak buah kliennya sudah berdiri menghadang Evan namun hal itu tidak mengusik pikirannya. Evan mencoba melirik keliling ruangan dan mencoba mengingat kembali berapa jumlah pria berjas hitam itu.
"Oke. Majulah!" teriak Evan yang menandakan ia sudah siap mengahadapi mereka semua dengan seorang diri.
Di keluarkannya pistol kecil dari dalam saku belakang celananya. Pukulan demi pukulan melayang ke arah Evan namun karena kepiawaiannya dalam bertarung ia bisa menghindarinya. Tidak jarang mereka mengarahkan pisau ke Evan yang berhasil ia tahan dengan memutar pergelangan tangan musuh dan menjatuhkannya tepat di hadapan si klien yang berusah untuk kabur dengan diam-diam.
Dor!
Satu tembakan telah diluncurkan ke atas oleh Evan semua yang berada di ruangan tersebut bergidik diam di tempat. Saat mereka mencoba melirik ke arah Evan aura membunuh yang telah mendarah daging di hatinya mulai terpacar keluar. Mereka yang awalnya ingin mendekati Evan dan memulai pukulan lainnya mereka hentikan. Sorot mata yang begitu tajam keluar dari mata hitamnya yang pekat lirik demi lirikan matanya ia tunjukan ke musuh yang membuat mereka menunduk menyerah.
"Tuan Christian. Bukankah sudah aku katakatan di kesepakatan awal bahwa aku tidak segan menghabisi orang yang telah mengingkari janjinya padaku?" tanya Evan sembari melangkah mendekati kliennya yang masih tersimpuh duduk di lantai.
"Saya katakan sekali lagi di mana barang yang aku minta padamu?"
Evan kembali bertanya kepada Tuan Christian yang mana merupakan kliennya hari ini namun tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut tebalnya. Di sodorkannya pistol itu tepat di jantung kliennya dengan tatapan dingin ia mulai menarik pelatuknya.
"Aku mohon kepadamu jangan bunuh aku. Beri aku kesempatan satu kali lagi," pinta Christian yang mencoba mengadahkan kepalanya untuk melihat Evan dengan tatapan penuh memelas.
"Berapa lama?" tanya Evan sebelum ia benar-benar mepaskan pelatuk pistolnya.
"Tiga hari? Ya, berikan aku waktu selama 3 hari saja," pinta kembali Christian penuh dengan permohonan.
Evan yang mendengar alibi Christian itu merasa tidak percaya lagi tanpa ragu ia menekankan lubang pistolnya ke arah di mana jantung kliennya itu berada. Seluruh tubuh Christian seketika kembali gemetar akan tindakan yang dilakukan Evan kepadanya.
"Ahaha ... lucu sekali. Kau bilang 3 hari? Kau memberi waktu padaku saja satu hari untuk menyelesaikan apa yang kau inginkan! Tapi sekarang kau menawar dan meminta waktu 3 hari untuk barang yang aku minta?" tawa Evan mulai mengglegar dalam ruangan.
"Kalau begitu setidaknya 2 hari. Tolong beri aku kesempatan itu kau tahu aku bukan aku mempunyai dua anak dan satu istri yang sedang menunggu ke pulangan ku. Kau pasti tahu bagaimana rasanya jika tidak bisa bertemu kembali bukan?" tawar Christian dengan bercucuran keringat dan tubuh yang terus gemetar.
Senyum seringai dari sudut bibir tipis pria bermata elang itu pun semakin menjadi. Di saat salah satu anak buah Christian hendak mengambil televon kabel yang berada di sudut meja dengan mata elangnya ia langsung melepaskan pelatuknya ke arah orang itu.
Dor!
"Jika salah satu dari kalain yang berani melangkah sejenggal saja akan aku tembak seperti orang itu! Berhenti berbuat hal yang tidak ada gunanya! Jika aku ingin aku bisa meledakkan hotel ini sendiri!" ancam Evan yang mencoba meregangkan otot lehernya.
"Inggris! Barang yang kau minta aku melihatnya ada di Inggirs! Orangnya aku tidak tahu pasti siapa tapi aku yakin ad-"
Dor ... dor .. dor ...
Sebelum Christian menyelesaikan ucapannya pistol itu lebih dulu memotong ucapan si klien dengan sadis. Evan yang merasa terus menjadi pusat perhatian anak buah Christian hanya bisa merasa bodo dengan apa yang telah ia lakukan.
Evan tanpa rasa takut duduk di sofa yang mana masih ada anak buah Christian. Di keluarkannya sapu tangan berwarna merah dari balik jasnya untuk memebersihkan noda darah Christian yang menciprat sampai ke pistol miliknya.
"Jika kalian tidak ingin bernasib sama seperti dia maka bereskan itu sebaik mungkin. Jika aku besok mendengar bahwa namaku disebut di berita pagi maka aku akan menghantui kalian sampai alam baka," ancam Evan sembari bangun dari tempat duduknya dan melangkah keluar.