"Komandan! Saya Harz. Anak yang 3 tahun lalu anda pungut di tempat budak," ucap pria itu dengan menggoyang-goyangkan tubuh Evan.
"Ahaha ... kau sepertinya salah orang anak muda," balas Evan dengan senyum canggung.
"Tidak! Jangan-jangan anda sudah di cuci otak oleh pasukan Kerajaan Porchi. Aku harus lapor ke wakil komandan secepatnya," pria itu terus mondar-mandir tidak jelas.
"Po- apa?" tanya Evan yang lidahnya masih kaku dalam pengucapannya.
Namun kesatria itu tidak menjawab pertanyaan Evan justru ia meninggalkan Evan sendiri di padang luas dengan mayat-mayat bergeletak. Bagi Evan hal itu sudah hal biasa mengingat pekerjaannya namun yang masih membuatnya bingung pakaian dan senjata yang sedang ia pegang.
"Sebenarnya di mana aku? Apa aku melakukan teleportasi? Tidak. Sejak kapan aku mempunyai kemampuan itu. Hal seperti hanya ada dalam novel saja," gumam Evan menggeleng-gelengkan kepala seakan ia menyangkal apa yang sedang terjadi.
Kesatria yang bernama Harz itu datang kembali bersama beberapa gerombolan dengan memakai baju kesatria yang sama dengan apa yang kesatria itu pakai. Tampak pria yang memiliki tinggi tidak jauh beda dari dirinya sedang mengampirinya dengan pedang yang diselipkan di samping bajunya.
"Komandan, tangan anda baik-baik saja?" tanya pria itu saat melihat darah yang di tangan Evan terus mengalir dengan deras.
"Ya?" tanya Evan masih bingung dengan situasi.
"Panggilkan tabib sekarang juga! Kau Colin hentikan pendarahannya terlebih dulu sebelum tabib datang," perintah pria itu yang anehnya semua ksatria mematui perintahnya.
"Apa kau pemimpin mereka?" tanya Evan tanpa tahu melihat situasi.
Pria itu yang merasa asing dari pembawaan cara bicara Evan itu langsung mengeluarkan pedangnya dan tanpa kata pria itu mengarahkan pedangnya tepat di samping leher Evan.
"Siapa kau?" tanya pria itu dengan tatapan dingin dan tajam.
Evan yang merasa sedikit merinding hanya bisa menelan salivanya kembali. Terlihat jelas di mata pria itu sedikit saja Evan mengatakan hal yang menyinggung hatinya maka ia akan kehilangan lehernya bersama nyawa berharganya. Namun Evan tetap diam tapi ia mulai mengadahkan kepalanya sedikit tinggi dan membalas tatapan tajam dari pria itu.
"Wakil komandan! Apa yang sedang anda lakukan? Sudah jelas dia Tuan Duke Louise! Anda tidak lihat tatapannya saja sudah jelas dia Duke kita," terang Kesatria Harz.
Evan yang mendengar apa yang diucapkan oleh pria yang bernama Harz itu mulai memutar otaknya. Ia merasa nama itu tidak asing di kepalanya. Evan mencoba mengingat orang-orang yang ia kenal namun tak ada satu pun yang namanya Duke Louise.
'Duke Louise? Tunggu aku Duke Louise yang itu? Wah ini luar biasa' batin Evan saat mulai ingat dengan nama itu. Nama yang muncul di dalam novel "Revenge Wedding" yang sedang ia baca.
"Katakan! Jika kau Duke kami siapa orang yang sangat kau benci?" tanya pria yang dipanggil wakil komandan oleh Kesatria Harz.
"Haruskah aku mengatakannya di sini?" tanya balik Evan. Ia tahu bahwa Duke Louise tidak pernah berani mengatakan orang yang ia benci ke orang lain selain wakil komandan yang bernama James ini.
Wakil komandan itu langsung menarik pedangnya dan memasukkannya kembali ke kantung pedang di samping bajunya. Saat ia memasukkan pedangnya kembali nampak Colin sudah selesai dalam menghentikan pendarahan di lengan kirinya.
Tabib yang baru datang itu pun langsung memeriksa luka pada lengan Evan. Tidak, sekarang namanya bukan lagi Evan namun Duke Louise D Garbants yang merupakan dewa perang dari Kerajaan Norai.
Setelah Duke Louise selesai diobati mereka kembali ke markas mereka yang mana tmembutuhkan waktu sekitar setengah jam dalam berkuda. Saat ia melihat kuda hatinya mulai ragu apakah dirinya bisa menunggangi kuda atau tidak namun dengan refleks kaki kirinya mulai menginjakkan di pedal kudanya.
Rasa kagum menyelimuti wajahnya yang masih tertutup oleh topeng zirah sehingga orang-orang yang berada di sampingnya tidak mengejeknya. Meski pun tangan kirinya terluka tidak menuntut kemungkinan ia untuk menunggang kuda.
"Komandan dan timnya sudah datang!" seru salah satu kesatria yang sedang menjaga markas.
Sontak semua orang yang mendengar akan seruan kesatria itu keluar menyambut komandannya datang bersama dengan kemenangan di tangannya. Saat mereka tengah pesta minum untuk perayaan kemenangan datang seorang pembawa pesan dengan lambang naga putih yang mana merupakan lambang dari Kerajaan Norai.
"Ada apa?" tanya wakil komandan kepada pembawa pesan itu.
Duke Louise yang belum mendengar balasan dari pembawa pesan itu sudah tahu apa yang akan pembawa pesan itu katakan karena ia masih memiliki ingatan di kehidupan sebelumnya saat ia masih menjadi Evan yang membaca novel "Revenge Wedding"
"Yang mulia ingin saya menyampaikan pesan ini hanya kepada Tuan Duke saja," ucap pembawa pesan itu dengan wajah yang masih menunduk.
Sebelum wakil komandan dan kesatria lainnya keluar sesuai dengan cerita di novel ia lebih dulu mengajukan dirinya untuk pergi dan mencari tempat berdua untuk berbicara dengan si pembawa pesan itu.
Tempat yang tinggi yang bisa melihat seluruh desa dari ketinggian itu membuat suasana di sekitar mereka seperti mencekam, seluruh tubuh si pembawa pesan pun ikut bergemetar melihat suasana yang sedang terjadi.
"Kau tidak perlu takut aku tidak akan membunuhmu. Apa Yang Mulia meminta aku untuk menikahi putri ke 13?" tanya Duke Louise yang sudah memperkirakan akan hal itu.
"Ya, anda benar Tuan Duke," balas pembawa pesan.
Ia tidak tahu harus menjawab apa karena saat ia masih sebagai Evan belum sempat membaca novel itu sampai selesai karena ia terlanjur mati karena kecelakaan pesawat yang ia tunggangi.
"Baiklah kau boleh pergi," perintah Duke Louise dengan wajah flat yang ia tunjukkan.
"Maaf tuan tidak bisakah anda memberikan jawaban langsung," balas pembawa pesan merasa takut akan konsukuensi yang diterima dari kegagalannya dalam bekerja.
"Kalau begitu kau pergilah bersama kami," imbuh Duke Louise yang langsung pergi meninggalkan pembawa pesan itu.
Si pembawa pesan itu masih diam di tempatnya meski Duke Louise sudah pergi lebih dulu. Saat Duke Louise kembali ke tendanya nampak para kesatrianya masih asik minum. Di lihatnya sang wakil komandan yang sedang minum membersihkan pedangnya di tengah pesta meriah itu.
"Sebegitu sukanya kau dengan pedangmu itu?" tanya Duke Louise yang sudah duduk di samping wakil komandan itu.
"Tentu saja. Pedangku merupakan aset yang berharga dalam hidupku," balas wakil komandan itu dengan rasa bangga.
Duke Louise sangat tahu betul bagaimana wakil komandannya itu memperlakukan pedangnya dengan baik. Pedang peninggalan dari mendiang ayahnya yang di wariskan secara turun temurun itu tidak mungkin ia akan mentelantarkannya begitu saja.
Setelah bebepa jam mereka minum-minum merayakan pesta kemenangan nampak para kesatrian sudah mabuk tak sadarkan diri. Duke Louise yang mempunyai pertahanan terhadap alkohol itu nampak masih sanggup minum segelas besar.
"Aku akan kembali ke tenda," kata Duke Louise segera bangkit dan melangkah menuju tendanya.
Wakil komandan yang sudah merasa mabuk itu hanya bisa menganggukkan kepala dengan samar-samar ia melihat sang komandan sedang berjalan sempoyongan menuju tendanya.
Sesampainya di tenda di rebahkannya tubuh besar Duke Louise ke atas tikar yang mana tidak ada busa sedikit pun hanya beralasan jerami yang tertutup oleh tikar itu. Dalam renungannya ia mencoba untuk mengingat kembali isi cerita dalam novel "Revenge Wedding"
Duke Louise mencoba untuk memejamkan matanya dan mengingat isi cerita novel "Revenge Wedding" namun tidak ada satu ingatan pun yang terlintas di pikirannya. Satu hal yang ia masih ingat yaitu pernikahannya dengan putri ke 13 merupakan suatu bencana lain yang akan mengganggu kehidupan tenangnya.
"Benar! Yang perlu sekarang ku lakukan hanya merubah cerita dari novel ini saja. Aku yang akan menjadi kaisar dari kerajaan ini dan aku akan merubah semua tatanan negara agar aku bisa hidup tenang tanpa menyentu darah langsung," gumam Duke Louise yang diikuti dengan rasa kantuk yang sudah tidak bisa ia tahan lagi.
***
"Lapor Komandan! Semua sudah siap! Kepala Kaisar Porchi pun sudah aman di tangan wakil komandan," lapor salah satu kesatrian pasukan Ular Putih yang mana merupakan nama pasukan yang saat ini di pimpin oleh Duke Louise.
"Bagaimana dengan pria pembawa pesan dari kerajaan?" tanya Duke Louise sambil memaikai jubah kesatrianya yang berwarna putih dengan jubah hitam bergambar ular putih yang menutupi tangan kirinya.
"Sudah berada di kuda komandan!" balas kesatria itu dengan tegas.
Setelah Duke Louise mendengar laporan dari kesatrianya itu ia langsung pergi menuju di mana anggota pasukannya sedang menunggu. Duke Louise sudah tahu bahwa beberapa jumlah pasukannya gugur dalam perang ini berkat laporan yang diberikan oleh wakil komandan.
"Apa anda akan naik kuda komandan?" tanya wakil pasukan saat melihat komandannya sudah siap naik ke atas kuda.
"Ya," balas Duke Louise dengan singkat yang kini sudah berada di atas kuda.
"Lalu kereta kudanya untuk apa, komadan?" tanya wakil komdan yang masih belum mengerti apa yang akan dilakukan oleh sang komandan.
"Ehem ... untuk yang tidak bisa menunggangi kuda saja. Aku lebih suka naik kuda dan kita akan kembali ke kediaman Duke lebih dulu," imbuh Duke Louise dengan penuh pertimbangan.
"Apa? Anda tidak akan melapor lebih dulu?" tanya wakil komandan