Dengan santainya Evan keluar dari kamar VVIP itu dengan dada membusung. Noda darah yang ada di tangannya pun kini sudah tidak berbekas. Pistol yang ia gunakan pun kini sudah ia sembunyikan di balik jas hitam.
Di keluarkannya handphonenya dari balik saku celana depannya dengan cepat jarinya menekan tombol kontak dan meluncur mencari nama Ferdi.
"Siapkan aku tiket ke Inggris sekarang juga di penerbangan pertama!" perintah Evan di balik televon. Belum sempat orang di balik televon itu menjawab Evan sudah menutup panggilan itu secara sepihak.
Sembari menunggu notice tiket pesawat dari Ferdi ia duduk di lobi hotel yang mana orang-orang tengah sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Dalam hidupnya tidak pernah sekali pun ia peduli dengan orang lain kecuali orang itu berguna untuknya.
Di tengah asiknya Evan bermain handphone canggihnya ia melihat anak buah Christian yang berjalan tergesa-gesa membawa dua buah koper besar di tangan mereka. Nampak segerombolan polisi datang yang membuat orang-orang terkejut akan kehadiran sang polisi.
Satu buah notice muncul di layar lebar handphone milik Evan. Seperti dugaannya bahwa itu adalah notice dari Ferdi. Evan segera bangkit menuju ke area basment untuk mengambil mobilnya.
Tanpa pikir panjang Evan langsung melajukan mobilnya ke bandara. Ia tidak perlu kembali ke rumah hanya untuk menyiapkan baju dan perlengkapan yang lain karena semua yang ia perlukan sudah berada di bagasi mobilnya. Evan selalu menyiapkan segala macam senjata dan baju dalm bagasi mobilnya mengatasi sewaktu-waktu ia butuh barang itu dengan cepat.
"Mohon perhatian, penerbangan pertama menuju Inggris agar siap pada pukul 11. 30 pm. Di mohon untuk penumpang sudah berada dalam penerbangan"
Pengumuman bahwa pesawat yang akan di tunggangi oleh Evan pun sudah berbunyi yang mendakan ia harus cepat masuk sebelum ketinggalan pertamanya. Di tunjukkannya tiket, visa dan passport itu kepada petugas penerbangan di bandara tidak lupa barang bawaan Evan pun ikut dicek namun semua nampak aman.
Sebelum melakukan pengecekan Ferdi lebih dulu datang ke bandara yang mana ia menyamar menjadi pramugara dalam penerbangan kali ini. Semua senjata yang dibutuhkan Evan sudah aman di dalam genggaman Ferdi.
"Apa anda membutuhkan sesuatu tuan?" tanya pramugari yang sedang bertugas kepada Evan.
"Hm, aku ingin wine dan pemantik," pinta Evan yang sudah nyaman dengan posisi duduknya sambil memegang satu buku novel.
"Maaf tuan di dalam pesawat tidak boleh merokok," balas pramugari itu dengan senyum bisnisnya.
"Aku tahu. Aku minta hanya untuk pegangan saja," terang Evan.
Sebelum pramugari itu pergi mengambil apa yang di minta Evan seorang pria yang memakai baju cardigan berwarna hijau muda itu meminta kepada pramugari itu untuk tidak perlu memberikan pemantik kepada Evan.
"Ini. Kau tidak perlu meminta hal itu kepada pramugari yang ada kau akan memberatkan mereka," tutur pria bercardigan hijau itu kepada Evan sambil memberikan pemantik miliknya.
"Luar biasa. Kau sekarang sudah berpenampilan layaknya penumpang," sindir Evan yang melihar pria itu sudah duduk di sebelahnya.
"Bos, kau itu sangat aneh sekali si tampangnya saja yang dingin seperti gangstar tapi hatinya pencinta novel gitu," sindir balik pria itu kepada Evan.
"Ferdi, tutup mulutmu sebelum ku bakar dengan pemantik ini," ancam Evan yang seketika Ferdi diam dibuatnya.
Di bukanya novel Revenge Wedding yang belum sempat Evan selesaikan. Novel yang bercerita tentang pembalasan dendam seorang Duke Louise D Garbants yang mana korban dari ketidak adilan dari kerajaannya sendiri. Keluarganya yang di bunuh karena tuduhan palsu kasus pemberontakan kepada kaisar yang sebelumnya membuat ia ingin melakukan kudeta. Duke Louise D Garbants di kenal sebagai dewa perang karena ia selalu membawa kemenangan untuk kerajaannya, semua yang menjadi lawannya akan habis dibantai oleh Duke muda ini.
Suatu hari selesai perang ia sudah merencanakan akan melakukan kudeta bersama dengan kaum bangsawan yang tidak menyukai sistem politik yang diberlakukan oleh sang raja. Namun entah kabar buruk atau kabar baik utusan kerajaan menghampirinya di medan perang yang membawa pesan bahwa ia akan menikah dengan putri ke 13 yang mana merupakan salah satu anak haram dari hubungan gelap sang raja.
Di saat Evan tengah asik menikmati bacaannya yang semakin klimaks itu tiba-tiba pesawat yang ia tunggangi berguncang dengan hebat. Di lihatnya ke luar jendela nampak awan hitam yang begitu pekat dengan angin dan kilat yang terus menyambar. Perubahan cuaca yang tidak bisa diperkirakan ini membuat seluruh penumpang gelisah dan panik.
"Diharapkan untuk seluruh penumpang tenang tidak panik. Silakan kembali ke tempat duduk kalian masing-masing. Saat ini pesawat sedang mengalami turbulensi sementara. Tolong pakailah oksigen yang telah di berikan. Di mohon untuk mengencangkan sabuk pengaman kalian. Bagi orang tua yang membawa anak-anak tolong di pantau dengan baik. Kami sedang mengupayakan sebaik mungkin agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan."
Setelah beberapa menit kru pesawat mengabarkan bahwa pesawat sedang mengalami tubulensi yang di akibatkan perubahan cuaca yang tidak bisa diperkirakan ini seluruh penumpang yang masih berjalan ke sana ke mari kembali ke tempatnya.
Sekitar setengah jam sang pilot dan co pilot mencoba untuk mengatasi turbulensi agar pesawat tidak jatuh, bagian pengontrol pun sudah ia hubungi namun karena badai yang datang tiba-tiba itu membuat sang pilot tidak terhubung.
Prang!
Sebuah benda kecil tajam menghantam kaca depan pilot yang membuat pesawat mengalami guncangan yang semakin hebat. Sang pilot yang terkena serpihan kaca itu tidak bisa lagi fokus, nafasnya menjadi begitu berat yang di akibatkan udara luar yang masuk.
"Ferdi, aku belum hosh ingin mati hosh. Jika aku hosh mati hosh aku ingin hosh hidup hosh dengan hosh tenang seperti hosh di novel romance hosh," ucap Evan putus asa saat pesawat yang ia tunggangi sudah mengalami guncangan dahsyat.
"Kau gila! Hosh ... kita mana hosh ada hosh hal seperti hosh itu hosh " balas Ferdi dengan nafas menggebu-gebu.
Tepat pukul 02.15 am pesawat Air Corp jatuh dengan ketinggian 37.000 kaki. Puing-puing badan pesawat belum berhasil di temukan di akibatkan pesawat jatuh tepat di dasar laut dalam. Penumpang dan kru pesawat dinyatakan tewas dalam kecelakaan.
***
"Hosh ... hosh ... hosh ...."
Saat Evan membuka matanya nampak sebuah tempat yang tidak pernah ia kunjungi ataupun ia lihat. Sebuah padang luas dengan orang-orang bergletak penuh darah di bawah kakinya. Sebuah pedang di tangan kanannya dan darah yang bercucur hebat pada tangan kirinya. Saat Evan mulai memandang tubuhnya nampak sebuah zirah besi menempel di badannya.
"Apa yang terjadi? Apa aku sedang bermimpi?" ucap Evan menggelengkan kepala.
"Komadan! Anda baik-baik saja?" teriak pria dengan pakaian ksatria yang menuju ke arahnya.
"Komandan?" tanya Evan yang masih bingung dengan apa yang terjadi.
Pria dengan pakaian kesatria itu berjalan memutar-mutar badannya di raba-rabanya seluruh badan tanpa terkecuali. Evan yang masih bingung itu hanya bisa diam terpaku saat ksatria itu meraba-raba tubuhnya.
"Syukurlah tidak ada yang celaka. Saat saya mendengar anda pingsan saya kira anda sudah mati. Untungnya hanya luka tangan saja. Anda memang hebat komandan," ucap ksatria itu dengan bangga.
"Siapa kau? Di mana ini? Siapa yang membunuh mereka semua?" tanya Evan saat melihat mayat yang bergletak memenuhi tempat pijaknya.