Bab 11
Selesai berbicara dengan Mas Harry, terlihat Bu Arini berjalan ke arahku.
"Puas kamu! Sekarang Mas Harry tak pernah mau mendengar ucapanku. Semua yang ku laku kan, salah terus di matanya. Padahal aku kesini, hendak menjenguk Ibunya," ucapnya tajam, sambil melirik Bu Mentari.
Mas Harry menggelengkan kepala melihat ucapan mantan istrinya. Aku lebih memilih diam. Karena menghargai Bu Mentari yang berada di sebelahku. Bu Arini meletakkan buah tangan ke atas nakas, sambil berucap.
"Semoga lekas sembuh Bu. Saya permisi! Ia pun berlalu dari hadapan kami. Bu Mentari hanya mengucapkan terima kasih. Lalu terdiam sambil menatap punggung wanita itu yang menghilang di balik pintu.
Setelah tiga hari, Bu Mentari pun di per boleh kan pulang ke rumah. Rumah sakit memberikan obat yang paling bagus. Hingga seminggu setelah operasi, beliau sudah bisa berjalan. Stamina nya pun mulai fit kembali. Aku merasa bahagia mendengar kabar baik ini, dari Mas Harry.
Alhamdulillah ... Allah mendengar doaku. Perlahan semangatku muncul kembali. Untuk melanjutkan persiapan pernikahan.
Seminggu setelah kejadian di rumah sakit itu, Bu Arini melakukan perebutan hak asuh anak melalui lembaga Komite Perlindungan Anak dan Perempuan Indonesia. Padahal setahu aku, ia sudah kalah di persidangan sewaktu bercerai dulu. Sepertinya ia terus mencari cara untuk mengacaukan pernikahan kami.
******
Hari ini aku terakhir masuk kerja, karena seminggu ke depan akan libur. Untuk melangsungkan pernikahan. Ku selesai kan semua berkas dan laporan kerja. Setelah beres semua, aku pun berpamitan pada Pak Angga. Lalu aku keluar, mampir ke toilet sebentar untuk merapikan make-up. Karena sore ini janjian dengan Mas Harry untuk membagikan undangan.
Ketika hendak keluar toilet, tiba-tiba pintu nya terkunci. Duhh ... aku paniknya bukan main. Dengan sekuat tenaga ku gedor pintu sambil berteriak, siapa tahu ada orang di luar sana yang mendengarnya. Keringat mulai membasahi baju dan tubuh ini. Oh ya, baru teringat, aku keluarkan hape lalu coba menghubungi Farah atau Pak Angga.
Ya Allah ... tak ada sinyal di dalam toilet ini. Aku pun semakin panik, dan terus menggedor pintu. Lemas rasanya tubuh ini, aku berjongkok memegangi lutut. Air mata mulai meleleh membasahi pipi.
Aku coba menggedor pintu sekali lagi,
dan ... kreeek, pintu terbuka secara tiba-tiba. Terlihat Pak Angga berdiri di depan pintu.
"Laen kali jangan jadi orang yang terakhir kali pulang kantor." Ternyata Pak Angga mendengar suara teriakan dari toilet kamar mandi, ketika hendak turun menuju lift. Beliau menghubungi bagian teknisi gedung ini, untuk meminta kunci cadangan.
Tiba-tiba entah dari mana, muncul Bu Arini sambil berkacak pinggang. Ia memandang sinis ke arahku dan Pak Angga. Dengan lantang ia berkata.
"Oh ini kerjaan kalian ya? berdua-duaan di toilet saat jam pulang kantor. Dasar pelakor," bentaknya.
"Saya terkunci di toilet, padahal sewaktu masuk, pintunya tak rusak," jawabku membela diri.
Pak Angga menarik tangan Bu Arini untuk menjauhi aku. Kemudian berkata.
"Jangan-jangan ini ulah kamu. Sengaja mengunci pintu dari luar, agar Meysa tak bisa keluar," selidik Pak Angga. Bu Arini pun terdiam, sambil mencebikkan bibirnya.
Derrrt ... derrrt
Hape ku bergetar, ada chat masuk dari Mas Harry. Ternyata ia sudah menunggu di depan kantor. Langsung saja aku berlalu, dari hadapan suami istri yang sedang bucin itu. Tak ada gunanya juga ku ladeni mereka, batinku. Oh ya, sampai lupa tadi, mengucapkan terima kasih pada Pak Angga. Setelah duduk di dalam mobil, ku cerita kan kejadian tadi ke Mas Harry. Ia menggelengkan kepala mendengar kelakuan mantan istrinya.
*******
Sore ini, aku dan Mas Harry, sepulang kerja, berkeliling membagikan undangan ke teman-teman dekat. Sedangkan untuk saudara, sudah dari dua minggu yang lalu kami undang. Berbagai respon aku terima saat membagikan undangan ke teman dekat. Mereka rata-rata kaget, karena yang mereka tahu aku tak pernah lagi jalan dengan cowok mana pun. Tiba-tiba maen antar undangan saja. Aku gitu looo.
Namanya rezeki dan jodoh tak ada yang tahu, itu rahasia Allah. Jelasku ke teman yang penasaran. Aku tak mau menjelaskan masalah pribadi ke orang lain, walau pun itu teman sendiri. Kecuali Farah, sahabatku. Ia sudah tahu sendiri tanpa ku jelaskan. Karena kami ke mana pun pergi selalu bersama. Sampai ia memberikan lowongan pekerjaan untukku. Begitu tamat kuliah, aku tak merasakan nganggur seperti teman yang lain.
Demikian juga dengan respon teman Mas Harry. Beliau antusias mengenalkan aku ke teman-temannya. Mereka kagum pada Mas Harry, setelah lama menduda, akhirnya menikah juga. Dengan seorang perawan ting-ting lagi. Seperti judul lagu nih. Hee ... heee.
Setelah hampir dua jam berkeliling, undangan pun selesai di bagikan. Aku teringat dengan niat mantan istri Mas Harry, lalu bertanya.
"Oh ya, bagaimana niat Bu Arini, untuk merebut anak-anak, apa jadi di lakukan nya, Mas?" selidikku.
"Halahh, selalu itu yang di sebutnya, setiap bertengkar denganku. Semua itu hanya ancaman saja. Mana mau ia repot ngurus anak. Terganggu lah jadwal nongkrong dengan teman sosialitanya itu,"
Jelas Mas Harry. Aku pun diam tak melanjutkan pembahasan itu lagi.
Aku masih melamun, memandangi suasana senja dari kaca mobil. Tak terasa aku hampir mendekati saat bahagia itu. Rasanya seperti mimpi, saat duduk berdua di dalam mobil bersama calon suami. Secepat ini di kirimkan Allah rezeki dan jodoh untukku. Allah maha baik, di balik kesulitan ekonomi keluargaku di situ pula Allah beri rezeki dan kemudahan, batinku.
Tiba-tiba Mas Harry membuyarkan lamunanku, dan berkata.
"Sudah hampir Magrib, singgah ke rumah Mas aja dulu ya, untuk salat! Selesai itu kita bawa anak-anak untuk makan malam bersama. Gimana, mau kan?" tanya Mas Harry. Aku diam sejenak ... lalu mengiya kan ajakannya. Ku telfon Mama untuk memberi kabar, agar beliau tak khawatir kalau aku telat pulang kerja.
*******
Tak lama kami pun sampai di depan rumah mewah berpagar tinggi dan berlantai dua. Mas Harry pun membunyikan klakson. Tampak sekuriti berlari kecil, sambil membukakan pagar. Sekuriti juga membukakan pintu mobil untukku. Tahu saja ia, kalau Mas Harry pulang bersama tamunya. Setelah mengucapkan terima kasih, aku pun di persilakan masuk oleh asisten rumah tangga yang sudah berdiri di depan pintu.
Sungguh mengagumkan sekali, ketika duduk di ruang tamu. Tampak kursi kayu dengan ukiran jepara, seperti yang sedang ku duduki ini. Ada beberapa lukisan kaligrafi yang terpajang di dinding. Di sudut ruangan terletak satu set piano. Ada juga Lemari hiasnya berukuran besar, yang berisikan guci dan bunga kristal serta piala yang tersusun rapi di dalamnya. Sangat menakjubkan sekali. Berbanding terbalik dengan kondisi rumah orangtuaku.
Tak lama lamunanku buyar, karena Mas Harry mengajakku salat Magrib berjamaah di ruang salat. Aku pun mengambil air wuduk, lalu mengenakan mukena yang selalu ku simpan di dalam tas. Kami pun salat berjamaah bersama anak-anak Mas Harry. Selesai salat, Mas Harry menyuruh anaknya untuk bersiap-siap. Karena kita akan makan di luar.
Si kecil Mona lah yang paling bahagia, bila melihat aku. Ia bersorak gembira, ketika di ajak keluar untuk makan bersama. Berbeda dengan Rey, abangnya. Ia tak mau di ajak. Malah memilih mengunci diri di kamar. Mas Harry mengetuk pintu kamar Rey, tak ada sahutan. Kemudian membujuknya, tetap tak bergeming.
Sekarang giliran aku yang mengetuk pintunya. Tetap tak ada jawaban, lalu ku coba membujuknya dengan mengajak berbicara dari luar pintu. Sekian menit kemudian, pintu kamar Rey pun terbuka. Ia sudah memakai baju rapi. Aku terpana melihatnya. Lalu berseru "yes, aku berhasil," ucapku di hati. Tak lama kami pun sudah berada di dalam mobil, tujuannya pergi ke cafe pavorite, untuk makan bersama.
Bersambung ....