Bab 9.
Tak terasa tiga puluh menit berlalu, makan malam pun selesai. Kami lanjutkan berbincang di ruang tamu. Sedangkan Rey dan Kiki duduk di ruang tivi sambil mengobrol. Mas Harry izin untuk keluar sebentar. Ia berjalan menuju mobilnya, ada yang ketinggalan katanya.
Tak lama ia pun kembali dengan membawa setangkai buket bunga dan kotak kecil di tangannya. Semua mata tertuju padaku. Duhhh ... kok jadi deg-degan ini. Mas Harry langsung duduk di hadapanku.
"Mey, di depan orangtua kita, aku ingin mengungkapkan sesuatu padamu. Bertahun-tahun ku coba untuk membuka hati, melupakan semua masa laluku. Tapi belum ku temukan seseorang yang mampu menggoyahkan hati ini. Tapi sejak kita di pertemukan ..." Mas Harry menjeda ucapannya.
"A-aku telah jatuh cinta padamu, sejak pertama kali kita berkenalan. Dan sekarang mau kah kamu menerima lamaran ini dan menikah denganku?" ucapan Mas Harry sukses membuat wajahku bersemu merah.
Hmm ... aku terdiam, bingung dan malu. Lagian Mas Harry ada-ada saja deh, menyatakan cinta kok di depan orangtua begini sih. Mereka saling berpandangan lagi, teringat masa muda kali yaaa.
"Mey, ikuti kata hatimu Nak!" ucap Mama mencairkan suasana.
"Bagaimana Mey, mau kah menerima segala kelebihan dan kekurangan saya?" tegas Mas Harry. Sepertinya ia tak sabar mendengar jawabanku.
Aku pun menganggukkan kepala tanda setuju. Kemudian Mas Harry memberikan buket bunga dan memasang kan cincin di jemari tanganku.
"Alhamdulillah ..." serentak orangtua kami mengucapkan syukur.
"Cieee ... so sweet," ucap Kiki. Tiba-tiba saja kepalanya nongol dari balik gorden. Sedangkan Rey berdiri di belakangnya sambil mencebikkan bibirnya.
Anak Mas Harry yang besar ini memang pendiam, kadang tak pernah tau apa isi hatinya. Sejak orangtuanya berpisah, ia lebih suka menyendiri di kamar. Tugasku sekarang adalah merubahnya bisa berkomunikasi dan ceria lagi seperti dulu. Secara perlahan aku pasti bisa memenangkan hati anak sambungku itu.
******
Kedua keluarga pun berunding untuk menetapkan hari pernikahan sekaligus acara resepsi kami. Setelah mencocokan jadwal libur kerja, maka acara pengajian dan malam bainai ( malam memakai pemerah kuku) akan di gelar dua minggu lagi di rumahku. Kemudian lanjut ke acara akad nikah dan resepsinya, mereka akan gelar di gedung mewah. Semuanya sudah di booking dan di persiapkan oleh keluarga Mas Harry. Aku dan keluarga terharu dengan niat baik ini. Yang terpenting sekarang mempersiapkan hati untuk menuju pelaminan. Semua keluarga besar dan sanak famili serta sahabat di beri kabar. Mereka banyak yang kaget juga, ketika mendengarnya. Aku bilang saja mendadak di lamar sama anak sultan, biar mereka tak bertanya lagi. Hee ... heee.
Keesokan harinya aku bekerja seperti biasa. Saat jam istirahat ku cari Pak Angga di Kantin. Sambil celingukan ku bulatkan bola mata. Nah itu dia ... terlihat Pak Angga duduk sendirian di meja paling pojok. Ia sedang memesan makanan kepada ibu kantin. Langsung saja ku temui beliau.
"Hay Mey, sini sekalian makan siang dengan saya, kamu belum makan kan?" tanya Pak Angga.
"Hmm, belum Pak," ucapku sedikit ragu. Karena segan rasanya duduk berduaan di kantin. Mana banyak yang perhatiin lagi.
Tapi ya sudahlah, masa bodoh aja.
"Duduk dong, kok malah melamun Mey!
Nah ini bu kantin datang, sekalian pesan makanan untukmu!" Pak Angga ngagetin aku yang masih berdiri terpaku melihat ke arahnya.
"Oh-eh ... iya Pak!" jawabku sedikit gugup.
"Bu, samakan aja pesannya dengan Pak Angga ya!" pintaku ke ibu kantin.
"Oke!" sahutnya sambil menjentikkan jari.
"Pak, ada yang hendak saya bicarakan," ucapku.
"Iya ada apa? kok kelihatannya serius nih," sahutnya sambil menyeruput jus dari dalam gelasnya, lalu menatap wajahku.
"Dua minggu lagi saya akan menikah dengan lelaki pilihan orangtua. Jadi saya hendak izin cuti untuk acara itu," jelas ku sambil menunduk.
"Yang benar Mey! Kok mendadak sekali?" tanya Pak Angga sedikit kaget.
Sebelum menjelaskan niat ini, Bu kantin datang membawakan pesananku.
"Terima kasih Bu!" sahutku sambil mengaduk jus dan menyeruputnya.
"Yuk kita makan Mey! Gak papa sekalian ngobrol aja, biar santai," ajak Pak Angga sambil menyuapkan nasi ke mulutnya.
"Saya sudah saling kenal selama tiga bulan, keluarga kami pun sudah akrab dan cocok, Pak!" jelasku.
"Bagaimana dengan hati kamu, apakah menerima perjodohan itu?" selidik Pak Angga.
"Saya berusaha membuka hati untuk menerimanya. Perhatian dan kebaikannya pada keluarga, membuat saya perlahan mulai menyukainya," ucapku lirih.
"Saya percaya sama Allah. Pasti jodoh yang di pilih kan orangtua ini, terbaik untuk saya. Karena rido Allah tergantung pada rido kedua orangtua," ucapku mantap. Aku tak menjelaskan lebih detil tentang siapa calon suamiku. Biarlah ini menjadi rahasiaku saja.
Pak Angga berhenti menyuapkan nasi ke mulutnya. Ia tertegun dengan ucapanku.
"Andai wanita yang mendampingi saya seperti kamu, Mey," ucapnya lirih.
"Maksudnya, Pak Angga menyesal menikahi Bu Arini?" selidikku.
"Hmm ... mungkin ini cobaan saya dalam berubah tangga," jawabnya pelan.
"Beruntung sekali lelaki yang berhasil menyunting kamu. Saya kagum dengan kepribadian kamu, Mey," ucap Pak Angga.
"Saya pun masih banyak kekurangannya, masih terus belajar untuk menjadi lebih baik lagi, Pak," ucapku dengan hati-hati.
Tanpa terasa nasi di piring kami pun habis tak tersisa. Terlihat si bosku termenung, sambil menyeruput jusnya yang tinggal sedikit. Setelah sekian menit termenung, beliau pun memberikan cuti seminggu untukku. Ahh, lega rasanya sudah mendapatkan izin dari si bos ini. Kami pun menyudahi makan siang. Lalu kembali ke ruangan untuk bekerja. Sesampainya di ruang kerja, Pak Angga lebih banyak melamun, sesekali terlihat memainkan hapenya. Aku bingung sendiri melihat sikapnya.
Derrt ... derrt ...
Ku dengar hape Pak Angga bergetar. Ia melihat ke hape itu, tapi tak mengangkat telponnya. Sudah tiga kali bergetar tak juga di angkatnya, malah di matiin lagi. Pura-pura tak tau aja deh, pikirku mencari aman. Beberapa bulan mengenal bosku ini, sepertinya sifatnya tertutup. Jarang berbicara kecuali masalah kerjaan saja. Tanpa sadar ternyata Pak Angga dari tadi memperhatikan aku. Mata kami pun beradu pandang. Membuatku salah tingkah dan menatap kembali ke arah laptop yang berada di depan ini. Hmm ... dasar aneh, ucapku di hati.
Saat pulang kerja Pak Angga menawarkan tumpangan mobilnya untuk mengantar ku pulang. Aku menolak secara halus. Karena sejak sebulan yang lalu, aku di antar jemput langsung oleh Ironmanku, alias Mas Harry. Terlihat sedikit raut kecewa di wajahnya. Lagian aku tak mau cari masalah jalan sama suami orang. Sudah mau nikah ini. Mitosnya banyak cobaan yang datang menghampiri calon pengantin.
Bersambung ....