Bab 20.
Tepat pukul enam sore suara klakson mobil terdengar di luar halaman. Aku mengintip dari balik gorden jendela kamar, melihat ke bawah, oh itu Mas Harry pulang. Syukurlah hari ini ia tak lembur kerja, biasanya di awal bulan, kantor pusatnya selalu meeting
bersama karyawan devisi dan para manajer. Aku turun ke lantai bawah untuk menyusul sambil menggendong Zahrana.
"Surpriseeee ...," teriak Mas Harry sambil memelukku erat.
"Idiihhh, bukannya ngucapin salam malah teriak!" ucapku sambil memanyunkan bibir.
"Sini, duduk dekat Mas!" Ajaknya.
"Basuh muka dan tangan dulu, habis itu baru kita bicara!" pintaku.
"Oh iya, sampai lupa!" Mas Harry menepuk jidatnya. Lalu ia berjalan ke westafel, buka masker lalu mencuci tangan pakai sabun di air yang mengalir. Aku menunggu sambil duduk di ruang tamu, mengajak Zahrana bermain, ia mulai pandai memainkan jari dan kakinya. Semua yang di pegang di masukkan ke dalam mulutnya.
Setelah membersihkan diri, kami duduk di ruang tamu, Mas Harry meraih Zahrana dari pangkuanku, ia mencium pipinya yang gemoy
bayi mungilku tertawa geli sambil memegang wajah papanya.
"Sayang ... mobil itu hadiah untuk kamu, karena telah memberikan aku seorang putri yang cantik dan sehat," ucap suamiku.
"Mulai besok ada supir untuk antar jemput anak-anak sekolah dan untuk kamu juga, kalau nanti sudah aktif bekerja di butik lagi."
"Ya-Allah, Mas, aku senang dengar berita ini! Kamu memang suami yang perhatian banget," pujiku.
"Untung kamu kenalnya dengan aku, bukan dengan cowok yang lain," ucapnya sambil mengerlingkan mata padaku.
"Ihhh, kumat lagi bucinnya." Mas Harry merengkuh aku ke dalam pelukannya.
Zahrana yang masih di pangkuan Mas Harry ikut tergelak, seakan mengerti saja ucapan papanya. Allah maha baik sudah memberikan aku seorang imam yang sayang keluarga, semoga ini akan terus selamanya. Hati kita takkan pernah tau kapan berubahnya, kadang bisa di bolak-balikan oleh suatu keadaan. Hanya doa yang mampu menjawab semua kekhawatiran di hati ini.
*******
Keesokan harinya, ketika kami sedang sarapan pagi, tiba-tiba terdengar seseorang mengucapkan salam.
"Assalamu'alaikum ...."
"Wa'alaikumsalam," jawabku.
Mbok Nah berjalan ke ruang tamu sambil membukakan pintu. Ia mempersilakan tamu tersebut duduk dan menunggu di ruang tamu, sampai kami selesai sarapan.
"Siapa Mbok?" tanyaku.
"Pak Dirman membawa seorang wanita berhijab, Bu," sahutnya.
"Kamu kenal wanita itu, Mbok?" tanyaku lagi.
"Enggak kenal, Bu."
"Ya-sudah Mbok, silakan lanjut ke dapur," ucapku.
"Mas ... kamu kenal sama wanita yang di bawa Pak Dirman security kita itu?" tanyaku.
"Enggak tuh! Hanya kemarin Mas minta ke Pak Dirman untuk nyariin baby sitter untuk Zahrana!" jelasnya.
"Yakin itu seorang baby sitter, dari penampilannya seperti seorang guru ngaji gitu," bisikku.
"Ya-sudah, yuk kita tanya aja langsung!" ajaknya.
Pak Dirman dan wanita berhijab itu, langsung berdiri ketika melihat kami datang. Aku dan Mas Harry gantian bersalaman dengannya.
"Pak, Bu, ini keponakan saya baru lulus SMA, sedang mencari pekerjaan," jelas Pak Dirman.
"Ia sudah punya pengalaman, karena terbiasa mengasuh adik sepupunya di rumah yang usia balita," ucapnya lagi.
"Ohhh ...," sahutku dan Mas Harry serentak.
"Tapi kalau jadi pengasuh, kamu harus tinggal di sini! Siapa nama kamu?" tanyaku.
"Nama saya melly, Bu!" jawabnya.
"Jadi bagaimana, kamu bersedia?" tanyaku lagi sambil melihat wajahnya.
"Bersedia, Bu," ucapnya pelan.
"Oh iya, sebelum di sini, apa kamu sudah pernah bekerja?" selidikku.
"Bekerja di TK PAUD, Bu! Tapi karena situasi pandemi, semua sekolah di libur kan. Gak tau entah sampai kapan libur itu berakhir," jelasnya.
"Ya-sudah, itu tas kamu, kan? Biar saya suruh Mbok Nah membawanya ke kamar dekat dapur itu," pintaku.
"Mbok Naaahhh ... kemari lah!
"Iya-Bu!" Mbok Nah jalan sambil tergopoh-gopoh mendekat, setelah ku jelaskan ia langsung paham dan membawa tas Melly ke dalam kamarnya. Aku ingin menjelaskan selain mengasuh Zahrana, apa saja tugas lainnya di sini.
"Kalau Zahrana udah tidur, kamu bisa membantu Mbok Nah di dapur, bantu pekerjaan yang ringan saja. Dan kamu tidurnya berdua dengan Mbok Nah, ya!" jelasku panjang lebar.
"Iya, Bu, mengerti!" ucapnya.
"Bagaimana Mas, ada yang ingin kamu tanyakan ke Melly?" imbuhku.
"Semua terserah kamu, Sayang! Mas setuju saja," jawabnya.
"Oh iya, kalian sudah sarapan?" tanyaku ke Melly dan Pak Dirman.
"Kami sudah sarapan, sebelum ke sini tadi!" jawab Melly.
"Baiklah, kamu boleh bekerja mulai hari ini. Kebetulan Zahrana belum makan! Kamu bisa menyuapkannya, minta sama Mbok Nah bubur bayi yang tadi di masaknya!" Pintaku.
Mas Harry pun segera berpamitan untuk berangkat ke kantor. Pagi ini ia masih menyetir mobil sendiri, besok supir yang di janjikannya akan datang untuk bekerja.
*******
Hari ini bayi mungilku genap berusia enam bulan, ia mulai di berikan makanan pendamping asi yaitu bubur bayi yang di masak dan di haluskan sendiri. Zahrana sudah duduk sedikit rebahan di strollernya, aku mengawasi Melly dari ruang tamu, ingin melihat cara kerjanya, ia teliti atau tidak dalam mengasuh bayi. Melihat wajah asing di depannya Zahrana merengek, Melly langsung membujuk dan mengajaknya berbicara layaknya seorang anak kecil.
"Zahrana ... kenalkan, ini tante Melly! Kita temenan yuk!" ajaknya.
"Sekarang kamu makan dulu, setelah itu kita main bersama," ucapnya dengan nada lucu.
Zahrana melihat lekat wajah Melly, kadang ia merengek, mencari-cari bundanya. Tapi setelah di ajak bicara, ia diam dan mau di suapkan lagi. Kalau ku perhatikan Melly ini telaten dan bersih menyuapkan bubur ke mulut bayiku. Celemek itu untuk membersihkan mulut bayi, tapi masih bersih. Karena ia pandai menyuapkan hingga tak belepotan. Karena lapar, Zahrana makan dengan lahapnya.
Selesai sarapan, ku ajak Melly untuk membawa bayi mungil ini berjemur di teras rumah. Ini setiap pagi rutin aku lakukan, agar kulit bayi sehat karena sinar matahari mengandung vitamin E untuk menghaluskan kulit. Aku mau tanya-tanya tentang kegiatan Melly sebelum kerja di sini.
"Mell, sudah berapa tahun kamu tamat SMA?"
"Sudah dua tahun, Bu!" jawabnya.
"Sudah pernah melamar pekerjaan atau mau melanjutkan kuliah mungkin?" selidikku.
"Kemarin pernah bekerja sebagai penjaga swalayan, Bu. Hanya setahun, karena covid swalayan nya tutup gak ada pembeli. Jadi semua karyawan di rumahkan," jelasnya.
"Terus gak ada niat untuk lanjut kuliah?" tanyaku lagi.
"Gak ada biaya, Bu. Orangtua saya susah, Bapak hanya security sedangkan Ibu sering membantu memasak di rumah tetangga," sahutnya.
"Oh, seperti itu," ucapku menirukan gaya artis yang menikah dengan orang jepang itu.
"Sudah punya pacar, ya?"
"Hmm ... baru pendekatan, Bu," jawabnya malu-malu.
"Cari pacar itu yang sudah bekerja, jangan yang masih sekolah. Entar kelamaan nunggunya, kamu bisa tua, di php in terus," selorohku.
"Ah Ibu bisa aja, saya belum mau menikah kok, masih ingin ngumpulin uang dulu, untuk bantu Ibu meringankan biaya sekolah adik," ucapnya pelan.
"Pasti kamu anak paling besar, ya?" selidikku.
"Anak nomor dua, Bu. Abang saya sudah menikah, punya anak satu. Ia tinggal mengontrak dengan anak istrinya. Kerjanya security juga," jelasnya panjang lebar.
"Iya-lah, hari gini yang penting punya pekerjaan. Jangan terlalu memilih, karena sudah banyak pengangguran sejak covid ini," imbuhku.
"Oh iya, soal gaji belum kita bicarakan ya. Nanti malam saya bicara dengan suami dulu, tadi tak sempat menanyakannya."
"Iya-gak papa, Bu. Di terima bekerja saja, saya sudah syukur sekali," ucapnya lirih.
"Yuk, kita masuk! Mataharinya mulai naik, cuaca sudah terasa hangat sekali," ajakku.
"Zahrana sudah capek ini, dia mau nyusu dulu," ucapku sambil menggendongnya lalu masuk ke dalam rumah. Melly mengekor di belakangku, sambil mendorong stroller bayi.
Bersambung ....