Chapter 2 - Chapter 1

"Tanah Cahaya adalah salah satu dari dua wilayah di dunia Hampa. Dunia Hampa hanyalah sebuah dunia kecil yang diliputi mana sihir lebih banyak dibanding dunia-dunia lain. Di dunia ini hanya terdapat dua wilayah saja, yaitu Tanah Cahaya dan Tanah Kegelapan. Tanah Cahaya dihuni oleh manusia, tidak ada ras lain selain manusia di wilayah tersebut. Sedangkan Tanah Kegelapan adalah wilayah para monster dan ras berkulit gelap tinggal. Pondasi Tanah Cahaya adalah sebuah Permata Kehidupan dan pondasi Tanah Kegelapan adalah sebuah Permata Kegelapan. Jika salah satu pondasi itu rusak, maka dampaknya akan sangat besar bagi kedua wilayah."

Itulah yang tertulis  di paragraf pertama buku ini. Tapi sayangnya hanya itu yang bisa kubaca. Semua tulisannya luntur karena terlalu lama berada di dalam air. Sementara paragraf pertamanya seakan tidak terjamah oleh air. Menurutmu kenapa? Harusnya ia juga luntur, kan? Alasannya simpel, karena tulisan itu tidak ditulis dengan tinta. Tulisan itu ditulis dengan menggunakan sebuah mantera sihir agar tidak luntur. Untuk apa? Aku tidak tahu. Pastinya ada rahasia di balik paragraf pertama tersebut. Namun setelah kubaca berulang kali, itu tetap terkesan seperti tulisan biasa, paragraf biasa.

"Haah …," aku menghembuskan napas berat lewat mulut, kemudian menutup buku dan meletakkannya di atas meja makan.

"Apa harus kukembalikan ke sungai saja, ya? Tapi jika ada yang mampu memecahkan misteri buku ini, lalu ia gunakan untuk kejahatan, ah! Itu akan tambah merepotkan," aku bergumam sendiri.

"Kak Izza!" panggil gadis kecil berusia 9 tahun. Aku pun menoleh ke arahnya.

Rambut panjang yang selalu terurai nampak menawan ketika diterpa sinar matahari pagi. Tatapannya tenang menandakan kedewasaan, bahkan aku selalu berpikir bahwa dia lebih dewasa dari anak-anak seumurannya. Dengan memakai gaun sehari-hari, dia lebih terlihat seperti puteri dari bangsawan. Namanya adalah Roppy, seorang anak yang mampu menggunakan tiga tipe sihir berbeda, yaitu sihir penyembuhan, sihir persembunyian dan sihir penciptaan. Di usia semuda ini, dia termasuk anak yang berbakat dalam bidang sihir.

"Ada apa, Roppy?" tanyaku padanya. Kemudian mataku tertuju pada jepitan rambut yang ia pakai untuk menyingkap poninya.

"Wah, kamu masih memakai jepitan rambut itu? Padahal sudah terlihat kusam, loh. Nanti kakak belikan yang baru."

Dengan lembutnya ia menggeleng, "tidak usah, kak. Aku masih menyukai jepitan rambut ini. Ini adalah hadiah pertama yang kudapatkan dari kakak. Jadi aku masih betah memakainya."

"Ahaha, sudah kuduga kamu akan berkata seperti itu, Roppy."

"A-anu, kak! Tentang ulang tahun Laya dan Leo malam ini …,"

Aku langsung bangkit dari kursiku dan mendekati Roppy sambil menepuk-nepuk kepalanya.

"Jangan khawatir. Kakak akan menyiapkan hidangan utamanya. Nanti kamu suruh Yuku untuk membantumu mengurus persiapan memasak. Kemudian suruh pula Zeyn, Fredly dan Misa untuk pergi memancing di sungai. Jadi yang bertugas membersihkan rumah hari ini adalah Leo dan Laya."

"Baiklah, kak. Kalau begitu aku akan menyuruh mereka setelah aku menyelesaikan pekerjaanku di dapur," ucapnya sambil tersenyum.

Aku mengacungkan jempol, "oke! Mungkin ini akan jadi hari yang berat bagimu, Roppy."

"Ehehe, tidak apa!" dia menunduk padaku lalu bergegas ke dapur.

"Hmm … sepertinya aku juga harus pergi," gumamku.  Aku segera melangkahkan kaki ke luar rumah.

Krieet! Bunyi pintu tua saat ku buka. Sejauh 40 meter dari sini terdapat pepohonan yang begitu rimbun mengelilingi sekitaran rumah. Sayangnya pepohonan tersebut adalah pohon tanpa buah. Mereka hanya bisa menaungi dan memberikan udara segar di sekitarnya. Jika ingin makan buah, biasanya kami akan memetiknya dari jarak yang agak jauh dari sini. Tentu saja kami sudah mengatur kelompok untuk itu. ada yang bertugas memetik buah, ada yang bertugas membersihkan rumah dan juga ada yang bertugas membeli sesuatu di kota terdekat.

Aku mengangkat kedua tanganku dan melakukan peregangan sejenak. Sembari menghirup udara segar, aku pun kembali bersemangat menjalani hari. Akhir-akhir ini aku mencari nafkah dengan cara mengikuti pertandingan-pertandingan di kota. Pertandingan itu adalah jenis pertandingan yang terdiri dari beberapa babak, tergantung seberapa banyak orang yang ikut serta. Jadi siapapun yang bertahan pada satu babak, maka ia akan langsung mendapatkan hadiahnya seusai pertandingan. Selain itu mereka juga dapat memilih untuk maju ke babak berikutnya atau cukup sampai di situ. Jika mereka berencana maju ke babak selanjutnya, maka ia harus menunggu babak pertama selesai.

Menurutku itu pertandingan yang sangat menguntungkan beberapa pihak. Meski peserta yang memenangkan satu pertandingan tidak maju ke babak selanjutnya, dia tetap mendapat hadiah. Tidak heran banyak sekali pihak yang menyumbangkan penghasilan dan bahkan harta yang sangat berharga demi kelancaran pertandingan itu. Ahaha … sebenarnya para orang kaya itu hanya sedang taruhan. Dalam artian lain, mereka ingin membuat diri mereka semakin kaya dalam pertaruhan tersebut. Ah! Sebaiknya kita tidak perlu memikirkan masalah ini.

Selain hadiahnya yang beragam, aku juga dapat menerima informasi-informasi seputar ibukota dari penduduk maupun orang luar. Sebab saat pertandingan akan diadakan, para penggosip dan para penjual informasi akan mulai mencari mangsa. Oh iya! Hari ini mereka akan mengadakan kontes berpedang. Jika aku bisa memenangkannya, aku tidak perlu mengeluarkan uang simpanan kami untuk membeli hadiah di ulang tahun Laya dan Leo.

"Baiklah! Aku akan memenangkannya satu babak, lalu memberikan hadiah terbaik untuk ulang tahun Laya dan Leo," gumamku lirih, tapi penuh semangat. Aku melangkahkan kaki menuruni tangga rumah. Ngomong-ngomong, rumah ini adalah rumah panggung. Jadi sudah pasti ada tangga untuk turun.

Di saat kakiku menyentuh tanah, aku kembali berjumpa dengan gadis kecil. Kali ini dia adalah gadis berusia 8 tahun dengan rambut emas pendek sebahu. Mata cokelatnya menatapku tajam sembari mengernyitkan kedua keningnya. Satu pipinya menggelembung cemberut. Kedua tangannya ia letakkan di pinggang sembari melebarkan kedua kaki. Terlihat di pergelangan tangannya sebuah keranjang berisi buah. Namanya Misa, seorang anak yang memiliki bakat di bidang sihir gravitasi. Sihir yang hanya bisa ia gunakan pada dirinya sendiri untuk terbang. Selain itu dia juga dapat mengeluarkan api kecil di telunjuknya.

"E-eh … Misa? Wajah kamu kenapa?" tanyaku.

"Wajahku memang seperti ini, kak!" sahutnya singkat.

Anak ini kenapa, sih? Apa jangan-jangan dia masih mengingat kesalahanku kemarin malam karena tidak sengaja menumpahkan air di lantai? Kurasa bukan itu.

"Jadi kenapa kamu memasang ekspresi itu?"

"Kakak ini, ya! Selalu saja lupa sarapan. Sekarang kakak mau ke mana tanpa sarapan pagi?"

Ah! Ternyata begitu. Misa si cerewet, itulah yang membuatnya berbeda dari yang lain. Tapi setiap perkataan cerewetnya, pasti terdapat kepedulian dan perhatian. Dia anak yang manis, loh.

"Ahaha! Kakak belum sarapan, sih. Tapi …,"

Aku mendekatinya dan mengambil sebuah apel segar dari dalam keranjang yang ia bawa.

"Aku akan sarapan ini saja, hehe!"

"Tidak! Kakak tidak boleh ke mana-mana sebelu—," kata-katanya terputus.

"Tenang saja, Misa. Pekerjaan kakak hari ini adalah sesuatu yang bersangkutan dengan tidak boleh terlalu banyak makan," jelasku agar bisa terhindar dari omelan.

"Selalu saja!" dia menggerutu.

"Oh iya, di mana yang lainnya?" tanyaku sebelum aku benar-benar keluar dari lingkaran sihir yang meliputi sekeliling halaman rumah.

"Para anak lelaki bisanya hanya mengganggu saja, jadi sudah pasti mereka pulang duluan kalau bosan. Mungkin mereka ada di belakang rumah sekarang. Sedangkan Yuku dan Laya masih memetik buah," ucap Misa.

"Baiklah! Kalau begitu aku akan menengok mereka berdua  dulu."

Aku melanjutkan langkah menuju batas lingkaran sihir. Apa kalian tahu maksudku? Lingkaran sihir yang kumaksud adalah lingkaran sihir yang dibuat oleh Roppy untuk menyembunyikan rumah ini dan sekitarnya. Tujuannya agar kami tidak ditemukan oleh siapapun, baik manusia maupun hewan buas. Roppy memang memiliki bakat pada sihir. Kamu tahu tidak? Sihir persembunyian adalah sihir tingkat tinggi yang memiliki unsur anti-magic di sekitar lingkaran sihir, sehingga membuat sihir pelacakan tidak berfungsi dengan baik.

Sebenarnya aku sulit menerima ini. Bagaimana bisa anak semuda itu bisa menggunakan sihir tingkat tinggi? Namun, jika kupikirkan lagi, aku memang tidak tahu banyak tentang Roppy sejak kami berdua bertemu di rumah ini.

"Mungkin saja ada penjelasannya di balik itu, tapi ya sudahlah," gumamku. Aku pun menggigit apel yang ada di tangan kanan sedikit demi sedikit.

Drap! Satu kakiku sudah keluar dari lingkaran sihir Roppy. Ketika aku menengok ke belakang, yang terlihat hanyalah pepohonan rimbun. Tidak ada halaman yang luas, tidak ada rumah dan bahkan tidak terdapat tanda-tanda kehidupan. Jika ingin masuk ke dalam lingkaran sihir, aku tinggal memanggil nama Roppy.

Tiga tahun yang lalu, aku memasuki hutan ini untuk pertama kalinya. Saat itu aku masih kesulitan mengendalikan gejolak mana sihir karena berada pada puncak pubertas¹. Jadi di manapun aku berada, aku pasti akan ketahuan oleh para bangsawan yang mengincarku. Mereka bersungguh-sungguh ingin menghilangkan pewaris tahta di dunia ini. Sebenarnya aku bisa saja melawan. Hanya saja aku tidak ingin melukai siapapun, setidaknya sampai aku bisa mengendalikan Eirixon-ku dengan baik².

Setelah lama berjalan di dalam hutan, akhirnya aku menemukan sebuah rumah panggung yang cukup tua. Aku memasuki rumah tua itu dengan harapan tidak ada penghuninya, sehingga aku bisa beristirahat. Ketika aku memasukinya, terlihatlah seorang anak perempuan berumur 6 tahun. Dia melihat ke arahku sambil bertanya, di mana ayahku? Gadis itu adalah Roppy. Itulah awal mula pertemuanku dengannya. Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat.

"Kak Izza? Kenapa kakak ada di sini?" tanya seorang gadis kecil padaku. Dia berjongkok sembari memasukkan buah kecil yang ia petik ke dalam keranjangnya.

Tanpa kusadari, ternyata aku sudah berada di tempat  yang biasa kami kunjungi untuk memetik buah. Kawasan ini memang kaya dengan buah. Ukuran buahnya pun beragam. Sepertinya aku bisa menebak kenapa Misa sudah bisa pulang duluan, sedangkan mereka berdua masih sibuk memetik. Itu karena Misa hanya memetik apel dan buah yang seukuran dengannya. Dia dengan mudah memetiknya di atas pohon karena bisa terbang. Sedangkan mereka berdua memetik buah-buahan kecil, dan itu membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

"Ah! Aku hanya memastikan keadaan kalian saja, kok. Kupikir kalian sedang kesulitan, mengingat Misa sudah pulang duluan," jawabku pada gadis yang bertanya padaku.

Dia memiliki rambut panjang yang hitam. Ia menyeka keringat di balik poni miringnya dengan punggung tangan. Namanya adalah Laya, seorang gadis yang mampu mengendalikan sihir seperti saudara kembar laki-lakinya, Leo. Laya dan Leo adalah kembar pengantin yang mahir dalam sihir penguatan tubuh. Usia mereka genap 8 tahun malam ini.

Di sampingnya ada Yuku, gadis yang tidak kalah bertalenta dari Roppy. Yuku mampu mengendalikan sihir teleportasi dan telekinesis. Sihir telekinesis adalah sihir jenis baru dan terdengar menyimpang dari kebanyakan sihir, sebab ia dapat bekerja tanpa ada pengucapan mantera apapun. Hanya dengan mengalirkan sejumlah mana sihir di pikirannya, ia mampu memanipulasi suatu benda. Selain itu, dia terlihat sangat cakap ketika mengendalikan dua tipe sihir tersebut. Dari luar, Yuku terlihat sebagai gadis berambut cokelat pendek yang pendiam. Namun, dia berpotensi menjadi penyihir hebat di masa depan, sama seperti Yuku sang Penyihir Agung yang sering diceritakan di buku-buku pengantar tidur.

"Karena kakak sudah di sini, cobalah buah aneh yang kami petik! Kami tidak sengaja menemukannya saat menyingkap tanaman liar," ucap Laya. Dia mengeluarkan satu buah kecil berbentuk seperti kacang, lalu menyodorkannya padaku.

"Hm?" aku mengambil buah itu.

"Hoho! Kalian hebat juga bisa menemukan buah ini."

"Memangnya itu buah apa, kak? Buah dengan tekstur kenyal seperti itu belum pernah kami lihat sebelumnya. Saat kami memakannya, ternyata itu sangat manis," tutur Laya.

"Buah ini namanya buah Vhesa. Dia memiliki aroma yang khas jika dimasak dalam jumlah banyak. Dulu saat aku masih seusia kalian, aku suka berkeliaran di hutan untuk melatih teknik berpedangku. Sebelum pulang, aku pasti memetik buah Vhesa banyak-banyak dan menaruhnya di toples. Kadang aku menghabiskannya dalam semalam karena buah ini sangat enak. Apalagi jika kalian bisa menemukannya pada musim hujan nanti, rasanya lebih enak." Aku langsung memasukkan buah kecil ini ke dalam mulut.

"Wahh! Sepertinya kita beruntung hari ini, Yuku!" Laya bersorak. Yuku hanya membalasnya dengan anggukan sembari tersenyum.

"Yuku, Laya, pulanglah kalian. Buah yang kita petik sudah cukup banyak. Khawatirnya jika terlalu banyak, nanti pepohonan di sini tidak mau menumbuhkannya lagi untuk kita."

"Baik, kak!" seru Laya sambil memberiku hormat. Di antara gadis-gadis lain, Laya adalah gadis yang paling riang.

"Ayo, Yuku!" dia menggandeng tangan Yuku.

Yuku mengangguk.

"Teleport!" ucapnya dengan suara rendah.

Yup! Itu adalah mantera teleportasi. Seketika tubuh mereka berdua menghilang, meninggalkan tanaman yang bergerak karena hembusan angin.

Aku mengangkat tanganku sekali lagi untuk peregangan, kemudian menurunkannya seraya menghembuskan napas panjang.

"Jarak dari sini ke kota sangat jauh. Mungkin aku membutuhkan sedikit pemanasan sebelum bertanding," gumamku.

Dengan mengakselerasi angin di kedua kakiku, aku berlari menembus hutan rimbun dengan cepat. Akselerasi angin adalah sebutan ketika aku mempercepat gerakanku menggunakan elemen angin. Aku bisa memerintah semua elemen dengan sihir Hak, kecuali elemen petir. Sekecil apapun aku memerintah elemen petir, jantungku akan bereaksi. Aku yakin itu terjadi karena penolakan inti sihirku dengan elemen petir, sehingga membuat jantungku sakit. Yap! Kelemahanku adalah petir, satu-satunya elemen yang mampu membunuhku dalam satu kali serangan.

Set! Set! Set! Aku menghindari tiap dahan pohon yang menghalangi jalanku. Aku melompat, menghindar dan melesat dengan cepat di antara pepohonan rimbun. Sekali dua kali kakiku tergores duri tanaman, tapi itu tidak masalah. Tubuhku kini sangat ringan. Sambil berlari, aku menggigit apel yang sudah nampak kurus. Hm? Tunggu!

Aku menghentikan langkahku dengan melompat ke dahan pohon. Aku merasakan sesuatu yang tidak asing, seperti aura sihir orang lain.

"Aura apa ini?" tanyaku dalam hati.

Setelah mencoba merasakan auranya lebih beberapa saat, aku pun kembali berucap seraya tersenyum,"Ah! Ternyata begitu."

Sepertinya seseorang sedang mengawasiku dari kejauhan. Dia melihat melalui mana sihir yang tersebar di daerah sini. Kira-kira sudah berapa lama dia mengawasiku? Mungkin saja saat aku keluar dari lingkaran sihir Roppy. Tapi anehnya, aura sihir ini sangat tidak asing. Tubuhku mengenalinya, tapi aku tidak ingat aura sihir siapa ini. Dilihat dari perilaku mana sihirnya, orang yang mengawasiku bukanlah orang jahat.

"Yah … walaupun begitu, aku ini bukan tipe orang yang suka diawasi," gumamku dengan suara lirih.

Aku melompat dari dahan sembari mengucap mantera perintah.

"Tanah, teleportasi!"

Setelah aku mengucap mantera itu, tanah yang ada di bawahku langsung meninggi dan menelan tubuhku. Gelap, pengap dan sunyi. Itulah yang kurasakan ketika berteleportasi menggunakan elemen tanah. Mengikuti sifatnya, teleportasi jenis ini sangat lamban. Untuk mengendalikan teleportasi tanah, penyihir harus mampu mengendalikan aliran udara, sebab saat ia menggunakan teleportasi jenis ini, penyihir membutuhkan udara setidaknya dua atau tiga menit, tergantung jarak³.

Beberapa menit pun berlalu. Tanah yang ada di atas kepalaku terbuka seukuran tubuh orang dewasa dan mendorong tubuhku naik ke atas. Tiba-tiba angin berhembus menerpa wajahku. Rambutku yang sudah agak panjang mulai menari karenanya. Di depan sana nampaklah sebuah kota yang dikelilingi tembok besar. Meskipun aku bilang begitu, kota tersebut sebenarnya masih tergolong kota kecil di Tanah Cahaya ini. Sebab dari sekian kota di Tanah ini, kota itu bahkan tidak bisa dikatakan sebagai kota yang maju. Tapi justru karena itulah aku menyukainya.

Kota itu dan hutan yang baru saja kulewati dipisahkan oleh padang rumput yang luas. Di sinilah biasanya para pengembala membawa kambingnya di sore hari. Kenapa? Apa kalian belum pernah menemui orang kota yang menjadi pengembala? Ahaha. Sudah kubilang, bukan? Kota itu bukanlah kota yang maju. Tidak heran penduduknya masih ada yang mengembala kambing dan hewan ternak lainnya. Para orang kaya hanya menyumbangkan hartanya untuk pertandingan, bukan untuk memajukan kota ini.

Aku berjalan melewati padang rumput yang basah. Matahari pagi membuat sekitarku lebih hijau dari kelihatannya. Burung-burung yang beterbangan di atas kepalaku terdengar saling balas kicauan, seolah-olah sedang mengobrol satu sama lain. Setelah beberapa menit berjalan santai, akhirnya aku tiba di depan pintu gerbang.

Dua penjaga gerbang mendekatiku. Penjaga gerbang di sini adalah seorang penyihir, jadi mereka hanya memakai jubah hitam dan topi runcing khas penyihir. Tidak seperti di kota lain yang meletakkan prajurit dari Ibukota sebagai penjaga gerbangnya.

"Tuan datang lagi, ya?" ucap salah satu penjaga.

Aku mengangguk, "yup! Sudah lama rasanya aku tidak kemari dengan niatan bertanding."

"Ahahaha! Sudah tiga bulan sejak tuan memenangkan pertandingan sihir, ya? Kali ini tuan pasti akan kesulitan. Karena pertandingan kali ini adalah pertandingan berpedang," penjaga satunya berkata padaku sambil tersenyum sombong. Apakah dia kira aku akan kalah?

"Mari kita lihat. Pastikan kalian menonton pertandinganku, ya!" aku mengacungkan jempol pada mereka.

"Tentu saja!" mereka berdua serempak mengacungkan jempol.

Dua penjaga gerbang ini adalah Grego dan Rispa. Grego ialah seorang laki-laki berusia 30 tahunan. Ia memiliki kumis tipis dan janggut yang agak tebal. Meskipun tubuhnya kekar, dia bukanlah tipe orang yang suka berkelahi. Dia lebih suka bertugas sebagai penjaga gerbang dan melindungi senyuman penduduk di dalam kota. Ngomong-ngomong, Grego lah yang menyapaku lebih dulu tadi.

Sedangkan Rispa adalah penjaga gerbang yang lebih kurus dari Grego, tapi dia lebih tinggi. Dengan kepintarannya dalam manipulasi sihir, dia pernah dijuluki sebagai siswa akademi sihir terbaik. Namun, entah kenapa dia lebih memilih menjadi penjaga gerbang bersama Grego daripada menjadi pengajar. Oh iya! Aku hampir saja lupa. Yang menjadi lawanku pada pertandingan sihir tiga bulan yang lalu adalah Rispa. Dia memang lawan yang tangguh. Jika aku bukan lawannya, aku yakin dialah yang menjadi pemenang tiga bulan yang lalu.

"Kalau begitu, mari kami menyambutmu lagi, tuan Rizza. Selamat datang di kota Millias," ucap mereka berdua. Gerbang di belakang mereka pun seketika terbuka. Hm? Apa kalian merasa ada sesuatu yang janggal? Ahahaha! Benar, nama samaranku di kota ini adalah Rizza. Sekarang aku hanyalah seorang remaja biasa yang datang dari kota tetangga.

"Terima kasih untuk kalian berdua. Aku masuk duluan, ya."

Aku berjalan memasuki gerbang kota. Seketika aku disambut dengan suara teriakan para pedagang yang menjajakan dagangannya di depan toko. Pejalan kaki juga terlihat asik melihat-lihat dagangan. Aku menemukan satu dua orang yang berdebat dengan pemilik toko. Ah … pasti itu masalah tawar menawar. Karena aku tidak ada urusan dengan para pedagang ini, aku pun berlalu begitu saja menuju Colosseum.

Colosseum adalah sebuah tempat yang sebelumnya digunakan untuk pertandingan sihir. Kata penduduk di sini, mereka sudah lama mengadakan pertandingan semacam ini tiap satu bulan sekali sejak 5 tahun terakhir. Hanya itulah yang menjadi sumber mata pencaharian para pedagang di kota ini. Sebab pastilah banyak orang dari kota lain berkunjung kemari. Aku baru beberapa kali mengikuti pertandingan ini.

Sebelumnya aku adalah salah satu pedagang buah-buahan di kota tetangga. Karena banyak penduduk yang membicarakan tentang pertandingan di kota Millias, aku pun penasaran. Pertama kalinya aku datang ke kota ini, aku langsung dibuat jatuh hati dengan suasananya. Sejak saat itulah aku memutuskan untuk menjadi peserta pertandingan.

Buk! Seseorang yang memakai penutup kepala menyenggolku, mungkin karena ia tidak sengaja terpeleset. Untung saja aku dapat menahan dorongannya sehingga dia juga tidak terjatuh. Dari aromanya dia adalah seorang perempuan. Jika kalian adalah seseorang yang memiliki penciuman tajam, aku yakin kalian juga dapat membedakan aroma laki-laki dan perempuan.

"Kamu tidak apa?" tanyaku.

Dalam sepersekian detik mata kami saling bertemu. Dia memiliki mata biru yang begitu indah di balik jubah kusamnya itu.

"Tidak apa. Maaf!" ucap perempuan itu lirih kemudian pergi tergesa-gesa.

Eh? Arahnya sama denganku. Apakah dia peserta juga? Ataukah hanya penonton? Yah … yang mana pun itu tidak ada kaitannya denganku. Aku kembali berjalan santai membaur dengan penduduk di sini. Aku melirik ke kiri dan ke kanan. Begitu banyak pendatang baru yang ada di sekitar Colosseum. Semoga saja aku tidak bertemu dengan orang yang memburuku.

***

Catatan kaki:

¹ Ketika mengalami pubertas, di dalam tubuh penyihir muda akan mengalami gejolak mana sihir. Puncaknya ada di usia 15-16 tahun. Penyihir di usia itu akan merasakan bahwa ada sesuatu yang membesar di dalam tubuhnya, yakni inti mana sihir. Sehingga mereka akan kesulitan mengendalikan aliran mana sihir.

² Eirixon adalah nama bintang yang paling terang cahayanya saat malam hari di tiga dunia. Eirixon juga dijadikan sebagai simbol Raja Imperia dan anak keturunannya. Simbol Eirixon digambarkan seperti bintang. Siapa saja yang memiliki darah Raja Imperia, ia sudah dipastikan mempunyai Eirixon di matanya. Tapi dia harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk mengendalikan kekuatan tersebut.

³ Sebenarnya teleportasi tanah termasuk teleportasi yang cepat. Hanya saja Izza tidak tahan dengan gelap dan pengapnya ketika berada di dalam tanah. Hal itulah yang membuatnya berpikiran bahwa teleportasi tanah sangat lamban.