"Dengan begini, kalian telah menyelesaikan adat. Selamat atas bertambahnya usia kalian, Laya, Leo," ucapku sambil bertepuk tangan. Melihatku seperti itu, anak-anak yang lain pun mengikutiku.
"Bagaimana perasaanmu setelah memakai anting itu, Laya?"
"Aku merasa ada yang berbeda dari tubuhku, tapi aku tidak tahu apa itu," ujar Laya melihat ke telapak tangannya.
Aku tersenyum. Tentu saja ada yang berubah, khususnya inti mana sihir yang ada di dalam tubuh Laya. Item sihir itu mampu memperbaiki inti mana sihirnya yang tengah mengalami kebocoran tanpa ia sadari. Aku saja baru menyadarinya beberapa hari yang lalu, saat dia dan Leo sedang melatih kemampuan di halaman. Tidak sengaja aku memperhatikan gerak-gerik mana sihir Laya yang terbilang tidak stabil. Daripada menghematnya, pengeluaran mana sihir Laya justru sangat boros. Sebab itulah dia tidak bisa mengeluarkan kemampuannya secara maksimal.
"Selama kamu tidak melepaskan antingnya, kamu tidak perlu khawatir lagi dengan masalah inti mana sihirmu, Laya. Semuanya akan segera membaik," ucapku.
"Eh? Apa maksud kakak?" tanya Laya sambil memiringkan kepalanya.
"Ahaha, lupakan saja. Lalu, bagaimana denganmu, Leo?"
"Hmm … tidak ada yang berubah, kak. Kecuali rasa perihnya," sahut Leo dengan wajah cemberut.
Yah, wajar saja. Tidak seperti Laya yang mempunyai masalah dengan inti mana sihirnya, Leo malah tidak memiliki masalah apapun. Inti mana sihirnya utuh, pengeluaran mana sihirnya juga terbilang stabil. Jadi anting itu hanya berguna saat Leo membutuhkan mana tambahan saja. Andaikan Laya dan Leo mempelajari sihir serangan jarak jauh, aku yakin item sihir itu akan jauh lebih berguna di pertarungan. Sayangnya mereka berdua hanya mempunyai bakat di bidang sihir jarak dekat saja, seperti sihir penguatan tubuh. Itupun memiliki jangka waktu yang sangat terbatas. Namun, dengan adanya item sihir ini, aku berharap jangka waktu ketika menggunakan sihir mereka bisa sedikit lebih lama.
"Perih? Padahal anting itu cocok denganmu, Leo. Kamu terlihat lebih gagah dari sebelumnya." Aku memujinya agar ia melupakan rasa sakit ketika telinganya dilubangi.
"B-benarkah?" matanya mulai berbinar-binar, sementara pipinya merona.
"Hm!" aku mengangguk.
"Kak Izza benar, Leo. Kamu jadi terlihat lebih tampan sekarang," ucap Roppy. Dia juga mencoba untuk meyakinkan Leo, sama sepertiku.
"Uwaah! Hey! Apa kau dengar itu, Fred?" ucap Leo. Lihatlah hidung yang mulai memanjang bersamaan dengan dagu yang terangkat itu! Leo jadi agak angkuh sekarang, tapi kalau kulihat lagi, ekspresinya cukup lucu.
"C-cih! Itu terlalu kekanak-kanakan, Leo," balas Fredly sambil membuang muka. Bilangnya sih, begitu. Padahal dia juga ingin memiliki anting.
Aku jadi teringat ketika telingaku dilubangi di usia 4 tahun. Sebagai seorang Pangeran, aku diwajibkan memakai anting di usia 4 sampai 6 tahun. Apa kalian tahu? Anting yang kupakai waktu itu berat, di minggu pertama kepalaku miring karena beratnya. Sesekali juga merasa khawatir kalau-kalau telingaku robek. Setelah beberapa minggu, aku jadi terbiasa menggunakan anting dan yang lebih penting kepalaku tidak lagi miring. Ngomong-ngomong, pemakaian anting untuk Pangeran adalah adat kerajaan yang bertujuan untuk membedakanku dengan kasta yang lebih rendah. Tidak bermaksud rasis, tapi memang begitulah adanya.
Sistem kasta kerajaan Tanah Cahaya ini terbagi menjadi tiga, pertama adalah Raja dan keluarganya. Kedua, bangsawan dan keluarganya. Ketiga, penduduk dan keluarganya. Para bangsawan dibedakan menjadi tiga, yaitu Mura, Kaleo, dan Sindi. Mura adalah bangsawan kelas atas yang bertugas mengatur lima wilayah yang ada di Tanah Cahaya, istri dari seorang Mura disebut Muranes. Kaleo ialah bangsawan kelas menengah yang dipercaya oleh Mura untuk mengatur satu wilayah —berupa kota-kota—, istri dari seorang Kaleo disebut Kaleones. Yang terakhir ada Sindi, yaitu bangsawan kelas bawah yang ditugaskan oleh Kaleo untuk mengatur satu kota dan desa yang dekat dengan kota itu. Istri dari seorang Sindi tidak disebut dengan Sindines, melainkan Ri'sal.
Apa kalian teringat tentang Raehal dan Raeden? Aku sangat yakin mereka berdua adalah putra dari seorang Kaleo, tapi di sini ada sedikit keanehan. Ayah mereka mewariskan dua wilayah untuk masing-masing putranya, sedangkan seorang Kaleo hanya ditugaskan untuk satu wilayah saja. Jadi, apa kalian memikirkan apa yang aku pikirkan? Yup! Kemungkinan besar, ayah mereka melakukan sesuatu pada sang Mura yang menjabat sekarang. Ataukah … hal ini ada hubungannya dengan kudeta pada keluargaku? Ah! Maaf. Pembicaraan kita jadi ke mana-mana.
Nah! Mari kita lanjutkan sedikit. Para anak-anak bangsawan di rentang usia 4-6 tahun sudah diajarkan agar berperilaku mulia. Pakaian mereka juga tidak kalah mahal dari anggota keluarga Raja. Oleh karena itulah, Raja menyuruh para pelayan memasangkan anting di telingaku sebagai pembeda antara keluarga Raja dan keluarga bangsawan.
"Baiklah, mari kita lanjutkan ke acara selanjutnya. Leo dan Laya boleh kembali ke tempat masing-masing," ucapku sembari menenangkan suasana.
"Baik, kak!" sahut Laya, lantas ia menarik saudara kembarnya untuk duduk di atas tikar yang telah disiapkan Yuku dan Roppy.
"Kak! Kapan sesi makannya?" ketus Zeyn dengan polos.
Dia adalah anak laki-laki paling muda diantara anak-anak lainnya, wajar saja dia lebih kekanak-kanakan. Usianya baru beranjak 7 tahun. Rambut hitamnya yang pendek memiliki campuran warna ungu di pelipis kanan. Zeyn adalah anak dari pasangan suami istri di pedesaan dekat kota utara. Ayahnya diduga menjadi dalang di balik meningkatnya ketidaksetujuan warga desa atas peraturan Kerajaan yang baru.
Pada saat itu, ketika aku mendengar kabar tentang seorang pria yang satu tujuan denganku, aku segera berangkat ke desa tersebut untuk berunding dan melakukan kerja sama. Dia memiliki koneksi dan aku memiliki kekuatan. Kupikir kami mampu menjatuhkan Kerajaan dengan bersatu, tapi ternyata pikiranku masih terlalu dangkal. Aku tidak memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi jika kerja sama itu dibuat. Bahkan sebelum kerja sama terjadi, desa itu telah terbakar habis. Tidak ada tanda-tanda kehidupan lagi di sana. Ladang dan sawah menjadi tempat kremasi masal para pemberontak.
Di tengah porak-poranda tersebut, berdirilah seorang anak berusia 6 tahun. Pipinya basah karena menangis sementara mulutnya tertawa ketika menyaksikan apa yang terjadi pada ayah dan ibunya. Aku yakin itu pertama kalinya dia merasa sedih sehingga bingung mengekspresikan perasaannya. Anak itu memeluk sebuah bola dari karet yang baru saja ia beli menggunakan uang tabungannya. Benar! Dialah Zeyn, anak yang mampu memanipulasi angin menjadi bentuk pedang dan perisai.
"Dasar Zeyn! Kita masih punya satu sesi lagi sebelum makan-makan. Ingat tidak kata kak Roppy dan Yuku tadi sore?" sahut Laya.
"Ah! Aku ingat, aku ingat! Kak Izza akan memberikan kejutan yang berbeda dari sebelumnya, bukan?"
"Wah, kalian sudah tahu? Ahaha, itu benar, Zeyn. Kali ini kakak akan membuat kalian terpesona," ucapku.
Setelah kata-kata itu terucap, aku mengangkat tangan dan menjentikkan jari. Seketika api yang membakar kayu pun lenyap, hanya menyisakan sedikit kepulan asap yang meninggi. Gelap dan sunyi menyelimuti sekitar kami. Walaupun aku tidak melihat anak-anak, aku dapat merasakan sedikit ketakutan mereka di tengah kegelapan ini.
"Mulailah atas perintahku." Aku bergumam lirih.
Tiba-tiba satu cahaya kecil berwarna hijau muncul di atas kami. Cahaya kecil itu berbentuk tetesan air. Ia terbang ke sana kemari entah sedang apa. Kemudian, cahaya-cahaya kecil lainnya mulai bermunculan satu persatu hingga akhirnya memenuhi hutan dengan bentuk yang berbeda-beda. Ada yang berbentuk bola kecil, ada yang berbentuk trapesium, juga ada yang berbentuk hexagon. Namun, kebanyakan cahaya itu berbentuk bintang. Satu dua muncul di pundak Roppy dan Yuku. Cahaya kecil itu bak kunang-kunang yang beterbangan menghiasi malam.
Kulihat Misa menadahkan kedua tangannya sambil berharap ada beberapa cahaya yang singgah. Benar saja, tidak lama kemudian dua hingga lima cahaya menghampiri Misa dan menari-nari di sekitar tangannya. Napas gadis berambut emas itu nampak tertahan bersamaan dengan matanya yang berkaca-kaca. Dia begitu kagum dengan apa yang ia saksikan. Tidak hanya Misa, anak-anak yang lain pun juga terpukau saat menyaksikan fenomena ini. Mari kita perhatikan Zeyn, tangannya sibuk menangkap cahaya-cahaya yang ada di dekatnya. Namun, dia nampak kesulitan mengikuti gerakan para cahaya itu, sebab mereka jauh lebih gesit dari yang dia duga. Raut wajah Zeyn menandakan kekesalannya karena tidak bisa menangkap satu pun cahaya. Aku terkekeh ketika melihat Zeyn seperti itu.
Pandanganku berpindah pada Fredly … eh? Kulihat para cahaya itu memutari kepalanya seolah-olah sedang memperhatikan sesuatu. Kemudian mereka menghinggapi kepala Fredly sampai-sampai wajahnya tidak kelihatan lagi. Aku jadi penasaran, kenapa mereka melakukan itu? Para makhluk yang tidak memiliki akal memang sulit untuk dipahami. Kali ini aku harus berterima kasih karena para cahaya itu telah membuat Fredly duduk dengan tenang. Kalau Fredly yang biasanya pasti akan mengambil pedang kayu dan melancarkan serangan sana-sini miliknya.
"Ahaha, syukurlah dia jadi lebih tenang sekarang," gumamku.
Selanjutnya ada Leo yang melebarkan kedua tangan untuk mempersilakan cahaya-cahaya itu masuk ke dalam lengan bajunya sendiri. Alhasil, badannya yang kurus itu bersinar terang seakan-akan sedang memakai baju yang terbuat dari cahaya. Selain itu, ada satu cahaya yang membentur-benturkan dirinya ke hidung Leo. Dia nampak bersenang-senang dengan para cahaya. Adapun Laya, dia justru menikmati pijitan cahaya-cahaya yang silih berganti menjatuhkan dirinya ke pundak gadis berponi miring itu. Beberapa cahaya lainnya sibuk bermain-main dengan lamin yang menjuntai di leher Laya, ada yang mencoba menariknya, ada juga yang hanya sekadar menyenggol-nyenggol antingnya.
Mereka semua sibuk dengan cahaya yang ada di dekat masing-masing. Ketika mataku teralihkan pada Roppy dan Yuku, tubuhku langsung tersentak kaget. Bagaimana tidak? Cahaya yang harusnya berwarna hijau, malah berubah warna menjadi keemasan ketika berada di dekat mereka berdua. Tidak … mungkin saja bukan karena mereka berdua, melainkan karena salah satu dari mereka. Para cahaya yang berada di dekat Roppy nampak bermain-main dengan rambut panjangnya. Sedangkan para cahaya yang berada di sekitar Yuku terlihat menyukai kelembutan kulitnya, sehingga mereka betah berlama-lama menempel di tubuh Yuku.
"Hey, lihat! Kenapa cahaya di sekitar kak Roppy dan Yuku warnanya beda?" tanya Zeyn.
Tidak kusangka Zeyn menjadi orang pertama yang menyadari perbedaan warna itu. Ah! Kurasa aku mengerti kenapa dia bisa sadar. Karena, dia sudah bosan dengan para cahaya yang tidak bisa ia tangkap sehingga pandangannya teralihkan ke cahaya yang ada di dekat Roppy dan Yuku.
Setelah mendengar itu, Misa dan si kembar turut menoleh ke arah Roppy dan Yuku.
"Zeyn benar! Woah!" seru Leo dengan takjub.
"Bagaimana bisa? Apakah kak Roppy atau Yuku melakukan sesuatu?" tanya Misa.
Roppy dan Yuku pun saling tatap, kemudian kembali menoleh ke arah Misa sambil menggeleng.
"Kami tidak melakukan apapun, Misa. Mungkin kak Izza yang melakukan sesuatu," sahut Roppy. Yuku yang ada di sampingnya terlihat mengangguk-angguk membenarkan perkataan Roppy.
"Sebelum kalian menanyakan hal itu, apakah kalian tahu cahaya apa ini?" tanyaku.
"Aku tahu, kak!" Misa mengacungkan tangan.
"Wow, apa yang kamu ketahui?"
"Dulu, aku pernah melihat hal yang serupa dari balik jendela kamar saat malam hari. Di luar sana terhampar sebuah lapangan yang biasa digunakan anak-anak seumuranku bermain. Di sekitar lapangan itu muncul cahaya-cahaya yang terbang dan menari-nari. Aku hanya bisa memperhatikan fenomena itu dari kejauhan, sebab aku tidak diizinkan bermain di luar, apalagi saat malam hari. Lalu Isabelle berkata padaku bahwa fenomena cahaya itu sering dikenal dengan sebutan Parade," tutur Misa.
"Tepat! Fenomena ini biasa disebut dengan parade. Fenomena di mana bintang Eirixon menurunkan berkah dari langit untuk alam. Seperti yang kita ketahui, para penyihir menyerap mana sihir dari alam, tapi alam pun sebenarnya juga membutuhkan mana sihir untuk pertumbuhan mereka, seperti menyediakan udara segar dan menumbuhkan buah di setiap tangkai mereka. Jika para penyihir selalu menyerap mana sihir dari alam, maka lama-kelamaan sekitar kita akan jadi tandus. Karena itulah alam memerlukan mana dari sumbernya langsung, yaitu dari bintang Eirixon.
Mudahnya, Eirixon akan menurunkan berkah berupa mana sihir yang padat, kemudian ia akan melebur dengan sendirinya.
Setelah itu alam akan menyerap peleburan mana sihir dengan cara dan tujuan yang bervariasi. Jika yang menyerap mana sihir padat itu adalah pohon dan tumbuh-tumbuhan, maka mereka bisa mengubah mana sihir menjadi udara untuk kita bernapas di samping menggunakannya untuk pertumbuhan.
Lalu, bagaimana cara penyihir menyerap mana dari alam? Tentu saja tidak semua peleburan mana sihir padat diserap oleh alam, ada juga yang masih terombang-ambing di udara. Alam hanya menyerap leburan mana sihir padat itu sekitar 45% —tergantung situasi dan kondisi tempat itu—, selebihnya bisa diserap oleh hewan ataupun penyihir seperti kita."
"Itu berarti cahaya-cahaya ini adalah padatan mana sihir yang datangnya dari Eirixon?" tanya Roppy.
Aku mengangguk, "singkatnya begitu."
"Jadi … apakah penjelasan kakak ada hubungannya dengan perbedaan warna cahaya ini?" Roppy bertanya lagi. Aku tahu hanya Roppy-lah yang memahami penjelasanku barusan.
"Ada, kamu tidak menyadarinya?"
Dia menggeleng, membuat cahaya-cahaya yang bermain dengan rambutnya terlempar lembut ke sana kemari, mirip seperti burung yang mengibaskan badannya dan membuat bulu-bulu beterbangan.
"Simpelnya, warna cahaya itu berubah saat dia akan melebur. Saat ini, sebentar lagi kalian akan menyaksikan fenomena peleburan mana sihir padat. Namun, dari pada menunggu cahaya ini menghilang, lebih baik kita mulai sesi yang paling ditunggu Zeyn."
"Sesi makan!" sorak mereka serentak.
Aku tersenyum, kemudian kembali menjentikkan jari dan membuat kumpulan kayu yang bersusun di depan kami kembali terbakar. Suasana hangat kembali meliputi tubuh kami.
"Angin!" gumamku lembut. Belum lagi aku menyebutkan perintahnya, tapi sang angin sudah tahu apa yang harus ia lakukan.
Sekarung daging yang kudapat dari pertandingan terangkat, lalu mengeluarkan beberapa potong daging segar. Daging-daging itu terbang ke atas kobaran api. Benar! Sang angin sedang memanggang daging untuk kami. Beberapa saat kemudian, kulihat piring-piring yang diselimuti mana sihir berwarna hijau terbang satu per satu dan tergeletak di hadapan kami, masing-masing mendapat satu piring untuk meletakkan daging. Apa kalian tahu itu perbuatan siapa? Yup! Itulah sihir Yuku, Telekinesis. Sihir yang entah darimana ia pelajari.
Setelah dagingnya matang dengan sempurna, kami semua pun menikmati hidangan sembari bercanda ria. Tentu saja tidak hanya daging, aku menyiapkan banyak makanan untuk merayakan bertambahnya usia si kembar. Zeyn bersama perut yang seolah tidak memiliki batas itu hampir saja melahap semua hidangan. Sekali lagi aku tertawa melihat tingkah mereka. Namun, ketika aku kembali tersadar, aku menghela napas panjang. Tidak lama lagi, aku akan melihat mereka tumbuh dewasa dan mandiri di jalannya masing-masing. Apapun jalan yang mereka tempuh nanti, aku yakin mereka mampu melaluinya. Meskipun dengan penuh keringat dan perjuangan, walaupun dengan air mata dan kesungguhan.
Karena … mereka adalah anak-anak yang kuat. Aku menaruh takdir masa depan di telapak tangan mereka. Tanpa kusadari, sekali lagi aku mengaktifkan Eirixon. Pupil mataku berubah bentuk menjadi bintang dengan warna putih keemasan.
"Aku memberkahi kalian semua," gumamku.
***