Chapter 4 - Chapter 2

Di ufuk barat, matahari nyaris tenggelam di antara pepohonan dan membuat langit memantulkan warna jingga. Mengetahui hal itu, kawanan burung kembali ke sarangnya masing-masing untuk membawakan makan malam keluarganya. Tak terkecuali salah satu temanku, sang tupai, juga meninggalkanku dan kembali ke rumahnya di pohon. Mulutnya telah penuh dengan biji-bijian yang ia temukan. Seperti biasa, dia meletakkan biji-bijian itu di dalam rumah sebagai persediaan musim dingin.

"Kapan kak Izza pulang, ya? Tumben sekali dia pulang telat," gumamku sambil memainkan rambut.

"Kamu sedang memikirkan apa, Yuku?" tanya kak Roppy yang duduk di sebelahku.

Aku menggeleng pelan dan membenamkan wajahku di antara lutut. Meski sudah lama tinggal di sini, aku masih tidak mampu berbicara dengan leluasa. Rasanya bayangan masa lalu terus saja menghantuiku.

"Begitu, ya. Sebenarnya aku juga sedang mencemaskan kak Izza. Hatiku selalu bertanya ketika ia berada di luar lingkaran sihir, apa yang akan kakak lakukan? Ke mana kakak akan pergi?  Kapan kakak pulang?" ucap kak Roppy yang seolah-olah mampu membaca pikiranku.

"Tapi tahukah kamu? Ketika aku khawatir padanya, justru saat itulah dia akan pulang. Ketika aku ketakutan, dia muncul di hadapanku seperti cahaya terang yang menerangi sekitar. Kak Izza adalah orang yang hebat. Namun, sehebat apapun dia, kita masih saja mengkhawatirkannya."

"Itu benar! Sehebat apapun kak Izza, kita masih saja khawatir. Rasanya seperti … seperti … ," ucapku spontan. Mataku tertuju pada wajah cendayam kak Roppy. Kulihat senyumannya seakan memantulkan warna jingga di langit. Sebuah senyuman manis yang takkan pernah bisa kubuat dengan wajahku.

"Nah, begitulah seharusnya, Yuku. Katakan saja apa yang ingin kamu katakan. Itu jauh lebih baik."

Kata-katanya membuatku sedikit tersipu. Tanpa sadar, aku membalas ucapan kak Roppy. Bahkan posisi dudukku saja sudah berubah. Di atas tikar yang dihamparkan di halaman, kami semua duduk setengah mengelilingi kayu-kayu yang tersusun untuk api unggun. Jumlah kami tidak cukup untuk mengelilingi api unggun yang besar itu. Persiapan ulang tahun sederhana ini sebentar lagi dimulai.

"Ah! Kak Izza sudah datang. Masuklah, kak!" ucap kak Roppy tiba-tiba. Aku yakin itu karena kak Izza yang memanggil Roppy dari luar lingkaran sihir.

Dari dalam hutan, muncullah seorang lelaki berperawakan lebih tinggi dari kami. Kulihat dadanya membidang dengan badan berisi meskipun sedikit. Dia membawa karung yang entah apa isinya. Satu tangannya melambai ke arah kami.

"Aku pulang!"

"Selamat datang, kak Izza!"  sahut serempak anak-anak selain aku.

"Maaf menunggu lama. Apa kalian sudah melakukan tugas dengan baik?" tanya kak Izza pada kami sambil meletakkan karung.

"Sudah!"

"Tentu saja!"

"Bahkan aku masih bisa melakukan tugas lain, kak!" jawab mereka bergantian.

"Wah, bagus. Kalau begitu … ." Kak Izza mendongak ke langit yang telah kehilangan warna jingganya. Benar! Malam telah tiba. Beberapa saat kemudian kakak tersenyum.

"Mari kita mulai acaranya!"

Setelah kak Izza mengatakan itu, muncullah api di tengah-tengah kayu yang sudah tersusun, kemudian membakarnya hingga jadilah sebuah api unggun besar yang menerangi sekitar. Percikan api kecil beterbangan ke langit. Walaupun sudah sedekat ini, kami semua sama sekali tidak merasa panas. Tidak henti-hentinya aku terkagum pada kak Izza yang mampu memanipulasi elemen api sesuai kehendaknya, benar-benar mencerminkan seorang penyihir tingkat tinggi.

"Wooaaahh!" Zeyn berteriak kegirangan melihat api unggun.

"Api yang cantik, ya," ucap Laya pada Misa. Matanya terpesona melihat api yang berkobar di depannya.

"Kamu benar. Apinya sangat cantik," sahut Misa tanpa mengalihkan pandangan pada api unggun.

"Apa kamu juga sependapat dengan  mereka berdua, Yuku?" tanya kak Roppy padaku.

Aku mengangguk sambil tersenyum tipis.

"Syukurlah, hihi." Kak Roppy tertawa kecil.

"Laya, Leo, kemarilah!" panggil kak Izza.

"Baik!" sahut mereka serempak, kemudian berjalan ke hadapan kak Izza.

Lelaki rupawan berusia 19 tahun itu memegangi kepala si kembar sambil menatap mereka satu persatu. Mata kak Izza menggambarkan suatu perasaan yang tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Perasaan terharu dan bangga bercampur pada tatapan itu.

"Kalian berdua sudah besar, ya. Apakah kalian masih ingat ketika kita pertama kali bertemu?"

Laya mengangguk, "Aku masih ingat. Tidak hanya kejadiannya, tetapi juga aku masih ingat perasaan hangat yang meliputi tubuhku. Kak Izza datang ketika kami berteduh dari hujan menggunakan kain basah yang kami pungut. Aku dan Leo sudah tidak memiliki siapapun lagi di dunia ini, baik keluarga maupun kerabat. Kami ditinggalkan dan dilupakan oleh orang-orang yang mengenal kami."

"Namun, semua itu berubah ketika kakak menjemput kami dengan sebuah uluran tangan, sesuatu yang sangat kami harapkan kala itu. Senyuman kak Izza saat menjemput kami adalah kenangan yang paling berharga untukku," sambung Leo.

"Karena itulah … kami sangat menyayangi kakak," ucap mereka berdua dibarengi senyuman lebar.

Setelah ucapan itu keluar, kak Izza pun menyamakan tinggi dengan mereka kemudian langsung memeluk si kembar dengan erat.

"Tumbuh dewasalah kalian berdua, tingkatkan kemampuan kalian sampai batas tertentu, kemudian bantulah orang-orang yang memerlukan pertolongan. Hanya itu yang kakak minta jika kalian ingin membalas budi."

"Aku berjanji, kak. Meskipun orang-orang membuang kami, aku tetap akan membantu mereka jika diperlukan," ucap Laya sambil membalas pelukan.

"Leo juga! Leo juga berjanji, kak!" seru Leo.

"Aku akan sangat bangga jika kalian mampu memenuhi permintaan kakak. Tidak peduli seberapa banyak orang-orang menyakiti kita, janganlah dibalas. Karena itu hanya akan menimbulkan masalah yang lebih besar." Kak Izza melepas pelukannya. Setelah itu, ia berjalan ke sisi yang kosong di depan api unggun dan berisyarat pada si kembar untuk memulai adat.

Adat yang dimaksud adalah sebuah prosesi pembuka sebelum memulai acara ulang tahun dengan mengelilingi  api unggun. Orang yang berulang tahun akan mengelilinginya satu putaran, sembari menghampiri tiap orang yang berada di depan api. Dia dilarang berbicara secara sengaja saat prosesi berlangsung. Pada saat inilah para hadirin akan memberikan masing-masing satu Lamin untuk dipakai oleh orang yang berulang tahun sebagai ungkapan bahagia. Setelah memakaikannya, para hadirin akan memanjatkan sebuah permohonan.¹

Karena sudah memahami apa yang seharusnya dilakukan, mereka pun berpegangan tangan dan mulai berjalan untuk mengelilingi api unggun. Di urutan pertama, Zeyn sudah bersiap menyambut si kembar pengantin itu. Sembari mengalungkan sebuah untaian bunga pada leher mereka, Zeyn mengucapkan sebuah permohonan.

"Emm … sebenarnya aku masih tidak mengerti, tapi selamat ulang tahun untuk kalian!"

"Ah … itu bukan permohonan, Zeyn," gumamku dalam hati.

"Ahahaha, tidak apa. Yang terpenting di sini adalah perasaan kalian pada Laya dan Leo. Aku yakin Zeyn merasakan sesuatu ketika memberikan lamin tersebut. Benar, Zeyn?" ucap kak Izza.

Dengan semangat, Zeyn menganggukkan kepalanya hingga membentur lengan Leo.

"Aduh!" ucap Leo spontan. Menyaksikan hal itu membuat semuanya tertawa, kecuali aku.

Adat kembali dilanjutkan beberapa saat kemudian. Mereka berdua berjalan beberapa langkah dan berhenti di hadapan Fredly. Dengan senyuman hangat, Fredly menarik kedua tangan si kembar dan memasangkan dua buah gelang dengan cepat. Aku selalu berpikir bahwa Fredly sama sekali tidak cocok dengan senyuman seperti itu. Mengingat dia termasuk anak yang agak nakal dan susah diatur.

"Selamat ulang tahun, sobatku. Semoga persaudaraan kalian selalu baik. Selain itu, aku juga berharap semoga pertemanan kita selalu abadi," ucap Fredly yang masih tersenyum hangat —karena terpaksa.

"Sudahlah, Fredly. Anak lelaki yang masih mengompol di usia 8 tahun tidak cocok mengatakan itu. Ditambah lagi senyuman itu membuatku jijik," ketus Misa dengan nada jengkel. Perkataannya memang kejam, tapi aku setuju.

"Hey, hey, nenek lampir! Aku bangun pagi bukan karena mengompol, melainkan untuk melatih bakatku dalam berpedang. Perempuan kasar sepertimu mana bisa memahaminya," balas Fredly.

"Ini bukan masalah aku paham atau tidak. Meskipun aku tidak mengetahui apa hebatnya seni pedang, fakta tentang kamu yang mengompol tidak bisa kamu bantah, bukan?" sepertinya debat kali ini dimenangkan oleh Misa. Sebab semua orang yang ada di sini adalah saksinya.

"Haaah? Apa katamu?"

"Fredly! Misa! Sudah cukup pertengkarannya. Kita ini masih di tengah-tengah adat, loh. Jika kalian selalu bertengkar seperti itu, bisa-bisa para bintang menikahkan kalian di masa depan," ucap kak Izza menengahi—sambil terkekeh.

"Tidak mau!"

"Najis!" seru mereka serentak.

"Kalian tahu, tidak? Magnet akan saling tarik-menarik jika mereka punya kutub yang berlawanan. Sama seperti kalian, besar kemungkinan kalian akan saling tertarik jika selalu bersifat seperti ini. Akurlah mulai hari ini, oke?"

Setelah kak Izza mengatakan itu, Fredly dan Misa saling tatap sinis kemudian saling memalingkan wajah. Mereka benar-benar tidak ingin akur. Sementara itu, Laya dan Leo melanjutkan langkahnya. Kali ini giliran Misa memberi mereka lamin. Sama seperti Fredly, ternyata Misa juga memberikan lamin berupa gelang tangan. Dengan sigap, dia memasangkan gelang itu pada tangan kiri mereka, supaya Fredly tidak melihatnya.

"Aku berharap kita akan selalu bersama sebagai satu keluarga, Laya, Leo." Misa tersenyum.

Karena saat prosesi adat tidak membolehkan Laya dan Leo berbicara, Laya pun hanya bisa membalasnya dengan senyuman lebar. Kemudian mereka kembali berjalan ke arah kak Roppy.

"Sebentar lagi giliran kita, Yuku," bisik kak Roppy. Aku hanya bisa menggangguk.

Saat kami menunggu-nunggu si kembar berjalan ke hadapan kami, tiba-tiba Leo terpeleset dan tangannya tidak sengaja mendorong Laya. Whush! Hembusan angin menerpa wajahku, bersamaan dengan si kembar  yang melayang di udara. Astaga, aku nyaris saja berteriak.

"Hampir saja," ucap kak Izza sambil tertawa kecil.

Ternyata kak Izza menggunakan sihirnya untuk mencegah si kembar jatuh dan mengacaukan adat. Dengan lembut, kak Izza membantu si kembar berdiri menggunakan sihir anginnya. Mereka berdua hanya bisa mengangguk ke arah kak Izza, isyarat berterima kasih. Selepas itu mereka kembali berjalan hingga ke hadapan kak Roppy.

"Dengan ini, kalian berdua sudah memasuki usia 8 tahun," ujar kak Roppy seraya memasangkan mahkota dari lilitan kayu lentur.

"Aku berharap, kalian bisa tumbuh dewasa bersama. Tidak peduli seberapa sulitnya masa lalu kalian, tumbuhlah dengan sehat, Laya, Leo."

Permohonan kak Roppy hampir sama seperti perkataan kak Izza sebelumnya, permohonan untuk tumbuh dewasa. Menyadari hal itu, Kak Izza mengacungkan jempol sambil mengedipkan satu matanya. Oh iya, ini giliranku memberikan lamin pada mereka. Tidak butuh waktu lama, mereka kini sudah berada di hadapanku. Aku segera memasangkan cincin yang terbuat dari daun-daun kecil. Di tengahnya, aku meletakkan semanggi kecil berdaun empat agar terlihat lebih cantik. Sebenarnya aku telah menyiapkan lamin ini jauh-jauh hari, sebab mencari semanggi berdaun empat sangatlah sulit.

"Kuharap, kalian senantiasa diberkahi bintang Eirixon," ucapku lirih.

Aku tidak tahu apakah mereka mendengar perkataanku atau tidak. Namun, aku sangat serius ketika mengatakan itu. Berkah Eirixon adalah berkah yang sangat mulia bagi kami. Karena mana sihir yang terdapat di sekitar asalnya dari langit, tepatnya dari bintang Eirixon. Tanpa berkah tersebut, para penyihir takkan bisa mengeluarkan potensinya.

Kesampingkan hal itu. Kini si kembar mulai berjalan ke arah kak Izza. Wajah mereka menyiratkan ketidaksabaran menerima lamin dari sang kakak. Ketika mereka sudah berada di hadapannya, kak Izza mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah terang. Saat ia membuka kotak, nampaklah dua anting emas yang dihiasi satu batu permata. Mata semua orang tertuju pada anting itu.

"Laya, Leo. Aku akan memberikan item sihir ini pada kalian," ucap kak Izza sambil menyamakan tinggi dengan si kembar.

"H-hah?! Item sihir?" Fredly berseru kaget.

"Yang kutahu, item sihir adalah benda yang sangat mahal. Apa kakak punya cukup uang untuk membeli benda itu?" Misa pun ikut terheran-heran dengan apa yang dilihatnya.

Wajar saja jika semuanya beranggapan demikian. Karena item sihir adalah benda yang tidak hanya mampu menampung mana sihir atau sihir itu sendiri, melainkan juga mampu mengeluarkan kemudian menggandakan mana sihir atau sihir tertentu. Bagi kami, menyentuh benda berharga seperti item sihir sudah seperti menggapai langit, benar-benar mustahil.

"Tidak ada yang lebih mahal dibandingkan kalian, Misa. Aku akan melakukan apa saja untuk membuat kalian aman. Item sihir ini bahkan tidak berharga jika dibandingkan dengan kalian."

"Tapi, kak—" Laya refleks berbicara. Dengan sigap, kak Izza menutup mulutnya supaya tidak mengacaukan adat.

"Dengar, semuanya. Aku telah merencanakan ini beberapa minggu yang lalu. Kalian tahu, bukan? Kita berada di tengah hutan. Selama ini memang tidak ada hewan buas yang menyerang kita saat memetik buah, memancing, ataupun saat ingin pergi ke kota. Tapi apa kalian yakin hal ini akan terus menerus berlangsung?" Tanya kak Izza seraya menatap wajah kami satu persatu.

"Tidak, bukan? Maka dari itu, ketika matahari terbit besok, kita akan mengadakan latihan bertarung dengan hewan buas. Anggap saja aku sedang mengajari kalian berburu."

"Kak Izza!" panggil Roppy.

"Apa kakak serius melatih kami untuk bertarung? Bukannya kakak di sini untuk melindungi kami?"

Kak Izza menggeleng, "tidak selamanya aku bisa melindungi kalian. Kecuali aku selalu menggunakan Eirixon secara terus menerus."

"Tunggu dulu! Eirixon? Apa itu artinya kak Izza … ." Kak Roppy tidak melanjutkan kata-katanya. Kulihat kedua matanya seolah tidak percaya dengan perkataan kak Izza.

"Benar, Roppy. Kakak kalian ini adalah satu-satunya Pangeran di Tanah Cahaya."

Mendengar hal itu, kami semua terperanjat kaget. Bagaimana tidak? Pangeran adalah satu-satunya orang yang paling berharga melebihi sang Raja itu sendiri. Lalu, sang Pangeran itu berada di sini? Bersama kami?

"Kakak seorang Pangeran?" tanya Misa yang spontan menutup mulutnya dengan kedua tangan.

"Benar, Misa."

"Sungguh? Kakak seorang Pangeran?" tanya Fredly.

Kak Izza kembali terkekeh, "sungguh, aku adalah seorang Pangeran. Aku akan menceritakannya malam ini sebagai pengantar tidur kalian."

"Memangnya Pangeran itu apa?" Zeyn mempertanyakan hal lain dengan wajah polos. Satu keningnya dinaikkan sembari meletakkan jari telunjuk di tengah dagu.

"Itu artinya, kakak kita adalah orang yang hebat, Zeyn." Mata Fredly terlihat berbinar-binar saat menjawab pertanyaan Zeyn.

"Bukannya kakak memang orang yang hebat, ya?" tanya Zeyn lagi.

"Tidak, tidak. Eh … memang benar, sih. Tapi ini berbeda dan lebih hebat." Fredly kembali menjawab pertanyaannya. Kali ini dia sampai melebarkan kedua tangannya hanya untuk meyakinkan Zeyn bahwa kata Pangeran adalah orang yang sangat-sangat hebat.

"Ahaha, sudah, sudah. Kita masih harus menyelesaikan adat, ingat?"  ucap kak Izza. Semuanya pun kembali tenang.

Aku masih tidak mengerti. Apa hubungannya antara Eirixon dengan seorang Pangeran? Apakah seorang  Pangeran bisa mengendalikan sihir dari Eirixon? Ataukah ada maksud lain dari perkataan kak Izza barusan. Jika kak Izza sungguh bisa mengendalikan Eirixon, itu berarti kakak benar-benar orang yang sangat hebat. Penyihir yang mendapat berkah dari Eirixon saja sudah tergolong hebat, apalagi jika ada orang yang bisa mengendalikan kekuatan itu sepenuhnya.

Aku yang masih diselimuti pertanyaan tentang kak Izza pun memilih untuk mengabaikannya sejenak. Mataku kembali tertuju pada kakak yang sekarang mulai memasangkan satu anting di telinga kanan Laya. Kurasa Laya takkan ada masalah dengan ini. Karena anak perempuan yang baru lahir wajib dipasangkan anting di kedua telinganya sampai waktu tertentu. Hal ini bertujuan untuk melindungi mereka dari roh-roh jahat yang datang dari Tanah Kegelapan. Aku yakin itu takkan menyakitkan bagi Laya mengingat dia sudah memiliki lubang di telinga, tapi yang jadi masalah di sini adalah Leo.

"Menurutmu, Leo akan bagaimana? Apakah dia akan menjerit kesakitan?" tanya kak Roppy sambil berbisik.

"Aku … tidak tahu, tapi kurasa dia akan menjerit," sahutku dengan suara rendah.

"Kita sepemikiran, Yuku. Para roh jahat dari Tanah Kegelapan lebih suka dengan anak perempuan yang baru lahir ketimbang anak laki-laki. Karena itulah anak perempuan diharuskan memakai anting setidaknya sampai usia 2 tahun," tutur kak Roppy.

"Woah! Leo tidak berteriak saat dipasangi anting, keren!" seru Zeyn sambil menepuk tangan.

Mendengar hal itu, aku dan kak Roppy langsung menoleh ke arah Leo. Kulihat dia tengah membelakangi kami dengan satu tangannya mengusap-usap pipi. Sayup-sayup terdengar suara isakan dari arah Leo. Saat dia menghadap kami, raut wajahnya menunjukkan rasa sakit yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Satu anting telah terpasang di telinga kiri Leo dan membuatnya nampak serasi dengan saudari kembarnya.

"Sepertinya dia berusaha keras agar tidak menjerit, ya," ucapku.

"Kamu benar, Yuku. Kita kalah bahkan sebelum bertanding," sahut kak Roppy.

Mulutku kembali berucap tanpa sengaja. Namun, kali ini berbeda. Tidak ada lagi rasa sesak yang kurasakan ketika kata-kata itu terucap. Tidak ada lagi rasa trauma yang kurasakan saat kalimat itu terungkap. Bahkan rasanya begitu ringan, nyaman dan tenang.  Aku dan kak Roppy saling tatap kemudian tertawa bersama.

***

Catatan kaki:

¹ Lamin adalah sebuah benda yang biasa kita sebut dengan aksesoris, tapi memiliki makna beragam di dalamnya. Kalimat ini hanya ada di Tanah Cahaya.