Chapter 3 - Chapter 1.5

Satu jam berlalu dengan cepat. Setelah melihat lawanku sendiri dan para peserta lain di papan pengumuman, aku langsung bergegas duduk bersama para penonton. Di bawah sana terhampar lapangan yang begitu luas. Aku pasti membutuhkan waktu sepuluh menit lebih jika berlari dengan cepat ke seberang sana. Di atas lapangan itu dua orang sudah memulai pertarungannya. Dan benar saja, perempuan yang menggunakan penutup kepala itu ternyata peserta juga. Dalam pertandingan dia masih saja menggunakan penutup kepala dan melindungi wajahnya.

Haahh! Sayangnya pertarungan mereka sangat membosankan. Saking membosankannya, aku sudah menghembuskan napas berat sebanyak lima kali. Perempuan itu mempunyai pedang yang bagus, tapi kenapa dia hanya menghindar saja? Sebaliknya, yang dia lawan terlihat seperti pendekar pedang. Meski perawakannya kurus, dia memiliki tubuh fleksibel sehingga mampu mengayunkan pedang dengan anggun.

Aku pun bersandar dan menepuk dahiku sambil menutup mata.

"Membosankan … cepatlah berakhir … nanana," aku bersenandung sendiri dibalik sorakan penonton.

Tiba-tiba Colosseum bergetar karena gemuruh para penonton yang terkagum-kagum. Aku yang penasaran pun membuka mata dan kembali melihat pertandingan. Sama seperti penonton lainnya, aku pun sampai berteriak.

"KOK BISA?!"

Perempuan yang sedari tadi hanya menghindari tiap hunusan pedang kini telah membuat lawannya jatuh terduduk. Tangan kanannya menghunuskan sebilah pedang yang nampak bersinar dari atas sini ke leher musuh. Kulihat mulutnya menggumamkan sesuatu pada musuhnya. Ah! Sepertinya aku bisa menebak apa yang akan terjadi.

"A-AKU … AKU MENYERAH!" teriak musuh dengan nada bergetar.

Perempuan tadi menyuruh musuhnya untuk menyerah. Jika tidak, dia akan membunuh musuhnya tanpa segan-segan. Aku tidak yakin perempuan itu bisa membunuh. Justru karena tidak bisa membunuh, dia repot-repot menyuruh musuhnya menyerah.

"Andaikan aku tidak menutup mataku, aku pasti sudah melihat bagaimana dia menyerang balik," aku kembali membatin.

Oh iya! Selanjutnya adalah aku melawan seseorang yang bernama Rindes. Dari yang kulihat dari papan pengumuman, Rindes adalah seorang mantan Panglima prajurit Ibukota. Usianya kira-kira 45 tahunan.

"Ahaha, lawanku seorang veteran," gumamku.

Namun, saat aku hendak berdiri, seseorang berteriak di tengah-tengah lapangan. Hm? Siapa dia? Dari pakaiannya dia terlihat seperti bangsawan dari kota besar. Dengan setelan mewah, dia berteriak dengan lantang untuk meminta perhatian sejenak. Semua mata tertuju padanya.

"DENGARKAN AKU! KALI INI KAMI AKAN MENGADAKAN PERTARUNGAN DI LUAR PERTANDINGAN!"

Pertarungan di luar pertandingan? Aku jadi merasakan firasat yang aneh di balik pertarungan ini.

"TENANG SAJA, PERTARUNGAN INI HANYALAH PERTARUNGAN TAMBAHAN SEMBARI MENUNGGU PESERTA SELANJUTNYA BERSIAP-SIAP. DARIPADA MENUNGGU MEREKA BERSIAP, BUKANKAH KALIAN INGIN MELIHAT SESUATU YANG MENARIK? KALAU BEGITU, SAKSIKANLAH PERTARUNGAN ANTARA DUA PERWAKILAN WILAYAH INI. SIAPAPUN YANG MEMENANGKANNYA, DIA AKAN MENGUASAI DUA WILAYAH SEKALIGUS!"

Haah! Ternyata masalah kekuasaan lagi. Aku yakin ini akan menjadi pertarungan hidup dan mati. Dari pintu masuk yang ada di sebelah kiriku, muncullah seorang pria dengan katana yang masih tersarung di pinggangnya. Perawakan pria itu lebih kecil dari Grego, tapi otot-ototnya terlihat jelas dari luar pakaiannya. Dia berjalan memasuki lapangan.

Kemudian dari arah pintu masuk sebelah kananku keluarlah seorang pria … hey! Dia terlihat seumuran denganku. Dia tidak membawa apapun ke arena. Tidak ada pedang atapun senjata lain di tangannya. Saat kulihat matanya, dia benar-benar punya tekad yang besar untuk melakukan pertarungan ini. Dia berjalan memasuki lapangan.

Kedua pesaing menatap tajam satu sama lain, seolah tidak ingin kalah.

"Hey, sobat!" seseorang yang duduk di sebelah menyenggolku. Aku pun menoleh.

"Ada apa?" tanyaku.

"Apa kamu tahu siapa mereka berdua dan kenapa mereka bisa ke sini?"

Aku menggeleng, "tidak sama sekali. Kamu tahu sesuatu, ya?"

"Hehe," dia tertawa kecil.

"Tentu saja aku tahu. Pemuda yang terlihat tidak membawa apa-apa itu bernama Raehal. Sedangkan pria yang membawa katana itu bernama Raeden. Mereka berdua saudara kandung. Mendiang ayah mereka sudah mewariskan dua wilayah kekuasaan untuk kedua anaknya agar mereka berdua tidak berseteru di masa depan. Tapi lihatlah! Rasa tamak menguasai kedua saudara itu sehingga membuat mereka ingin membunuh satu sama lain. Aku jadi kasihan dengan mendiang ayah mereka."

"Pertarungan antar saudara, ya. Ini memang bukan urusanku, tapi aku merasa Raehal akan kalah. Jika dia tidak memiliki keberuntungan, bisa saja dia mati hari ini."

"Dalangnya adalah orang yang berteriak di tengah lapangan tadi," ucapnya.

"Eh? Apa maksudmu?"

"Sudah kubilang, dalangnya adalah orang yang berteriak di tengah lapangan tadi. Orang itu bernama Waghan, wali dari kedua saudara tadi sejak masih kecil. Dialah yang merencanakan pertarungan ini. Sebelumnya, dia juga yang telah membuat dua wilayah itu berseteru. Dia sangat yakin kedua saudara akan saling membunuh di pertandingan ini. Coba pikirkan, apa yang terjadi jika kedua belah pihak mati?"

"Begitu, ya. Waghan juga berusaha menguasai kedua wilayah, karena itulah dia membakar api dendam di hati masing-masing saudara dan menunggunya saling bertarung," ucapku sambil menatap kedua petarung yang masih saling bincang.

"Beginilah dan begitulah adanya," sahut orang yang duduk di sampingku. Matanya juga tertuju ke lapangan.

"Dan kamu adalah salah satu pengikut Waghan, bukan?" sindirku.

Tubuhnya tersentak, "a-ah … langsung ketahuan, ya."

"Tenang saja, aku tidak akan ikut campur masalah kalian. Aku juga tidak terlalu tertarik untuk mendukung salah satu dari kalian," aku kembali meregangkan kedua tanganku yang terasa pegal.

"Ahahaha! Kamu orang yang menarik, ya. Tidak salah aku memberitahukannya padamu. Bosku itu memang orang yang sangat tamak. Jika dia menguasai kedua wilayah, aku yakin akan banyak wanita yang menjadi korbannya."

"Dia berencana memperbudak wanita?" tanyaku.

"Benar sekali. Karena itulah aku akan membunuhnya juga hari ini agar keluargaku bisa selamat."

Aku kembali menghela napas setelah mendengar pernyataannya.

"Lalu ketika kamu berhasil membunuhnya, kamu berniat menjadi penguasa? Kurasa rencanamu tidak akan berjalan mulus, sobat," ucapku sambil menepuk pundaknya.

"Ahaha, beginilah dan begitulah adanya. Namun, jika aku benar-benar menguasai dua wilayah itu, aku akan berusaha menjadi penguasa yang bijaksana suatu hari nanti. Akan kumakmurkan demi rakyat."

Orang ini brengsek dan penuh dengan tipu daya, itulah yang ada dibenakku. Perhatikanlah tiap kalimatnya. Sedari tadi dia terus menyembunyikan hasrat jahat. Aku tidak akan tertipu dengan mudah, loh. Seseorang bisa saja berbohong lewat kata-kata, tapi dia tidak bisa menyembunyikan auranya.

"Begitukah? Kalau begitu berjuanglah," ucapku cuek.

"Hey, hey, sobat. Sepertinya aku mulai menyukaimu," bisik lelaki yang terlihat berusia 45 tahunan itu.

"Hm? Sayangnya aku lebih tertarik dengan perempuan."

"Oh, ayolah. Ahahaha! Maksudku aku akan menjadikanmu salah satu petinggi di wilayahku. Tapi dengan satu syarat, bantulah aku membunuh Waghan."

"Heeh? Kamu ingin menyewaku, ya? Bayarannya harus lebih besar. Minimal jadikan aku Raja di Tanah Cahaya ini," ucapku.

"W-wah … itu sih mustahil, sobat. Tapi jika kamu mau, aku akan memberikan sebagian wilayahku untukmu. Itu sangat menguntungkan, bukan?" dia masih saja membisiki telingaku.

"Aku hanya bercanda, aku ini tipe orang yang tidak ingin ikut campur di dalam masalah politik. Jadi kamu bisa menguasai wilayah itu dengan tenang."

"Kalau begitu, baiklah, begini saja. Tinggallah di wilayahku. Maka akan kujamin keselamatan kekasih atau keluarg—, w-wah!" ucapannya langsung terputus setelah melihat satu tombak kecil dari angin yang siap menerjang kepalanya. Tenang saja. Selain orang ini, tidak ada yang bisa melihat tombakku.

"Jika kamu membicarakan itu lagi, aku akan langsung membunuhmu di sini sebelum kita bertanding, wahai tuan veteran, Rindes."

Setelah mengucapkan itu, aku pun menghilangkan tombak angin dengan cara memerintahkannya melebur. Hembusan angin lembut menerpa wajah kami karenanya. Aku sengaja menolak karena orang ini sangat licik. Dia dengan mudah memperdayai orang, bahkan dia telah menjadikanku sebagai target selanjutnya. Jika aku tinggal di wilayahnya, dia tidak akan membiarkanku dan keluargaku hidup dengan damai.

"Tidak kusangka, sobatku adalah musuhku di pertandingan ini. Jadi kamu Rizza, si penyihir kelas menengah itu, ya? Ahaha, pantas saja pemikiranmu sangat menarik. Kalau begitu lupakan saja kesepakatan tadi. Akan kubunuh dia sendirian sebelum bertanding denganmu."

"Baiklah, baiklah," ucapku datar. Veteran memang berbeda. Meski sudah kuintimidasi, dia tetap tidak bergeming. Sepertinya pertarunganku akan seru.

Pandanganku kembali melihat ke arah lapangan. Mereka juga sudah selesai berbincang-bincang. Nampak jelas raut wajah pemuda yang bernama Raehal itu berubah menjadi merah padam. Partikel-partikel cahaya lembut muncul di depan wajahnya. Ketika ia mengangkat tangannya ke depan, partikel-partikel itu dengan cepat berkumpul di genggaman tangannya membentuk sebuah pedang.

"Hm? Pedang sihir?" tanyaku dalam hati.

Sembari menggenggam gagang pedang  dengan dua tangan, dia mengalirkan sihirnya ke seluruh tubuh. Kemudian, BLAMM! Ledakan mana sihir terjadi di sekitar tubuh Raehal.

"RAEDEEEN!" teriaknya.

"Tunggu, bukankah di pertandingan ini peserta dilarang memakai sihir?" tanya orang yang duduk di atasku pada teman di sampingnya.

"Entahlah, aku juga mendengar begitu," sahut temannya.

Ternyata ini yang dimaksud dengan pertarungan di luar pertandingan. Mereka boleh memakai senjata apa saja, termasuk memakai pedang dan item sihir. Raehal memakai sebuah item sihir berbentuk gelang di tangannya. Kurasa itulah yang membuat mana sihirnya bergejolak sehingga menimbulkan ledakan mana sihir. Angin yang begitu kencang mulai terasa di bangku penonton akibat ledakan itu.

Sedangkan orang yang menjadi lawannya, Raeden, berusaha mengumpulkan mana sihir sebanyak mungkin sembari menekuk kedua lututnya. Tangan kirinya memegang sarung, dan tangan kanannya memegang gagang katana. Dia hanya menunggu saudaranya datang menyerang lebih dulu. BLAMM! Tiba-tiba ledakan sihir juga terjadi pada dirinya. Puing-puing arena lantai nampak terangkat, seperti tidak ada gravitasi di sana.

Dua mana sihir dalam jumlah besar itu bertabrakan di tengah Colosseum, membuat udara sekitar menjadi kasar dan tajam sehingga mampu melukai penonton.

"Angin, lindungilah para penonton dan jangan biarkan udara yang sudah tercemar memasuki paru-paru mereka!" perintahku pada angin dengan suara lirih.

Seketika muncul tameng transparan yang melindungi para penonton dari ledakan mana. Seolah-olah pertarungan Raehal dan Raeden terjadi di dimensi yang berbeda. Seberapa kencang angin di arena, itu tidak akan berpengaruh terhadap para penonton. Satu dua orang terdengar bertanya-tanya tentang apa yang sedang terjadi.

Di waktu yang sama, Raehal melesat tanpa ragu ke arah saudaranya, Raeden. Ia memposisikan pedangnya di atas bahu kiri sembari mempersiapkan hunusan diagonal. Kuda-kuda itu biasanya digunakan di saat pengguna pedang ingin mengakhiri pertarungan dalam satu serangan. Di sisi lain, Raeden masih dalam posisi untuk menyambut serangan saudaranya. Entah apa yang akan terjadi dengan mereka berdua setelah melepaskan serangan itu. Meskipun salah satu dari mereka menang, tidak ada jaminan dia akan hidup setelah pertandingan hari ini usai.

***