Pranggg!
"Hah!" Mecca menatap pecahan gelas yang sudah hancur. Ia langsung memegang dadanya yang bergemuruh, entah kenapa ia merasakan ada suatu hal yang terjadi.
"Ca, diam di sana! Jangan bergerak!" Reval segera membersihkan pecahan belingnya.
Saat membersihkan, ternyata malah ibu jari Reval yang tergores, sampai dirinya meringis.
"Au!"
Mecca langsung memeriksa tangan Reval dengan wajah cemas. Lalu mengambil kotak P3K.
"Kenapa harus sampai luka gini, sih! Makanya hati-hati," gerutu Mecca dengan telaten mengobati, sedangkan Reval tersenyum melihat adiknya yang terlihat mencemaskannya.
Mecca yang merasa diperhatikan, berusaha mengabaikan, memfokuskan mengobati lukanya yang lumayan besar. Lalu ia yang melanjutkan membersihkan pecahan belingnya.
Setelah selesai, ia menaruh kembali kotak P3K nya ke tempat semula.
"Kenapa bisa ceroboh gitu, Ca? Untung tadi gak terluka," ucap Reval menatap sang adik dengan cemas.
"Gue gak papa, tapi elo tuh yang terluka jadinya," sahut Mecca membawa dua gelas susu dan sereal.
"Huh! Untung papa sama bunda lagi pergi ke luar kota, kalau enggak bakal gawat lagi nanti. Bunda lagi yang khawatir." Reval menatap adiknya yang tatapannya seperti gelisah.
"Lebay banget sih!" sahut Mecca menyembunyikan kegelisahannya.
Reval meminum susu yang dibawa adiknya, lalu kembali berucap. "Gue ulangi lagi bertanya, kenapa bisa lo ceroboh gitu, Ca?" tanyanya.
Mecca membalas tatapan Reval yang tengah menatapnya menunggu jawaban darinya.
"Entah kenapa gue ngerasa ada sesuatu yang terjadi, seperti ada seseorang yang terluka, Val," jawab Mecca menghela napas kasar.
Reval tak tahu harus memberikan respon seperti apa agar kecemasan adiknya berkurang. Lalu ia pun menggenggam tangan Mecca.
"Berpikir yang baik-baik aja, Ca. Mungkin itu cuma sekedar firasat," sahut Reval.
"Dan apa gue boleh nanya sesuatu?" Mecca beralih menatap Reval.
"Apa?"
"Apa lo udah gak benci lagi sama gue, Ca?" Pertanyaan itu, langsung membuat Mecca diam.
Lalu seketika, Mecca menarik tangannya kasar dari genggaman Reval. Memberi jarak dan memilih makan tanpa menjawab pertanyaan Reval.
Melihat itu, Reval tersenyum miris. Hatinya sudah berharap-harap bahwa hari ini adiknya akan bilang tidak lagi membencinya, melainkan menyayangi sebagai seorang kaka. Tetapi sepertinya masih butuh banyak waktu.
"Gue masih benci sama lo, tapi sekarang udah sedikit berkurang." Pandangan Reval langsung tertuju pada Mecca, menunggu ucapan gadis itu selanjutnya.
"Karena tetap aja, kehadiran lo sama bokap lo akan tetap gue anggap orang asing bukan keluarga yang masuk di kehidupan gue dan bunda. Dan posisi ayah gue gak akan ada siapapun yang bisa menggantikannya!" lanjutnya.
Setelah percakapan yang awalnya baik-baik saja, lalu berubah menjadi masalah yang kembali diingat. Membuat Reval dan Mecca seperti kembali ke awal, mengingat ulang jika kebencian belum sirna di hati Mecca.
Reval yang seharusnya berangkat sekolah, tidak berniat masuk hari ini. Ia berpikir tidak bisa diam saja dan harus melakukan banyak cara agar Mecca tidak lagi membencinya.
'Meskipun lo membenci gue, Ca. Gue akan tetep menjaga dan memberi begitu banyak kebahagiaan untuk lo sebagai seorang kaka, bukan sebagai seorang laki-laki yang mencintai lo,' ucap batin Reval.
Mecca berjalan perlahan menuju taman, di belakangnya ada Reval yang mengikutinya.
Helaan napas kasar terdengar dari Mecca, berbalik menatap Reval dengan kedua tangan berkacak di pinggangnya.
"Lo ngapain ngikutin gue? Sana lo pergi ke sekolah!" Mecca duduk di kursi taman, mengeluarkan ponselnya dan membukanya.
Reval belum menyahut, mengambil tempat duduk di samping Mecca.
"Gue gak masuk sekolah aja hari ini, mau nemenin lo, Ca." Wajah Mecca terangkat menatap Reval dengan sinis.
"Gue gak mau lo sendirian, Ca," ucap Reval lagi.
"Lo peduli?"
Reval mengerutkan keningnya, tak mengerti dengan ucapan Mecca. Sedangkan Mecca, mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Matanya terpejam sebentar, secara tiba-tiba hatinya terasa sakit setelah kata-kata itu keluar dari mulutnya.
"Ca." Reval menggenggam tangan Mecca dengan menatap hangat.
Mecca membalas tatapan Reval. Untuk pertama kalinya, Mecca bisa melihat ketulusan seseorang yang peduli padanya dan itu pada tatapan Reval padanya.
"Gue peduli dan sayang sama lo, Ca." Tangan Reval bergerak mengelus puncak kepala Mecca lembut.
"Gue gak mau lo terluka, gue benci ngeliat lo menangis. Mecca, gue kaka lo. Walaupun kita gak sedarah, tapi gue bener-bener menganggap lo seseorang yang sangat penting, begitupun bunda," lanjutnya.
Setetes air mata seketika jatuh di pelupuk mata gadis yang tak menyadarinya. Kata-kata yang cukup meyakinkan Mecca, tetapi juga membuat Mecca takut. Bagaimana jika yang Reval ucapkan hanya berlaku di awal, tidak untuk selamanya? Reval langsung memeluk Mecca, ia tahu jika adiknya menyimpan begitu banyak luka.
Apalagi luka itu sangat membekas yaitu kehilangan orang yang benar-benar Mecca sayang. Takdir memang tak bisa di cegah, tetapi menerima kenyataan itulah yang sulit.
Kepergian Arsya--ayahnya Mecca, begitu menghancurkan diri Mecca. Secepat itu Tuhan mengambil ayahnya yang baru saja berkumpul dengan Mecca dan bundanya. Namun, secepat itu juga Tuhan melakukan rencana yang ia kehendaki.
'Gue bersedia, Ca. Bersedia menjadi bahu untuk lo bersandar di kala lo lelah dengan keadaan yang menguji lo,' ucap batin Reval ikut menangis.
***
Bunyi suara monitor detak jantung cukup membuat yang mendengarnya jantungnya pun ikut berpacu cepat.
Mata yang masih terpejam, selang oksigen yang melekat di wajahnya. Sangat membuat yang melihatnya menangis.
"Kenapa bisa seperti ini, nak?" Seorang pria paruh baya dengan mata memerahnya berulangkali menyalahkan dirinya, jika semua yang terjadi karena kelalaiannya yang kurang memberikan kasih sayang kepada putranya.
"Jangan tinggalkan, papa. Papa gak akan sanggup hidup jika kembali harus ditimpa kehilangan dan itu kamu, Fathur."
Kondisinya yang dalam status kritis dan di temukan dalam tak sadarkan diri lagi dengan pergelangan tangan yang terluka.
Eza Argantara--ayahnya Fathur, hampir terkena serangan jantung. Ketika menemukan sang putra tergeletak tak sadarkan diri, beruntung Fathur segera mendapatkan penanganan. Walaupun kondisinya harus kritis.
Eza mengeluarkan hpnya, menelpon putrinya yang seharusnya menemani kembarannya. Tetapi sudah yang ke lima kalinya menelpon, tetap tidak di angkat.
Tatapan Eza beralih menatap Fathur yang masih setia menutup matanya tanpa ingin membukanya. Eza menemukan putranya jam 3 pagi, saat dirinya mendapat firasat ingin memeriksa kedua anaknya yang sangat kurang mendapat perhatian darinya sejak mending istrinya meninggal.
"Huh! Walau seberapa berusaha saya menggantikan peran kamu, Astrid. Tetap saya tidak bisa menjadi seorang ibu untuk anak-anak kita," gumam Eza seraya mengelus puncak kepala Fathur.
"Segera sadar, Fathur. Ini papa, kamu jangan tinggalkan papa." Pertahanan diri Eza--ayahnya Fathur akhirnya runtuh. Beliau menangis, melihat kondisi sang putra yang terluka.
Perlahan terdengar suara yang cukup samar. Jari jemarinya bergerak lemah, membuat Eza menatap sang putra yang perlahan membuka matanya dan mulutnya terlihat ingin mengatakan sesuatu.
"M-e-c-c-a."