Suara ambulans masih terdengar begitu jelas ketika tubuh seorang gadis cantik itu sudah di bawa ke dalam ruang ICU.
"Usahakan yang terbaik buatnya, Dok. Berapa pun akan
saya bayar asalkan dokter menyelamatkan nyawanya!" Suara Banin menggebu dan memburu antara cemas dan takut.
Eudrie yang mendengar semua perkataan Banin mendengus kesal. Ada semburat kemerahan di pipinya. Bukan warna merah merona karena malu tapi warna merah padam karena kemarahan yang membludak.
Sedangkan Banin hanya mondar-mandur. Hatinya semakin gelisah, wajah tampannya berubah keruh dan panik. Tak bisa dibohongi ada ketakutan yang luar biasa. Dia tidak ingin kehilangan Sea. Ada apakah ini. seolah jiwanya ikut melayang saat dilihatnya mata gadis itu terpejam dengan tubuh yang mulai dingin. Ketika darah semburat memenuhi seluruh tubuh gadis itu hatinya ikut lepas.
Sakit dan tak rela, kehilangan yang begitu sangat. Itu yang Banin rasakan. Sebuah perasaan yang langka yang membuatnya ingin marah, menangis dan teriak. Sebuah penyesalan, kenapa tadi dia membiarkan gadis ini membawa mobilnya sendirian.
Tak seharusnya dia ikut mobil Eudrie dan membiarkan Sea kecelakaan. Akh! Penyesalan utu membuat Banin frustasi. Gerakan tubuhnya masih ke sana-kemari.
"Banin! Kamu bisa berhenti nggak sich? Nggak harus mondar-mandir begitu?" sentak Eudrie dengan nada penuh kemarahan. Dan ternyata itu menjadi pemantik buat Banin.
Laki-laki itu dengan wajah merah padam menghampiri Eudrie lalu mencengkram pundak kecil gadis itu hingga dia meringis.
"Banin! Apa yang kamu lakukan? Kamu mrnyakiti aku!" Suara Eudrie tercekik hingga dia nggak bisa bernapas.
"Kamu boleh pergi dari sini kalau tidak suka. Tapi jangan pernah membentakku, Eudrie. Tempatkan posisimu yang benar. Dan ingat kamu ini siapa." Eudrie tercekat mendengar suara Banin yang sekarang dapat dipastikan sangat marah besar.
sebelum pria itu mengamuk dan menghabisi tubuhnya Eudrie dua segera berlari dan menghilang dari tempat itu. Banin yang merasa tubuhnya cepat bereaksi dengan mrnyentuh kulit Eudrue segera menyemprotkan cairan bakteri ke tangannya lalu mengambil napas dalam-dalam.
Dia berusaha tidak terbawa emosi. Dengan gontai dia kembali menuju je ruang tunggu. Kali ini dia mendudukkan tubuhnya dengan kemas. Ada cairan hangat yang mengembang di pelupuk matanya mengingat di dalam sana ada nyawa yang sedang di pertaruhkan.
Saat dia dia sedang termenung, pintu dari kamar unit gawat darurat terbuka dengan suara yang mengejutkan dirinya. Dengan setengah berlari dia menghampiri dokter itu.
"Pak Banin, pasien kekurangan darah!" Instruksi dokter itu membuat darah Banin mengalir deras hingga menuju ke ubun-ubun.
"Apa golongan darah Sea, Dok?"
"AB Rh+."
Akh! Banin ingin berteriak menggila mendengar jawaban dokteritu. Dengan cepat dia merogoh kantung jasnya dan menempelkan benda pipihnya itu ke telinga.
Tak lama kemudian Eudrie, gadis yang diusirnya tadi sudah muncul kembali dengan congkaknya.
"Cepat Eudrie! Kamu ke ruang transfusi darah!" ucapnya sambil menyeret tangan gadis itu. Tak peduli reaksi kulitnya akan gatal atau melepuh sudah menyentuh kulit Eudrie tanpa sarung tangan.
Gadis itu hanya menyeringai devil mengetahui kelemahan sang kekasihnya.
"Ingat Banin! Kamu sudah berjanji padaku. Aku harap kamu tidak mengingkarinya." Banin hanya menelan salivanya. Iya! Demi keselamatan Sea dia mengorbankan perasaannya. Akan segera menikahi Eudrie meskipun itu tidak mungkin karena alergi Banin dengan kulit Eudrie.
Namun, demi nyawa Sea terselamatkan dia rela mengorbankan perasaannya. Saat ini hanya darah Eudrie yang cocok dengan gadis itu.
****
Hampir 3 jam dokter menangani Sea di dalam ruang ICU dan sekarang dia sudah dipindahkan ke ruang intensif. Banin duduk dengan menggenggam jemari gadis itu. Setelah 15 menit yang lalu melakukan drama bersama Eudrie.
Gadis itu merengek dia untuk memenuhi janjinya secepat mungkin. Bersyukur Eudrie ada panggilan telpon dari Managernya untuk pemotretan. Hingga membuat gadis itu untuk segera pergi dari tempat itu.
Sea masih memejamkan matanya dengan rapat setelah penanganan daruratnya selesai. Benturan antara mobil yang dikemudikan dengan beton pembatas jalan membuat tubuhnya terjepit di bagan mobil.
Bersyukurnya nyawanya masih bisa diselamatkan dan ditolong. Kalau tidak dan terjadi apa-apa dengannya mungkin saja Banin saat ini akan gila atau lebih tragisnya dia akan ikut mati bersama dengan gadis yang sudah bertahun-tahun dia cari.
Ketika mata itu mengerjab liar dan ada pergerakan di jari-jemari kecil itu, Banin melonjak kaget. Dia menatap ke arah wajah yang terlihat memucat itu.
"Sea," panggilnya lirih membuat gadis yang dipanggil itu mencari-cari ke arah suara yang memanggil namanya. Pupil matanya mengerjab semakin luar mana kala dilihatnya tangan mungilnya digenggam begitu erat oleh Banin.
"Pa-k, Banin," suaranya pun tak kalah lirih bahkan bergetar dengan sendirinya. Banin semakin mengeratkan genggamannya dan mencium genggaman tangan itu berkali-kali.
Sea merasakan ada gelenyar di tubuhnya merasakan sentuhan Banin di jemarinya namun ketika diingatnya ada seorang gadis yang mengaku calon tunangan Banin dengan spontan dia menarik tangannya dari genggaman Banin.
Banin sendiri juga terkejut melihat reaksi gadis cantik yang baru tersadar dari kecelakaan itu.
"Terima kasih banyak, Bapak sudah menolong saya. Maaf saya bikin kecerobohan yang akhirnya mengakibatkan kecelakaan."
"Sstttstt ...! Jangan banyak bicara dulu Sea. Tubuhmu masih lemah." Banin menaruh jari telunjuknya di bibir ranum Sea. Membuat Sea membeku seketika. Terasa tubuhnya bergetar perlahan.
Banin yang peka dengan kondisi Sea tiba-tiba memeluk gadis itu mendekapnya dan memberikan ketenangan. Lama mereka ada dalam kondisi seperti itu hingga ada suara dari arah pintu.
Dokter yang akan memeriksa Sea sudah datang bersama dengan perawatnya.
"Saya periksa dulu ya, Pak." Banin hanya mengangguk lalu menyingkir agak menjauh dari pembaringan Sea.
Ada yang bergemuruh di dadanya ketika dokter muda itu menyentuh dada dan setiap inchi tubuh Sea.
Rasanya dia tak rela kalau tubuh kecil namun padat milik Sea itu dijamah dan disentuh oleh dokter tampan di hadapannya. Jiwa posesifnya seketika menggelora.
"Suster, memang di rumah sakit ini tidak ada dokter perempuan yang khusus menangani Sea?" tanyanya polos yang membuat suster itu tersenyum geli.
Tak menyangka orang setampan dan sekaya Banin dengan polosnya menanyakan pertanyaan yang menurut suster itu aneh. Cemburu! Yah! Banin cemburu dengan Dokter Alex. Dokter termuda dan tertampan di rumah sakit Berlian ini.
"Di sini yang akan menangani Mbak Sea adalah Dokter Alex, Pak. Beliau dokter tetap Mbak Sea." Mendengar itu Banin menahan napas. Ada kemarahan di dadanya namun dia tidak bisa protes.
Tiga puluh menit pemeriksaan Sea sudah selesai. Ada sedikit masalah tentang kesehatan Sea. Gadis itu kekurangan cairan dan harus banyak makan buah dan sayur.
Baru beberapa langkah Dokter Alex meninggalkan ruang VVIP Sea, Banin sudah memanggilnya.
"Dokter Alex!" Dokter muda itu berhenti dan membalikkan badannya.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak Banin."
"Saya ingin menggantikan Anda dengan dokter lain untuk menangani kondisi Sea___
****
BERSAMBUNG