Pagi itu langit terlihat begitu cerah,Merry sedang berkutat di dapur untuk menyiapkan sarapan untuk suami dan kedua putra kembarnya. Merry juga menyuruh salah satu pelayan yang bekerja disana untuk menyiapkan beberapa keperluan Aarav yang akan pergi ke puncak untuk menghadiri kegiatan ekstrakurikuler pencak silat,karena Aarav sendiri adalah ketua dari organisasi tersebut. Jadi dengan sangat terpaksa Aarav mengikutinya,padahal sudah beberapa hari dirinya sangat malas untuk keluar rumah. Bahkan Aaram yang saudara kembarnya pun sangat melarang Aarav untuk pergi ke puncak. Entah kenapa firasat Aaram sudah beberapa hari ini merasakan sesuatu yang aneh terhadap Aarav,maka dari itu Aaram sangat melarang Aarav pergi. Aaram takut terjadi sesuatu terhadap Aarav.
"Rav" panggil Aaram pada Aarav yang sedang menikmati sarapannya.
Aarav pun mendongak menatap saudara kembarnya itu yang hanya beda beberapa menit darinya "ada apa?" Tanya Aarav
"Jangan pergi ya! Batalkan saja acara ke puncaknya,lo cari alasan apa kek gitu biar guru pembimbingnya cari pengganti buat gantiin lo." Ucapan Aaram membuat Aarav menghentikan aksi memotong daging steak yang menjadi menu sarapan pagi ini.
Diki pun ikut menghentikan gerakan makan mereka,semuanya menatap ke arah Aaram. Tidak terkecuali Merry,dirinya pun merasakan hal yang sama,entah kenapa sejak semalam firasatnya selalu tidak enak. Bahkan Merry sempat bermimpi Aarav berpamitan pergi dan tidak akan pernah kembali.
Merry menatap kedua putranya itu "Aarav,mamah juga setuju dengan Aaram. Bisakah kamu membatalkan rencana kamu ke puncak besok pagi?" Ujar Merry dengan wajah sedihnya.
Aarav pun tersenyum menatap mamahnya dan saudara kembarnya itu bergantian. "Mah,Ram,kalian berdua ada apa sih? Aku kan' hanya pergi ke puncak saja dan itu pun hanya satu hari tidak sampai berhari-hari atau berbulan-bulan. Kalian tenang saja,aku akan membawakan oleh-oleh untuk kalian,memang kemarin beberapa hari aku malas keluar rumah,tapi semangat ku kembali setelah mamah membuatkan aku steak daging ini." Jawab Aarav dengan senyum yang manis,senyum yang selalu membuat Merry merindukan putranya itu.
"Firasat mamah tidak enak,Rav. Mamah khawatir sama kamu,takut kamu kenapa-kenapa disana." Pernyataan Merry mendapat persetujuan dari Aaram
"Apa yang mamah rasakan itu sama seperti apa yang aku rasakan,Rav. Sudahlah,lebih baik kamu diam dirumah." Balas Aaram
Diki yang dari tadi memperhatikan perdebatan kecil dari kedua putranya dan istrinya itu pun kini angkat bicara "mah,Ram,kalian jangan berpikir terlalu jauh,kita serahkan saja semua pada Allah. Doakan saja Aarav agar selalu dalam perlindungan Allah SWT dan semoga saja tidak terjadi sesuatu sama mereka semua yang akan pergi ke puncak."
"Yang dikatakan papah benar,doakan Aarav agar selalu dalam perlindungan Allah SWT." Ucap Aarav sambil tersenyum kembali.
Merry dan Aaram saling menatap dan tatapan mereka berdua kembali ke arah Aarav.
"Ya,mungkin hanya karena gue sama lo gak pernah jauh,jadi agak berlebihan gini." Ucap Aaram dengan menampilkan senyum yang begitu terpaksa
"Iya,mamah juga. Mungkin karena kamu akan pergi sendiri tidak bersama Aaram,jadi mamah sedikit khawatir sama kamu."
"Astagfirullah mah,Aarav perginya gak sendiri kok,Aarav pergi sama teman-teman Aarav yang juga satu tim di organisasi itu." Jawab Aarav yang masih mencoba memberi pengertian terhadap mamanya.
"Sudah-sudah,ayo habiskan sarapan pagi ini. Papah juga sudah sangat kesiangan,kalian diantar pak Dedi saja ya. Mah,papah berangkat dulu ya." Ujar Diki dengan mengecup pipi sang istri
"Kalian juga hati-hati di jalan,papah duluan." Ujar kembali Diki yang berpamitan pada kedua putranya,Aaram dan Aarav pun mencium punggung telapak tangan Diki.
"Assalamualaikum" ucap salam Diki dan melangkah meninggalkan ruang makan tersebut.
"Waalaikumsalam" jawab Merry dan kedua putranya.
***
Hari dimana Aarav akan berangkat untuk menghadiri acara organisasinya di puncak pun tiba. Pagi ini Aarav sudah bersiap di dalam kamarnya,dirinya sedang merapikan beberapa keperluan yang akan dibawanya,tiba-tiba saja pintu kamar diketuk dan masuklah Aaram ke dalam kamar itu setelah sang pemilik kamar menyuruhnya untuk masuk.
"Rav"
"Apa"
"Gak usah berangkat ya…"
Aarav yang sedang sibuk merapikan barang pun terpaksa menghentikannya dan menoleh ke arah Aaram. Baru kali ini Aarav melihat mata sendu dan seakan memohon agar Aarav tidak jadi berangkat. Melihat Aaram yang seperti itu pun akhirnya Aarav mengajak duduk saudara kembarnya itu di sofa. Aarav membuka jaket yang dikenakannya,lalu memberikannya pada Aaram.
"Pakailah,kalau lo kangen sama gue. Lo pake aja jaket ini." Ucap Aarav sambil memakaikan jaket miliknya kepada Aaram.
"Kita foto dulu ya,buat kenang-kenangan. Sebentar gue ambil ponsel gue di dalam tas." Lanjut Aarav sambil menuju ke arah tas kecil yang berisikan ponsel dan juga dompet miliknya.
"Pake ponsel gue aja,Rav" jawab Aaram sambil menunjukkan ponselnya dan dijawab anggukan serta senyuman yang selalu Aaram lihat akhir-akhir ini.
Aaram mulai menyiapkan posisi ponsel agar semuanya dapat terlihat dengan jelas. Beberapa gaya di ambil oleh mereka,hampir ada sepuluh gaya dalam foto yang mereka ambil. Dirasa sudah cukup,akhirnya Aarav berpamitan pada Aaram.
"Gue harus berangkat sekarang,lo jaga baik diri lo dan gue titip nyokap sama bokap ya. Jangan lo tinggalin mereka,gue takut mereka sedih. Pulang juga jangan larut malam,kasian nyokap,harus nungguin lo di ruang tamu." Uhar Aarav sambil tertawa kecil mengingat ketika Aaram sering pulang malam dan Merry selalu menunggu kepulangan Aaram di ruang tamu sampai ketiduran.
"Iya,lo bawel juga ya. Kita kan dah janji bakalan jagain nyokap bokap sama-sama. Jangan bilang lo lupa sama janji kita dulu." Ejek Aaram pada Aarav
"Ya,gak lah… gue inget dong janji gue sama lo." Jawab Aarav sambil merangkul Aaram,dan mereka pun akhirnya tertawa bersama.
"Gue anterin lo ke sekolahan ya!" Ucap Aaram dan disetujui oleh Aarav.
Mereka berdua pun meninggalkan kamar tersebut dan turun kebawah untuk berpamitan dengan kedua orang tua mereka. Aaram pamit untuk mengantarkan Aarav ke sekolah,karena bus yang akan Aarav dan teman-temannya tumpangi itu sudah standby di sekolah. Setelah menempuh jarak sekitar tiga puluh menit,akhirnya Aarav dan Aaram pun tiba di sekolah.
Semua murid dan guru pembimbing ekstrakurikuler pencak silat pun sudah siap semua di sana. Aarav berpamitan dengan saudara kembarnya itu dan segera memasuki bus yang akan membawanya ke puncak. Tidak lama bus pun berangkat meninggalkan lapangan sekolah,Aarav terlihat melambaikan tangan ke arah Aaram,begitupun dengan Aaram yang membalas lambaian tangan Aarav. Dalam lambaian tangan Aarav,Aaram merasakan seakan lambaian tangan itu adalah salam terakhir yang diberikan oleh Aarav. Seketika jantungnya seperti berdenyut sakit,tanpa sadar Aaran menyentuh dada sebelah kirinya. Aaram kembali menatap bus yang sudah hampir hilang dari pandangannya,setetes air mata pun tiba-tiba saja turun membasahi pipi Aaram. Tangan Aaram dengan cepat menghapus jejak air mata yang ada di pipinya,beberapa kali Aaram mengerjapkan matanya. Dirinya bahkan bingung dengan apa yang terjadi,Aaram bingung kenapa tiba-tiba air matanya jatuh begitu saja.