Chereads / PERJALANAN MENEMBUS KABUT / Chapter 12 - DRAMA APA LAGI?

Chapter 12 - DRAMA APA LAGI?

Aku teringat pada janji ayah tempo hari, yang mengatakan akan mengajakku ke rumah Mbok Alis, adiknya ibuku. Kebetulan juga hari ini ketiga kakakku libur sekolah. Aku juga cukup dekat dengan mbok Alis, mungkin karena kami sering mengunjunginya dulu saat nenek dan kakekku masih hidup. Mbok Alis adalah anak bungsu kakek dan nenekku, dia yang tinggal di rumah itu dan merawat kakek nenekku hingga akhir hayat.

Seperti biasa, aku berlari kecil dan merajuk di pangkuan ayah.

"Ayo ke rumah mbok Ais," rengekku.

Ayah sedikit terkejut karena aku muncul tiba-tiba, bahkan hampir tersedak asap cerutunya.

"Huh! Ana, bikin kaget saja!" gerutu ayah.

"Ayo Pak! Bapak 'kan sudah janji!" rengekku lagi.

"Iya, iya, bilang sama Ibu mu dulu sana!" perintah ayah, menyetujui keinginanku.

"Ye..... asikkk....!" seruku girang.

Aku segera berlari mencari ibu,

"Bu, ayo main ke rumah Mbok Ais!" teriakku.

Ibu yang sedang sibuk mencuci baju sampai terkejut karena lengkingan suaraku yang nyaring.

"Ya Allah, Ana!" ucap ibu sembari menyapu dadanya. "Ada apa?" tanya ibu.

"Ayo Bu, siap-siap..." rengekku. "Ayo Bu, kita main ke tempat Mbok Ais," lanjutku lagi.

"Sudah ngomong sama Bapak?" tanya ibu, lalu kembali fokus ke cuciannya.

"Sudah! kata Bapak suruh ajak Ibu," jawabku enteng.

"Ya sudah, sekarang Ana siap-siap duluan ya? Ow iya, ajak juga Mas sama Mbak mu. Ibu selesai kan cucian ini dulu," ucap ibu.

Aku berteriak girang lagi, "Yeeee!" lalu dengan semangat membara hendak memberitahu ketiga kakakku. Tapi, tiba-tiba aku teringat si wanita menyebalkan, mbok Lastri. Aku tidak ingin dia ikut, aku tidak mau kalau sampai dia kembali berbuat ulah dan mengacaukan rencanaku.

Aku menghentikan langkahku, lalu kembali berbalik ke arah ibu.

"Aku gak mau Mbok Lastli ikut!" ucapku tegas.

"Loh, kenapa An?" tanya ibu tanpa menoleh ke arahku.

"Pokoknya aku gak mau kalau Mbok Lastli ikut!" seruku.

Tanpa mendengarkan jawaban ibu lagi, aku segera berlari ke kamar mbak Is.

"Mbak!" seruku saat sudah masuk ke dalam kamar mbak Is.

Sepertinya mbak Is masih sibuk membersihkan kamarnya.

"Ada apa An?" tanya mbak Is, seperti dia juga sedikit terkejut karena teriakan-ku.

"Cepat siap-siap! Bapak mau ajak kita main ke rumah Mbok Alis!" seruku lagi. "Aku mau bilangin Mbak Sri sama Mas Hadi dulu!" ujarku lagi lalu menghambur keluar dari kamar mbak Is, ke kamar mbak Sri dan Mas Hadi.

Mbak Is hanya menggeleng sambil tersenyum saat melihat tingkahku.

*

Kami sudah bersiap untuk pergi ke rumah mbok Alis. Bahkan, aku melihat mbok Lastri juga sudah berdandan cantik untuk ikut bersama kami.

'Huh... rasanya ingin sekali ku tendang wanita itu!' batinku, aku bahkan sangat muak melihatnya sekarang. Aku sudah menyiapkan kata-kata agar dia tidak ikut kami pergi, sudah ku persiapkan mental dan juga keberanianku. Jika nanti ayah memarahiku karena sikapku pada mbok Lastri, aku juga sudah siap menjawabnya.

Tapi sepertinya, ibu tahu apa yang aku lakukan. Entah kenapa? ibu seperti bisa membaca pikiranku. Ibu langsung mencari alasan agar mbok Lastri tidak ikut bersama kami.

"Mbok Lastri," ucap ibu dengan nada khasnya yang lembut.

Mbok Lastri langsung serta merta menoleh ke arah ibu, dengan sedikit membungkuk dia menjawab ucapan ibu,

"Iya Bu, ada apa?" ucapnya. Nadanya terkesan sangat sopan sehingga mampu menutupi tabiat aslinya. Ya, mungkin saja dia bisa menipu kami semua termasuk ayah, tapi dia tidak akan pernah bisa menipuku. Aku tahu, dia itu wanita serigala yang berbulu domba.

"Maaf ya Mbok, maaf banget, tadi Ibu beli ikan dari tetangga sebelah. Mbok bisa tolong bersihkan sekalian masak?" ucap ibu. Sepertinya itu salah satu dalih ibu agar mbok Lastri tidak ikut dengan kami pergi.

"Tapi Bu? saya 'kan juga mau ikut ke rumah Bu Alis," jawab mbok Lastri, mimik wajahnya sudah mulai kusut.

"Haduh, gimana ya Mbok? bukannya gak boleh ikut, tapi nanti ikannya busuk. Ow iya, sekalian tadi saya jemur pakaian banyak banget, sama selimut dan lain-lain. Nanti tolong diangkat ya? Mbok Lastri gak usah khawatir, Diyah sama Ahmad biar saya yang urus, kan ada mbak-mbaknya juga. Jadi bisa bantu jagain mereka," dalih ibu lagi.

Wajah mbok Lastri memerah, berulangkali aku melihat ekor matanya melirik ke arah bapak. Sepertinya dia memberi kode dan menunggu reaksi bapak , agar bapak memintanya ikut. Entah, drama apa lagi yang akan dia mainkan setelah ini. Apalagi aku mendengar dia bergumam lirih seperti sebuah ancaman. "Awas kamu Nah!" gumamnya sangat lirih, hampir tak bersuara, namun aku mendengarnya.

"Ya sudah! saya di rumah saja!" ketusnya, sambil mengarah ke bapak. Mbok Lastri segera masuk ke dalam rumah dan menutup pintunya dengan cukup keras.

'Ye... gak boleh ikut kok ngambek! emang siapa dia?' batinku mengejek. Tapi aku puas, wanita siluman itu tidak ikut pergi bersama kami.

Bapak menyadari hal itu, lalu hendak menyusul mbok Lastri ke dalam. Sekarang giliranku beraksi, aku langsung bergelayut di lengan bapak.

"Ayo berangkat, gendong..." rengekku.

Bapak menghentikan langkahnya, melihat ke arah wajahku yang memelas, lalu menuruti kemauanku.

Kami pun akhirnya berangkat dengan berjalan kaki, sedangkan barang-barang yang kami bawa, kami naikkan ke sepeda yang biasa bapak gunakan berdagang dan mas Hadi yang bertugas mendorongnya.

*

Kami melewati jalan yang berada di lereng gunung yang cukup licin dan terjal. Melewati sekolah ketiga kakakku, lalu berjalan lagi naik ke gunung membelah hutan belantara. Sebenarnya jika dilihat dari atas, mungkin rumah mbok Alis tidak jauh, tapi karena jalanannya yang terjal dan lintasan yang cukup sulit. Membuat kami harus menempuh waktu sekitar dua sampai tiga jam untuk sampai di rumah mbok Alis. Belum lagi, tidak ada kendaraan yang melintas saat itu. Hanya sepeda, itupun hanya segelintir orang yang memilikinya.

Melihat bangunan sekolah ketiga kakakku, aku jadi punya keinginan untuk ikut bersekolah. Pasti asik, banyak teman, belajar dan bermain. Ah, mungkin besok saat kami kembali dari rumah mbok Alis, aku akan mengemukakan keinginanku pada ibu.

*

Siang hari, hampir masuk waktu zuhur, akhirnya kami sampai di rumah mbok Alis. Rumah panggung, berdinding kayu dengan desain khas rumah pada masa itu. Sungguh, aku sangat rindu suasananya. Terakhir kali aku datang ke sini, saat itu tepat seribu hari memperingati meninggalnya nenekku dan itu sudah sekitar dua atau tiga bulan yang lalu.

Sebenarnya sama saja dengan rumahku, hawa dingin menusuk tulang, air jernih yang mengalir langsung dari sumbernya tanpa pompa hanya lewat bambu untuk mengalirkannya, dan semacam irigasi kecil di tengah dapur rumah itu. Air dari irigasi itu mengalir deras dengan dinding batu berjajar di sampingnya. Mungkin terkesan aneh, tapi memang seperti itu keadaannya.

"Assalamualaikum," ucap ibu sembari mengetuk pintu rumah mbok Alis.

To be continued....