Chereads / PERJALANAN MENEMBUS KABUT / Chapter 13 - FIRASAT BURUK

Chapter 13 - FIRASAT BURUK

Ibu mengetuk pintu rumah mbok Alis hingga tiga kali, namun tetap tidak ada jawaban dari dalam. Tidak berselang lama, azan zuhur berkumandang.

"Sudah azan, owh... mungkin saja Mbok Alis sudah berangkat ke surau," ucap ibu menerka.

"Iya, yuk kita ikut salat!" ajakku antusias.

Aku menarik lengan ayah, "Ayo Pak!" ajakku.

Mas Hadi juga sudah meletakkan sepedanya lalu bersiap untuk mengambil air wudu, begitupun dengan mbak Is dan mbak Sri.

Tiba-tiba kejadian aneh terjadi, ayah merasa kepalanya pusing luar biasa. Bahkan, tanpa sadar peganganku dihempaskan-nya dengan sangat kasar.

"Aduh!" pekiknya sembari menyeringai kesakitan.

Ibu terlihat sedikit panik, "Bapak kenapa? pusing?" tanya ibu.

"Diam!" bentak bapak dengan kasar. "Kamu ini! lagi-lagi kamu membuat Lastri menangis! ahh..." bentak bapak sembari menahan rasa sakit di kepalanya.

Ibu mengeriyitkan keningnya, mulai mengatur nafas perlahan dan berpikir jernih. Ada firasat buruk menyelinap dalam hatinya.

"Bapak istighfar, astagfirullah," ucap ibu menuntun bapak beristighfar.

Bapak malah semakin mengerang kesakitan, "Ahh.... aduh! sakit sekali! aku harus pulang, aku harus segera pulang ke rumah," oceh bapak sembari meremas kepalanya yang sakit.

Ketiga kakakku lari menghambur ke arah ayah yang sedang mengerang kesakitan. Aku pun memberanikan diri mendekat ke arah ayahku, lalu ku bacakan ayat kursi semampuku. Karena kata ibu, setan akan takut jika dibacakan ayat kursi. Pikirku, bisa jadi bapak diikuti setan saat tadi lewat hutan.

Saat aku mulai membacakan ayat kursi, bapak semakin kesakitan, wajahnya memerah, dan gigi gerahamnya berbunyi gemeretuk, sangat keras karena menahan sakit. Melihat kejadian itu, ketiga kakakku dan ibuku juga ikut membaca, menyambung hafalanku yang masih berantakan.

Keadaan semakin menegangkan saat kedua adikku mulai menangis menjerit-jerit sambil menunjuk ketakutan ke arah belakang mbak Sri. Beberapa detik kemudian bapak muntah, lalu badannya terkulai lemas.

"Alhamdulillah," gumam ibu bersyukur saat melihat bapak mulai berangsur membaik. Seiring dengan lemasnya bapak, kedua adikku juga perlahan mulai mereda tangisnya.

"Sebaiknya kita salat dulu," ujar ibu. Lalu kami pun mengambil wudu lalu beriringan menuju ke surau dekat rumah mbok Alis. Tidak terkecuali bapak, mas Hadi yang membantu bapak mengambil wudu dan terus berada di sampingnya sambil tanpa henti beristighfar.

*

Selesai salat zuhur berjamaah, kami segera merapihkan alat salat yang baru saja kami kenakan dan gegas kembali ke rumah mbok Alis.

Kebetulan mbok Alis juga baru keluar dari dalam surau dan melihat bapak bersama mas Hadi sedang duduk di bangku yang berada di bawah pohon asam besar berusia ratusan tahun.

"Loh, Mas Slamet, Hadi ya? sudah dari tadi?" sapa mbok Alis.

"Eh, iya Lis," jawab ayahku sembari berdiri dan membuang sisa cerutunya, lalu mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Mas hadi pun segera berdiri dan menjabat tangan mbok Alis.

"Mana Mbak Amanah? Brindil?" tanya mbok Alis celingukan.

"Masih di dalam Mbok," sahut mas Hadi.

"Ow, gitu? ya sudah, ayo masuk. Mari, silahkan," ucap mbok Alis lalu berjalan ke rumahnya dan membukakan pintu.

Pada saat bersamaan, aku, ibu, kedua adikku dan kedua kakak perempuanku keluar dari dalam surau.

"Nah, itu mereka!" seru mbok Alis.

Aku langsung lari menghambur ke mbok Alis, sembari berteriak, "Mbok Alis!" seruku.

"Brindil!" jawab mbok Alis antusias, lalu menggendongku. Berkali-kali mbok Alis mencium keningku dan mencubit pipi gembulku. "Ayo-ayo, masuk dulu semuanya," ujar mbok Alis.

*

Setelah berbincang-bincang kesana kemari, beberapa jam kemudian suami mbok Alis, paman Kholid pulang dari ladang.

"Loh, ada tamu?" sapa paman Kholid, setelah membersihkan diri dan mengganti bajunya.

"Iya Lid," jawab ayah. "Tamu jauh ini," seloroh ayah lagi.

"Sudah dari tadi Mas?" tanya paman Kholid. Sembari bersalaman.

"Ya, lumayan, jam berapa tadi ya? sekitar sebelum zuhur," jawab ayah lalu kembali menghisap cerutunya. "Sibuk apa Lid?" tanya ayah.

Paman Kholid pun duduk di samping ayah, "Owh, ini Mas, dapat jatah jaga seminggu ini. Biasalah, jaga tanaman takut dirusak binatang liar," jawab paman Kholid enteng, lalu mulai menyulut cerutunya.

"Ini sudah selesai?" tanya ayah. "Atau, masih berangkat lagi?" lanjut ayah.

"Ini hari terakhir, siang ini ganti yang jaga Mas. Ya mau gimana lagi Mas, kalau gak gini, gak panen kami," jawab paman. "Lis, siapkan makanan! sekalian buatkan aku kopi," perintah paman, meminta mbok Alis menyiapkan makanan untuk kami.

"Iya," jawab mbok Alis dengan lembut.

"Ayo Lis, biar ku bantu," ujar ibu menawarkan diri. "Sri, Is, jaga Ahmad dan Diyah ya," lanjut ibu.

Mbak Is mengangguk, sedangkan mbak Sri hanya diam saja. Sedangkan aku? aku tidak akan pernah bisa tinggal diam di tempat dan menjadi anak yang lugu. Setelah ibu mengekor di belakang mbok Alis, aku pun juga mengikuti mereka ke dapur.

Bukan karena apa-apa, aku ikut mereka ke dapur karena ingin bermain air yang mengalir di tengah ruangan dapur mbok Alis.

Benar saja, air itu tidak pernah surut, kejernihannya pun juga tidak pudar. Belum lagi, banyak ikan kecil dan udang yang berenang di dalamanya, mereka bersembunyi di bawah bebatuan kecil yang ada di dalam air.

Tanpa buang waktu, aku langsung menceburkan diri ke dalamnya. Tidak terlalu dalam, mungkin hanya semata kaki orang dewasa.

Byuur....

Ibu dan mbok Alis sedikit terkejut, "Brindil!" seru mbok Alis.

"Ana, ngapain?" tanya ibu sembari tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

"Main," jawabku enteng.

Mereka berdua membiarkanku bermain air, ibu pun juga sudah memaklumi, memang ini salah satu tujuanku mengajak ke rumah mbom Alis.

Aku asik bermain air, sedangkan ibu dan mbok Alis sibuk mempersiapkan hidangan untuk santap siang kami.

Di sela kesibukan mereka, mbok Alis bertanya pada ibuku.

"Mbak, maaf," ucap mbok Alis, sedikit ragu.

"Hem, ada apa Lis?" tanya ibuku.

"Maaf sebelumnya, aku lihat, mbak sedang ada masalah ya?" tanya mbok Alis memberanikan diri.

"Masalah? masalah apa? gak kok Lis, gak ada," jawab ibu gugup.

Mbok Alis terus mendesak ibu, mungkin juga karena mbok Alis memang sudah hafal karakter kakaknya yang tidak akan membagi masalahnya pada siapapun.

Akhirnya, ibu menyerah lalu berkata, " Iya Lis, ada sesuatu yang menggangu pikiranku. Akhir-akhir ini aku sering mendapat firasat buruk," jawab ibu.

"Maksudnya Mbak?" tanya mbok Alis penasaran.

Sepertinya aku mulai ikut penasaran, diam-diam aku mendekat ke arah mereka. Layaknya anak kecil yang sedang asik bermain, tapi sebenarnya telingaku sudah siap menampung semua cerita ibu ke mbok Alis selanjutnya.

"Mas mu Lis," jawab ibu. Belum sempat bercerita, mata ibu mulai berkaca-kaca.

"Kenapa Mbak? Mas Slamet?" tanya mbok Alis penasaran, sekaligus tidak sabar ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dengan rumah tangga kakak perempuannya yang sebelumnya terlihat sangat harmonis.

To be continued....