Tangan Aurora bergetar hebat. Keringat membuat helaian rambut menempel di wajah cantiknya. Bibirnya terkulum dengan napas tertahan dan jantung berdentung nyaris meledak di dalam dirinya. Jari telunjuknya siap menekan pelatuk jika Xavier berani bergerak dan menyerangnya tiba-tiba. Dia tidak begitu tahu bagaimana caranya menembak, semua bayangan film aksi yang pernah dia saksikan menjadi satu-satunya petunjuk, meski berat senjata di tanganya tidak seringan yang terlihat.
Xavier mengangkat tanganya. Dengan cepat Aurora mengarahkan pistol mengikuti gerakan pria jangkung itu. Dia tidak menyerang, hanya mengusap rambutnya ke belakang. Wajah Xavier masih sama sulit terbaca.
"Letakan pistolmu," kata Xavier kemudian. "Kau tidak akan menembak siapa pun!"
Aurora berusaha tertawa menyembunyikan kegugupan serta ketakutan dalam darahnya kini. "Aku tidak takut, aku bisa meledakkan kepalamu, saat ini juga."
Xavier melangkah perlahan. Pria itu tidak mundur meski ujung pistol kini menyentuh kemeja hitamnya.
Tenggorokan Aurora menjadi sangat kering, saat saliva lengser sensasi mencekik tercipta di sana. tanpa sadar dia mengundurkan kakinya. lelaki di depanya tidak mengenal rasa takut.
"Bebaskan aku!" bentak Aurora, kini dia tidak bisa lagi menahan getaran dalam suaranya.
Xavier masih tidak bergeming. "Baik lah, aku takut!" kata Xavier akhirnya.
Aurora jelas tahu, pernyataan itu tidak sepenuhnya benar. Namun, tubuhnya malah memberikan respons yang tidak menyenangkan, lemas. Saat yang sama, tanpa bisa dicegah oleh dirinya, kaki Xavier melayang ke perutnya, mendorongnya masuk ke dalam kamar, secepat itu dia merampas pistol, lalu menarik pintu kamar.
Rasa sakit menyebar sangat cepat di perut Aurora, dia membungkuk memegangi perutnya. Air mata menganak suangi di pipinya yang sempurna. "Ayah, Ibu, Jordan," isaknya, "di mana kalian, aku ingin pulang, aku ingin pulang!"
***
Xavier memegang gagang pintu erat dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya menyambar ponsel dari saku, mencari nomor Meggan.
"Gadis bodoh!" desisnya. "Dia pikir aku tidak tahu gerakannya hanya sekedar gimik. Gadis dengan tampang seperti dia mana bisa menembak."
"911! Where and what your emergenc?" suara Megan terdengar pelan dari seberang.
"Di mana kau?"
"Bukankah, beberapa menit yang lalu kau baru mendengarkan titah Raja Neraka menuju portal yang menghubungkan bumi dan surga?"
"Megan aku serius!" Bahu Xavier mendadak lemas, mendengar penuturan bodoh dari Megan.
"Aku juga serius, aku sedang mengendarai motorku sekarang! Jika kau ingin melihatku menjadi mumi hari ini ...."
"Di mana kunci kamarmu? Gadis di dalam sana membuat ulah! Dan ... serius kau mengoleksi senjata di dalam kamarmu?"
"Kunci kamarku ada di ... tidak itu privasi!"
"Megan!" sentak Xavier tidak sabar.
"Di bawah pot bunga kosong di sebelah kananmu," terang Meggan. "Semuanya tidak memiliki peluru, dan pisauku semunya hanya benda tiruan."
Xavier menggerakkan matanya mengikuti arahan sang teman. Ada pot bunga putih berisi batu sungai mengkilap dan kerang-kerang berwarna mencolok yang nampaknya sengaja diberi warna.
"Jangan pernah menggeser pot bungaku dengan kaki panjangmu itu, aku tidak tahu apa saja yang pernah terinjak kakimu!" seru Meggan dari seberang.
Ikatan batin sudah lama tercipta di antara mereka berdua. Usia mereka hanya terpaut tiga tahun, dan sudah terjalin sejak mereka menemukan kecocokan dalam patner kerja. Xavier dan Meggan melakukan kejahatan pertama mereka dengan merampok minimarket di usia lima belas tahun. Perampokan itu tidak semata-mata terjadi melainkan atas permintaan Rayden sebagai bukti mereka berdua layak masuk ke dalam komplotan. Penjaga minimarket seorang pria tua renta bersama cucu laki-lakinya. Setelah berhasil mendapatkan uang rampokan dengan sangat mudah, diam-diam mereka berdua mengembalikannya. Saat ditanya oleh Rayden, mereka apa kan uang hasil jarahannya, dengan santai Meggan mengatakan padanya semua hasil jarahan digunakan untuk membeli bir dan rokok.
Xavier tidak langsung menyukai Meggan, sebab dia terlalu banyak bicara dan kepalanya dipenuhi rencana konyol. Bayangkan saja, saat merampok bank suatu kali, dia menyamar menjadi wanita tua renta dan malah dianggap sebagai salah satu sandera oleh Xavier sampai dia melepaskan rambut palsunya dan menjadi bahan tertawaan semua orang. Namun, dia satu-satunya orang yang memahami posisinya sebagai anak seorang kepala gangster yang harus bersaing mendapatkan pengakuan di antara saudara tirinya yang lain, saudara tirinya bukan hanya Lucien.
Xavier membungkuk, tangan kananya tetap memegang gagang pintu. Dia mematikan ponsel, lalu memasukkannya kembali ke saku. Dia menyingkirkan vas keramik itu perlahan, dan tampaklah kunci dengan gantungan berbentuk pentagram.
"Aku mohon, bebaskan aku!" teriakan Aurora dari dalam. "Paling tidak katakan padaku apa yang Ayahku lakukan! Xavier! Kau bajingan! Bicara padaku!"
Mata Xavier mengecil. Gadis di dalam sana hanya pura-pura tidak tahu, pada hal dia sudah diperlakukan dengan baik tetap saja banyak tingkah.
Xavier memastikan gagang pintu sudah terkunci rapat.
"Bagaimana keadaannya?" Rayden muncul di belakang Xavier. Tangannya memegang pipa rokok, yang tidak berisi tembakau. Benda itu dia bawa ke mana-mana meski tidak digunakan. Pipa cerutu itu adalah hadiah dari Joana, Ibu Xavier, wanita yang sudah menegaskan padanya. Dia menceritakan kisah usang itu pada Xavier beribu-ribu kali. Jika cerita itu dalam bentuk teks, kepala Xavier dengan baik mengingat semua tanda baca di dalamnya.
"Baik," jawab Xavier.
"Sebaiknya kau menyiapkan pasukan tempur, aku yakin Brayden akan meminta bantuan dari Hendry Clark, untuk melakukan penyerangan."
"Aku akan mengurus amunisi saja," tolak Xavier.
"Lucien sedang rajin-rajinnya mengelompokkan senjata, harusnya kau melihat gudang dia sudah menatanya selama seminggu ini."
"Oh!" hanya itu yang keluar dari mulut Xavier, tidak tertarik untuk menambahkan kalimat lain menyangkut Lucien.
"Meggan sedang mengantar tiga kilo opium pada Fernando. Gadis gila itu masih saja nekat mengatakanya meski kita sudah memberikan warna merah pada namanya sejak dia menjadi tahana rumah."
Meggan memang sudah tidak waras, pikir Xavier.
"Harusnya kau melihat penampilannya menyamar menjadi wanita hamil," taw Rayden. "Jika dia pulang nanti, aku ingin kalian kembali ke rumah Brayden dan menggantikan Liam dan Greg mengawasi rumah itu. Aku dengar dia mengundang seorang pria ke rumahnya. Jordan Grayson, seorang polisi. Dia sudah melanggar perjanjian. Dan ah ... aku rasa, kita harus membakar pabrik Garmen Camila, sebagai peringatan."
"Bagaimana dengan ...." tangan Xavier menunjuk ke arah pintu kamar. "Dia sudah menyimpan banyak informasi."
Rayden meremas kedua tanganya, sedang pipa cerutu menggantung di sudut bibir kiri. "Aku dan Brayden sudah membuat janji dua puluh tahun lalu, jika dia melanggar kesepakatan ini ... sudah pasti dia lakukan tentu saja. Kepala seluruh keluarga dan kenalan dekatnya akan kita bantai. Tidak menyisihkan satu pun. Aku hanya ingin bersenang-senang sedikit, kepalaku terlalu pening setelah banyaknya anggota geng kita yang masuk ke dalam penjara karena kebodohan mereka. Berapa jam lagi, kepala gadis manja kesayangan Brayden pun akan kita gantung di depan orang tuanya."
Aurora lengser ke lantai, seperti tak bertulang. Lunglai. "Dia memang akan mati suatu hari, tetapi sungguh dia tidak ingin mati dengan cara keji seperti ini."