Brayden Weston menutup wajahnya dengan telapak tangan, sementara kedua kakinya bergerak mondar-mandir di depan Zacuzzi. Sesekali, entakkan kasar tumit sepatunya bersuara kasar. Botol Wine baru saja dia ambil dari gudang penyimpanan sudah tandas setengah. Seloki tampak tidak bisa memainkan peran sekarang, Brayden meneguknya langsung dari botol.
"Shit!" teriaknya nyaring. Tanganya melayang menghantam sebuah vas bunga kaca di atas meja bundar dari kayu jati. Benda malang itu jatuh membentur lantai, berdentum nyaring dan pecah hingga kecantikannya tidak lagi tersisa.
"Brayden, kau tolol!" serunya nyaring. Dia sadar akan sesuatu, kedatangan Rayden yang terlalu mendadak sudah menghilangkan akal sehatnya, lalu lintas pikirannya ikut tersendat. Ketakutan mengusai kepala, dan juga membekukan darahnya.
"Rayden mengenalku dengan sangat baik," desisnya kemudian. Kedua tanganya mengepal. Rahang lelaki tua itu mengeras, bibir pucat dan kering terkulum, seluruh wajahnya dipenuhi rona merah, warna kemarahan yang meluap dari dalam hatinya. "Tidak, Brayden, jangan biarkan dia melumpuhkan otakmu! Jangan biarkan dia menginjak kepalamu. Pikirkan, dia memang menolongmu dulu, tetapi sekarang semua sudah berubah. Apa yang terpajang di depan mataku sekarang adalah apa yang aku bangun dengan keringatku sendiri, bukan urusannya. aku bukan kalangan bawah tanah terkutuk seperti dia lagi!"
"Brayden!" panggilan Camila membuat embusan napas Brayden tertahan.
Dia menoleh ke dalam melihat bayangan istrinya. Wanita itu tampak luar biasa kusut. Rambut cokelat di kepalanya senantiasa tertata kini seperti sarang burung. Wajah sayu yang sudah diberi suntikan botox agar kerutan menghilang kini lebih mirip tisu sekali pakai.
Brayden membersihkan tenggorokannya, sembari membetulkan letak dasinya yang miring. Dia hanya menatap Camila dengan tatapan tanya, malas bersuara.
"Ada sebuah mobil yang meledak di tepi pantai!" suara Camila memburu, di matanya tumbuh gelembung kaca.
"Apa hubungannya dengan kita? Rayden tidak melakukan tindakan bodoh, kau tahu itu!"
"Bukan, bukan tentang dia ...."
"Kau tahu, Camila, aku sedang tidak ingin membicarakan hal lain!"
"Jordan!"
"Jordan?" Nama itu seolah lenyap dari kepalanya hingga dia harus membongkar kotak ingatannya. "Grayson! Anak muda sialan yang tidak tahu sopan santun itu?"
"Ya, Brayden. Dia ada di sana. Ledakan itu terjadi tepat saat dia tiba."
"Sudah, biarkan saja mati!" sungut Brayden, dia sendiri dalam bahaya tidak ada gunanya memikirkan orang lain. pria angkuh itu memang layak untuk mati.
"Kau tidak memikirkan keadaannya?" tanya Camila. Istrinya jatuh lemas di kursi rotan dengan bantal dari kain beludru hijau gelap.
Mata Brayden mengecil, bibirnya menyunggingkan senyuman tipis. Dia menyambar botol Wine di meja hendak meneguknya sampai habis, hingga kesadarannya hilang sementara waktu.
"Jika Jordan selamat, dia akan menyampaikan apa yang terjadi pada orang-orang dan mereka akan menyalahkanmu Brayden, semua kebaikanmu akan luntur dalam satu detik. Media akan meliput, masyarakat akan tahu dan reputasimu akan hancur. Pikirkan baik-baik, mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tetapi mereka akan tetap menyalahkanmu."
"Stop Camila! Stop!" Brayden mengarahkan telapak tangan pada istrinya. "Harold!" teriaknya nyaring. "Harold di mana kau, cepat kemari, kau bajingan!"
Pria bertubuh kekar, jangkung dengan kepala mengkilap dan kaca mata hitam lari tergesa-gesa ke arah mereka.
"Ya, Tuan," ucapnya sembari mengatur napas.
"Katakan padaku, bagaimana mereka tahu soal Jordan!"
"Pelacak, Tuan! Kabel telepon kita putus dan aku curiga semua panggilan sudah disabotase!"
"Argh!" seru Brayden, kedua tanganya menekan kepala lalu bergesek dengan cepat ke belakang. Dia meraih botol Wine melemparkannya ke dalam Jacuzzi. "Sudah aku duga aku bodoh! Aku tidak menyadari keadaan ini."
"Ya, kau," desah Camila. Tanganya menutupi wajah.
"You know what have to do," bisik Brayden.
Harold menganggukkan kepalanya, dia mengambi walkie talkie dari saku sembari berjalan menjauh.
"Camila, kita harus mengganti pakaian sekarang! panggil seorang pelayan, minta dia berbelanja dan sisanya bakar atau lenyapkan semua pakaian yang ada di dalam lemari pakaian."
"Tapi, Brayden ...."
"Kita bisa dengan mudah membeli pakaian baru!"
"Bukan begitu, kita bisa mengecek semuanya satu-satu. Harga pakaianku dan Puterimu sama dengan harga Mansion ini!"
"Kau selalu keras kepala, aku mohon!"
Brayden mengentakkan kaki, segera dia berjalan masuk. Dia nyaris meninju pintu kaca yang bergeser pelan di hadapannya.
Harold muncul dari depan. "Semua koneksi di dalam rumah dan lingkungan dengan radius satu kilo meter sudah dinonaktifkan tuan."
"Panggil seorang pelayan wanita, suruh dia mengambil pasangan pakaian untuk istriku dan kau temukan setelan di lemari pakaikanmu yang cocok untukku! Dan panggil Lee, dia harus mengantar istriku ke rumah orang tuanya."
Harold mengangguk.
Brayden mengambil ponselnya, lalu masuk ke ruang kerjanya. Dia menyalakan komputer, menyalin nomor koleganya juga orang-orang yang kiranya bisa dia minta bantuan. Untuk saat ini dia belum ingin melibatkan polisi.
"Grayson, sialan!" geram Brayden. Napasnya kembali menjadi berat, giginya bergemeretak nyaris mengalahkan bisingnya printer yang mencetak dokumen. Brayden menatap ke luar jendela sekilas, bentangan lapangan golf biasanya berhasil membuatnya lebih tenang. Namun, sekarang sekelilingnya adalah neraka.
Setelah semua lembaran berisi nomor ponsel kenalannya tercetak, dengan cepat Brayden meneliti kembali, jangan sampai terlewat satu pun. setelah sangat yakin, dia mematikan ponsel melemparkannya ke lantai berharap benda itu segera pecah dan hancur, ternyata tidak, sesuai dengan harganya ponsel mahal itu tidak semerta-merta langsung hancur. dia kembali mengulanginya. Meraih ponsel, membantingnya keras. Usaha itu kembali sia-sia.
Brayden terbakar murka, dia meraih ponselnya sekali lagi, dia keluar dari kamar, berlari cepat ke arah dapur. Dia merasa seperti orang gila yang sedang kemasukan setan. Dia membongkar lemari perlengkapan dapur mengambil pemukul daging yang terbuat dari besi. Diangkatnya tinggi, dengan kecepatan penuh dihantamkannya ke ponsel. Lukisan layar laba-laba terpajang di sana.
"F*** this Shit!" makinya. Brayden menyambar ponsel, melemparkannya ke lantai lagi. "Rayden, terkutuklah kau, aku bersumpah akan menggorok lehermu dengan tanganku sendiri."
Harold kembali, tanpa disuruh dia bergerak ke arah dispenser mengambilkan segelas air.
"Calm down, Mr. Weston. Jangan sampai tekanan darahmu naik dan kau akan mengakhiri permainan Rayden dengan cara yang sangat menyedihkan."
"Kau tidak di sini saat serangan itu berlangsung! Jangan terlalu berbangga diri sebab tidak ada satu pun luka yang tercetak di wajahmu sama seperti yang lain."
"Pardon, me. Kau menyuruhku mengawasi kolegamu dua puluh empat jam." Harold menyuguhkan gelas air minumnya.
Brayden menyambar gelas itu, meneguk sisinya sampai habis kemudian, membuang gelas itu ke lantai. Dia menatap Harold sekilas dan mencoba mengikuti saran bodyguard tertua di rumah ini yang tak lain teman seperjuangannya menjauh dari Rayden.
"Aku memiliki ide, kita tinggalkan rumah ini dan memanggil bala bantuan."
"Bantuan? Siapa yang bisa mengalahkan mereka?"
"Ingat, para bajak laut, mereka musuh bebuyutan sejak lama. kau hanya perlu menghirup amisnya lautan selam satu menit dan semua akan berakhir dengan kemenangan ada di tanganmu."