Pengap, lembab, dan juga aroma pesing yang sesekali membaui udara terbawa angin melalui lubang di dinding membuat perut Aurora bergejolak. Gelombang cepat naik dari lambung, mendendangkan nyeri di dada, naik ke leher menyekatnya sesaat sebelum tumpah ruah ke atas lantai.
Seekor tikus abu-abu bermata besar dan kurus mengintai dari sudut, tempat sebuah lubang berada. Muntahan Aurora menjadi makanan untuknya.
Sekali lagi Aurora memuntahkan isi perut. Sekarang secuil pun tenaga tidak tertinggal di dalam tubuh. tangan kananya meraba dinding, secepat itu ditariknya. Dinding ini dingin dan licin, saat dilihat dinding ditumbuhi berbagai macam lumut.
Cahaya di dalam ruangan ini sepenuhnya berasal dari luar, hanya ada gantungan tanpa lampu di atas kepalanya, dan jika malam ini dia masih berada di dalam ruangan ini, dia bisa-bisa mati ketakutan.
Dengan napas terengah, Aurora mendekati pintu sel tahananya, perlahan menurunkan tubuhnya, duduk bersandar. Perlahan ditariknya kaki bergantian, melepaskan sepatu. Tumit kakinya sekarang memerah, sedikit tergores.
Kepala Aurora terkulai lemas ke arah besi dingin. Aroma besi karat seketika terhirup. Perutnya kembali bergejolak. Aurora menekan kepalanya kuat-kuat, dan berteriak.
Harapan sudah mati, mungkin jiwanya sebentar lagi.
Suara pintu terbuka di atas sana menggema di dalam ruangan hingga telinga Aurora berdegung sakit. Sebelum tanganya menutup telinga suara itu sudah menghilang digantikan oleh langkah kaki, kedengaran seperti setengah berlari.
Kepala Aurora mulai membayangkan sosok menakutkan macam apa yang akan menampakkan wajah di depannya. Di rumah, Aurora menghafal dengan baik setiap nada langkah kaki, ia rindu ingin segera pulang, memeluk ibunya, dimanjakan Ayahnya. Andai kata kesempatan itu biasa dia dapatkan kembali, seharian dia akan membersihkan tubuh, jangan sampai setitik pun debu dari tempat keji ini tertinggal di tubuhnya.
"Are you, ok?"
Suara cempreng dan ringan membuat Aurora berbalik. Sosok anak kecil, berdiri di seberang jeruji.
Perawakannya terlihat ramah, kulitnya hitam dan berlapis debu di bagian kaki. Dia tersenyum, dua gigi depannya tidak ada di sana, matanya biru tua dan begitu cemerlang.
"Bantu aku keluar dari sini!" mohon Aurora dalam suara serak. Secuil harapan mengetuk hatinya hingga berdebar jauh lebih kencang.
"Shut up, bitch!" bentak bocah laki-laki itu.
Tubuh Aurora seketika bergidik. Anak kecil berwajah polos seperti itu mengatinya jalang. Aura mengerjapkan matanya berulang kali, berharap penampakan di sana adalah kesalahan matanya atau pikirannya yang kelelahan.
"So, why you here?" tanya Aurora saat tahu, baik mata dan kepalanya meski dalam keadaan tertekan tidak salah memproses sosok di depannya.
"Aku harap peluruku bisa berguna, kau tahu aku sudah berlatih menggunakan pistol saat usiaku delapan tahun, tapi sampai sekarang saat usiaku dua belas tahun, aku hanya diperolehkan menembak botol bekas minuman mereka, itu pun tidak boleh lebih dari lima. Menyebalkan! Aku kemari untuk memberikanmu ini!" Si bocah meletakan botol air di lantai.
Jika mau berusaha, Aurora akan dengan mudah menjangkaunya, untuk sekarang semangat berusaha tidak muncul. Dengan lemas, dia menggerakkan jarinya perlahan, merasakan tebalnya debu di lantai. Satu inci lagi, airnya bisa dia jangkau. Kuku cantiknya gagal mencapai botol.
"Well, i will help you!"
Ucapan itu membuat Aurora merasa lebih baik, saat itu juga lidahnya seolah tengah mengecap air, sensasi menyegarkan membasahi tenggorokan.
Si bocah mulai membuka botol air. Dia tidak mengulurkannya pada Aurora melainkan menyiramkan isi botol hingga wajahnya.
Aurora ingin sekali berteriak kencang. Air yang menuruni kepalanya mulai membasahi baju.
Tawa si bocah pecah. "Mereka mengatakan padaku untuk melakukan hal yang lebih buruk. Ah, tadi aku mendengar sesuatu, mungkin akan membuatmu lebih baik." Anak kecil itu duduk di depan Aurora, dia menutup lagi botol air yang tersisa setengah, lalu mengulurkannya ke tempat yang sangat mudah di jangkau.
"Apa?" Aurora tidak ingin tahu sebenarnya, tetapi dia melihat antusias luar biasa di wajah bocah itu. Perlahan dia mengusap sisa air yang membasahi wajahnya.
"Jordan Grayson, kau mengenalnya?"
"Kenapa?"
"Katakan dulu, apa kau mengenalnya?"
Napas Aurora tercekat. Kepalanya dengan cepat berpikir, bagaimana jika bocah ini dikirim sebagai umpan, seseorang di luar sana, entah Xavier, Megan, atau Rayden sendiri tengah memegang ujung kail. Tujuan mereka pasti informasi. Jangan sampai jika dia mengatakan dia mengenal Jordan atau terang-terangan bilang dia adalah kekasihnya, sesuatu yang buruk akan menimpa dia.
"Kau lama sekali berpikir!" bocah itu menopang dagu, sikunya tertahan di lutut. Andai mulutnya bisa lebih manis, dia adalah bocah yang tampan, pikir Aurora sekilas.
"Katakan saja, sebenarnya aku tidak boleh mengatakan ini padamu, tetapi semua orang tampak sangat senang saat kabar itu beredar di atas sana."
"Aku mengenalnya," kata Aurora pada akhirnya.
"Seseorang yang spesial pasti," tebak si bocah.
Aurora makin gelisah, mulut si bocah lebih buruk dari lilitan peluru yang melingkari tubuh kurusnya.
"Tebakanku benar? Meggan mengajariku cara menebak situasi hati seseorang."
"Oh!" Aurora menarik napas lega.
"Jadi, kau mengenal Jordan Grayson," suara si bocah kini berupa bisikan. "Mereka bilang, dia terkena ledakkan saat tengah melacak keberadaan penelepon Brayden Weston!"
Dada Aurora seolah meledak di dalam sana, dia menekannya kuat-kuat. Atap batu di atas kepalanya seolah runtuh menimpa dirinya, meremukkannya.
"Ba ... bagaimana keadaannya?" tanya Aurora nyaris berupa teriakan.
"Mati kurasa. Tidak akan ada yang bisa selamat dari peledak buatan para manusia gila di sini, terlebih Meggan dan Lucien! Aku harus pergi!" Bocah itu berdiri, sebelum pergi, dia membuat gerakan menembak kepala Aurora lalu meniup jarinya dan berlalu.
"Duniaku berakhir di sini!" rintih Aurora.
******
Rayden tertawa penuh kemenangan , cara kejam Xavier memperlakukan Aurora sudah sampai padanya. Gigi emasnya terlihat setiap kali dia membuak mulut, semua gigi geraham dan dua gigi taring bagian atas. Dua berlian mungil tertempel di gigi depannya. Dia berjalan ke luar dari rumah megahnya menuju balkon dengan gelas sampanye di tangan yang diangkat tinggi-tinggi.
Sejak mendidik Xavier menjadi salah satu dari mesin pembunuh di komplotannya, dia belum pernah sebangga ini pada anak sulungnya itu. Xavier tidak mewarisi darah Psikopat sama seperti dia dan Lucien. Xavier lebih suka menghilangkan nyawa seseorang dengan sekali tebas atau sekali tembak bukannya dengan proses berlama-lama seperti mereka. Rayden sendiri menikmati jeritan, dan Lucien menyukai proses melukis di atas kanvas kulit manusia dengan pisau kecilnya. Dokter Hanibal adalah karakter fiksi favorit mereka. Dia mewarisi perasaan lembut Ibunya, meski rasa belas kasihnya tidak selalu menguar di permukaan. Bahkan sebelum resmi menjadi bagian dari komplotan besarnya, Xavier adalah si bocah cengeng.
"Hey, Lucien!" teriak Rayden pada Lucien.
Lucien yang tengah mengapung menggunakan ban karet biru di kolam berenang melepaskan kaca matanya. "What?"
"Buat undangan, kita akan mengadakan acara makan malam besar-besaran malam ini."
"Ok!" Lucien mengangkat kedua tangannya.
"Xavier belum kembali?"
"I'm not his fucking baby siter, Dad!" teriak Lucien sembari menendang-mendendang air.
Rayden menarik napas. "Aku bisa membakarmu hidup-hidup kau tahu itu!"
Lucien menggapai ucapan Ayahnya dengan melompat ke dalam kolam.
Rayden hanya menaikkan alis melihat tingkah Lucien. Dia berbalik bersandar pada pembatas kaca. Belum ada laporan juga mengenai Brayden Weston, sedikit meresahkan, tetapi memicu semangatnya.
Rayden kembali masuk, dia mungkin akan berendam sebentar untuk merendahkan adrenalin yang mendadak mendidihkan darah. Kepalanya mulai membayangkan perang besaran-besaran yang akan terjadi, jika mungkin dia ingin meremukkan kepala Brayden Weston saudara kembarnya itu dengan tanganya sendiri.
Acara makan malam besar-besaran mereka berlangsung di rumah besar Rayden. Dia memerintahkan semua anggota untuk patuh menanggalkan senjata mereka di pintu, dan tidak boleh ada yang sampai minum atau menyesap obat-obatan dalam pengawasannya. Dia hanya malas membereskan kekacauan anggotanya, mereka semua memiliki jiwa brutal yang jika tidak ditekan di saat-saat tertentu akan sangat menggagu.
Rumah dan markas besarnya terpisah. Rumah pribadi Rayden adalah istana bahkan tidak ada bandingannya dengan Mansion Brayden. Markas komplotan Brayden terletak di beberapa tempat berbeda, tetapi yang paling penuh adalah perumahan yang dilengkapi dengan sel bawah tanahnya.
Acara makan malam berlangsung. Meja kaca panjang di ruangan tengah kini diapit pria-pria berbagai rupa.
Rayden duduk di tengah-tengah meja, jauh di hadapannya ada Lucien. Xavier sendiri ada di sisinya. Rayden mengangkat gelas anggurnya, menoleh sebentar ke arah anaknya.
"Untuk sebuah prestasi hebat setelah ratusan tahun," katanya diiringi tawa lebar.
Anggota gangnya melakukan hal yang sama, gelas terangkat saling berdenting, pesta akan segera dimulai.
"Di mana Meggan ?" tanya Rayden begitu merasa ada kekurangan di samping anaknya. Bahkan dia membiarkan kursi di sebelahnya kosong.
"Mengantar barang," balas Xavier sembari memutar gelas vodkanya.
"Dia pergi dua jam yang lalu dan seharunya ada bersama kita sekarang. Hubungi dia. seharusnya si kepala besi itu ada di sini."
"Kurasa dia tidak tertarik."
"Seharusnya dia tertarik. Ini hari besarmu, Nak."
"Kau tahu apa yang menyamakan mereka berdua, Dad," Lucien berbicara setengah berteriak. "Mereka sama-sama memiliki kelembutan di dalam." Lucien menepuk dadanya diikuti tawa semua orang.
"Meggan Jace? No dude. She's evil," ucap Liam.
"Yah! She is," Greg mengukuhkan. "Ingat, dia pernah menghanguskan seorang wanita tua bersama mobilnya karena berkendara seperti sloth."
"Jangan lupakan air keras yang disiramkan pada wajah teman sekelasnya dulu," Rayden menambahkan, dia ingin pusat perhatian kembali padanya dan agar Lucien mau menutup mulutnya sebentar dan karena dia mengenal dengan baik raut wajah Xavier, tidak suka membicarakan orang dibalik punggungnya.
"Call her, Son! Dia harus di sini sekarang."
Xavier mengangkat bahu, lalu mendorong kursi yang didudukinya dengan tubuhnya berjalan menjauh. Lebih baik bagi Rayden melanjutkan acara makan malamnya tanpa melihat wajah lusuh Xavier.
Lucien juga berdiri dengan garfu masih berada di mulutnya, dia mengangkat telepon.
"Ayo ...." Rayden ingin mempersilakan semuanya mulai makan, tetapi Lucien membungkam mulutnya.
"Dad, i have news. All your old enemy rise from their graveyard!"