Kamar kecil ini melemparkan Aurora pada peti sempit Puteri Salju, jiwanya serasa mati, menanti datangnya sang pangeran datang menolong. Namun, hingga detik ini entah pukul berapa sekarang semua masih berupa imajiner yang mengisi kepala dan mendesak dada, dan udara seolah timbul tenggelam di dalam ruangan ini, sangat menyesakkan.
"Di mana Ayah? Di mana Ibu? Di mana Jordan. Apa sebenarnya urusan orang-orang ini dengan keluarga kami?"
Rentetan pertanyaan itu terus mengulang di kepalanya. Menit demi menit makin memberatkan dan lagi, perutnya sekarang benar-benar keroncongan, rasanya dia bisa menghabiskan kalkun raksasa sendirian.
"Hey, Sleeping Beuty," suara Meggan terdengar dari luar.
Aurora menarik lututnya, dalam beberapa jam terakhir dia sudah memorak-porandakan isi kamar ini penuh dengan kemarahannya. Bahkan meja berisi barang-barang aneh koleksi pemilik kamar sudah lenyap dari meja, mereka semua berpindah ke lantai dengan keadaan luar bisa mengenaskan.
"Merapat ke dinding! Aku akan masuk dan aku membawa pistol, bergerak sedikit saja aku tidak akan ragu menyebarkan foto tanpa busanamu ke sosial media."
Bola mata Aurora membuka sempurna, ancaman macam apa yang diberikan oleh wanita sialan yang berada di balik pintu itu.
"Ok! Akan aku lakukan!"
Aurora melompat turun dari tempat tidur, menghadapkan wajahnya ke jendela yang terbuka. Dia tidak sudi menghadap dinding yang dilewati oleh kecoak.
Suara pintu membuka membuatnya menoleh sekilas. Bukan Meggan sendiri yang memegang pistol, tetapi Xavier yang menggerakkannya dengan malas. Tatapan pria jangkung itu sarat akan kejijikan.
"Hell! You burning my room !" teriakkan Meggan meledak dan membuat sekujur tubuh Aurora bergetar.
"Berbalik kemari!" ucap Xavier dengan nada tinggi.
Aurora tetap menatap ke luar. Dia mulai menggigit bibir, kedua tanganya meremuk. Penyesalan mengutuk dirinya, harusnya dia berpikir dulu sebelum melakukan kebodohan ini.
"Oh. Totemku malang, kau mematahkannya! Terkutuklah kau!" raung Meggan tidak tertahan.
"Kau dengar aku Weston, berbalik dan jelaskan pada kami kekacauan yang sudah kau lakukan!"
"Aku tertekan!" jerit Aurora, "aku tidak tahan di tempat menjijikkan seperti kamar ini!"
"Shut up, bicth!" Xavier mendekati Aurora. Telapak tanganya yang kasar dan bertato melingar di leher Aurora. "Kami berusaha memberikanmu yang terbaik. Sayang, kau seperti Tuan Putri manja yang hanya bisa merengek! Bahkan wanita malam lebih tegar dari kau!"
Dada Aurora tertusuk nyeri, air matanya lengser seketika. Kali pertama dihidupnya dia dikasari dan dihina begini bahkan dibandingkan dengan para wanita malam.
Xavier melepaskan cengkeraman tanganya, lalu berbalik pada Meggan. "Kau sudah baik membawakan makanan untuknya. Dan ini yang dia lakukan. Aku akan mengambil kunci sel tahanan sekarang!" Xavier mengentakkan kaki ke lantai dan berlalu.
Aurora menyentuh lehernya. "Sel tahanan?"
Meggan hanya mengangkat bahu. Tanganya memegang kantong kertas, dan dia mengangkatnya ke arah Aurora. "Aku membeli burger untukmu ...."
Belum selesai Meggan bicara, Xavier masuk kembali. Aurora memundurkan kakinya. Kemarahan tak kunjung surut dari raut tampan itu. ya tampan, Aurora tidak dapat membantah hal ini. Kali tanpa Aurora sadari, Xavier menarik tanganya cepat, menyeretnya ke luar.
"Lepaskan!" Mohon Aurora kembali terisak. "Tanganku sakit!"
Xavier segera melepaskan tangan Aurora.
Napas lega, akan segera keluar. Namun tangan Xavier lebih dahulu menarik rambut Aurora, rasanya semua helaian dalam genggaman tangan itu akan tercabut keluar.
"Xavier, lepaskan aku mohon!"
"Jangan memanggil namaku, seolah kau suah mengenalku selama bertahun-tahun!"
Xavier tidak melepaskan atau melonggarkan cengkeramanya di kepala Aurora. Dia tetap menyeretnya, bahkan saat menuruni tangga berikutnya.
"Kau ingin memenggal kepalamu sendiri, Brother?"
Pria lain berambut pirang menaiki tangga. Dia menggunakan kemeja hawai hijau dan celana pendek selutut. Tubuhnya bersih, tetapi kalung emas besar yang menggantung lehernya sangat mengganggu. Mata Aurora terpaku padanya, pria berbibir merah tipis itu tersenyum, pipi kirinya membentuk cekungan manis.
"Tidak perlu ikut campur urusanku!" balas Xavier.
Aurora merasakan kelegaan saat tarikan Xavier akhirnya terlepas. Dia kembali menarik tangannya.
"Jika kau mengeluh lagi, aku akan menggulingkanmu di tangga!" ancamnya tanpa menoleh.
Aurora menggigit bibir, menahan semua kalimat keluhan yang dijeritkan hatinya. Rumah, dia merindukan tempat itu, tempat di mana semua keluhannya sekecil apa pun akan di dengarkan.
"Hey, Lucien," sapaan Meggan terdengar di belakang mereka.
"Meggy, kau mematikan ponselmu lagi, jalang!" suara pria tadi.
"Aku tidak ingat di mana aku meletakannya. Well, jika kau tidak keberatan biarkan aku lewat."
Tarikan Xavier menggerakkan kaki Aurora lebih cepat dari keinginannya, dia nyaris kehilangan keseimbangan di tambah tumit sepatunya yang terlalu tinggi.
Meggan berjalan mendahului mereka lalu menarik sesuatu dari tangan Xavier.
"Nomor berapa?"
"Your fovorite," jawab Xavier.
Meggan menggelengkan kepalanya.
"Ok! The last one."
"But that is ... haunted."
"You are the Ghost, Meggan!"
Meggan mengangkat bahu sesaat lalu berputar.
Aurora mengira, Meggan akan meninggalkan mereka berdua, tetapi, Xavier rasanya begitu enggan berjalan bersamanya menahan bahu Meggan dan mendorongnya ke belakang tepat di sebelahnya.
Mereka menuruni anak tangga demi anak tangga. Dinding-dinding yang mengeliling mereka bercat kuning gading, beraroma lembab dan berjamur. Beberapa bagian yang menghadap ke jendela kaca yang sebagian pecah, catnya sudah mengelupas menampilkan bata cokelat di bagian dalam, terlihat sangat rapuh.
"Aku akan pulang malam ini," kata Meggan.
"Karena kamarmu! Ayolah Meggan, akan aku carikan hotel saja, atau kita kembali ke depan. Kamarku untukmu malam ini."
"Hell, No! I hate your room more than this place."
Mereka sedekat itu? Pikir Aurora. Xavier mau memberikan kamarnya untuk Meggan, sedangkan Jordan tidak pernah mengajaknya ke rumah. Dia memang pria aling romantis dalam satu dekade ini, tetapi saat ini dia melihat tindakan sederhana sanggup menggetarkan hatinya.
Kepengapan udara di dalam ruangan berganti menjadi semburan debu yang menyesakkan tenggorokan. Sorakan keras meraung. Aurora tahu dari mana mereka datang. Orang-orang berpakaian hitam yang tadi dilihatnya dari kejauhan.
"Oh! look, sexy!" terioak beberapa orang.
"Kita akan berpesta malam ini," seru yang lain.
"Tanggalkan pakaiannya, Xavier!" tambahan kalimat tidak senonoh melayang di udara.
"Did you know girls, tower di atas sana adalah bagian ternyaman tanpa suara-suara ini, tetapi kau meciptakan bara apimu sendiri tepat di bawah telapak kaki," komentar Meggan.
Tarikan Xavier membawa mereka memasuki daerah yang jauh lebih buruk. Karung-karung sampah membusuk, ban-ban bekas berbagai ukuran menumpuk di sudut seperti ular raksasa.
Perlahan tapi pasti Aurora mulai menyadari ke mana kakinya melangkah. Mereka memasuki sebuah ruangan dengan pintu besi. Ada sebuah tangga lagi menurun .
"Ruangan bawah tanah!" desis Aurora tanpa sadar. Ketakutan terbesarnya, ini adalah bagian yang terburuk.
Kaki Aurora sontak berhenti.
"Wellcome to hell!" ucap Meggan sembari tersenyum menakutkan.